Pentingnya Berkreasi dalam Strategi Era Pandemi (4)

Marketing.co.id – Artikel Marketing | Tiga artikel sebelumnya telah membahas empat cara berkreasi dalam menyusun strategi khususnya di era pandemi. Jika hal ini dapat dipadupadankan dengan framework klasik dalam penyusunan strategi (SWOT, Value Chain, Business Model Canvas dan lain-lain) yang sudah lebih populer dan sering digunakan para mahasiswa Manajemen ataupun para manajer di perusahaan, tentunya strategi yang dihasilkan akan lebih berpotensi menghasilkan terobosan, inovasi, dan inisiatif baru yang diperlukan organisasi dalam menghadapi era New Normal.

“Creative thinking, menekankan kemampuan berpikir membuat deviasi dari platform yang sudah ada sehingga deviasi tersebut dapat menjadi sumber proposisi yang baru. Perbaikan atribut produk atau jasa biasanya adalah hasil dari cara berpikir kreatif.”

Cara berpikir kreatif seperti 4C tersebut jika ditelusuri lebih jauh, akan beririsan dengan teori mengenai cara berpikir di ranah ilmu psikologi. Cara berpikir yang relevan dengan konsep 4C tersebut adalah creative thinking dan associative thinking. Menurut Profesor Giovanni Gavetti dari Tuck School of Business, seorang pemimpin bisnis harus dapat melihat peluang yang sering kali tersembunyi atau jarak psikologisnya jauh dari konteks industrinya saat ini. Karena itu, cara berpikir kreatif dan asosiatif menjadi sangat penting untuk dimiliki si pemimpin dalam merumuskan strateginya.

Baca juga: Pentingnya Berkreasi dalam Strategi Era Pandemi (1)

Creative thinking, menekankan kemampuan berpikir membuat deviasi dari platform yang sudah ada sehingga deviasi tersebut dapat menjadi sumber proposisi yang baru. Perbaikan atribut produk atau jasa biasanya adalah hasil dari cara berpikir kreatif. Terminologi seperti facelift, new versions, limited edition adalah contoh-contoh penerapan cara pikir ini. Sedangkan associative thinking berfokus pada perumusan analogi di dalam sebuah konteks untuk kemudian diimplementasikan di konteks yang baru. Kuncinya ada pada perumusan analogi yang mewakili karakteristik hubungan antar konsep dalam sebuah konteks industri.

Asnan Furinto, Marketing Scientist and Strategist
Dosen Program DRM, Bina Nusantara University

Merrill Linch, bank investasi terkemuka di dunia, awalnya didirikan dengan cara pikir asosiatif karena pendirinya, Charlie Merrill, mendapatkan ide membuka bank yang dapat menawarkan berbagai layanan finansial ketika dia berbelanja di supermarket. Kalau toko kelontong bisa menjajakan berbagai produk di rak, mengapa bank tidak bisa melakukan hal yang sama? Toys ’R’ Us, Circuit City, dan banyak pemimpin perusahaan besar lainnya menggunakan cara berpikir asosiatif pada awal perkembangannya.

Baca juga: Inovasi Pascapandemi: Kultural atau Struktural ? (1)

Kodak adalah contoh dari perusahaan yang gagal membangun analogi sehingga salah mengantisipasi peluang. Seiring kemajuan teknologi, analogi pasangan hardware-software sebenarnya bisa diterapkan di banyak konteks. Industri TV (pesawat TV sebagai hardware, stasiun TV sebagai software), telekomunikasi (ponsel sebagai hardware, jaringan operator sebagai software), industri game (konsol sebagai hardware, aplikasi game sebagai software).

Asosiasi ini seharusnya bisa digunakan Kodak untuk melihat dirinya sebagai penyedia ”hardware” dan ”software” di industri kamera. Dengan munculnya digitalisasi, maka industri kamera digital tidak membutuhkan lagi software dalam bentuk pita film seperti yang selama ini menjadi keunggulan Kodak. Ketika Kodak menyadarinya, sudah terlambat untuk berkompetisi dengan Nikon atau Canon. Hal yang mirip juga terjadi pada kasus kegagalan Nokia.

Asnan Furinto
Marketing Scientist and Strategist
Dosen Program DRM, Bina Nusantara University

Marketing.co.id: Portal Berita Marketing dan Berita Bisnis

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.