Marketing.co.id – Berita Marketing | Pendidikan di Indonesia terus menghadapi berbagai tantangan fundamental, seperti paradoks globalisasi, kesenjangan ekonomi, kualitas yang kontradiktif, dan divergensi kesempatan yang tidak terbuka luas. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) per Desember 2023, jumlah penduduk di Indonesia adalah 280 juta jiwa. Hanya 6,68% atau 18,74 juta jiwa yang menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi.
Padahal, pendidikan yang lebih tinggi merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan produktivitas masyarakat yang tentunya akan berdampak pada kondisi ekonomi negara. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Topik inilah yang menjadi poin pembahasan Talkshow-1 Cakap Blitz (Business Leadership Talks) special HUT Ke-5.
Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan Republik Indonesia 2011-2014, tak hanya menekankan peran teknologi sebagai pendukung dalam pendidikan, namun juga pentingnya berkomunikasi secara global untuk menghadapi tantangan masa kini.
“Kita harus lebih berinvestasi di apapun yang sifatnya itu scientific atau STEM (science technology engineering mathematics). Tentunya juga dibekali kapasitas berkomunikasi, karena kalau kita tidak bisa berkomunikasi, kita hanya tahu sains saja kita tanpa bisa bernegosiasi,” ujar Gita.
Baca juga: Lulusan Prodi Informatika dan Sains Data tak Perlu Khawatir akan Menganggur
Sayangnya, mengenyam pendidikan yang berkualitas dan terjangkau bukanlah hal yang dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia. Seringkali, faktor ekonomi maupun geografis menjadi hambatan dalam mendapatkan ilmu yang berkualitas namun tetap ramah kantong. Hal ini tentunya merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dan mendapatkan solusi.
Menanggapi hal tersebut, Tomy Yunus, CEO & Co-Founder Cakap, menggarisbawahi pentingnya peran edtech dalam mengatasi kesenjangan pendidikan di Indonesia. “Karena memang tantangan yang kita hadapi di landscape Indonesia ini sangat unik ya, kita punya berbagai suku bangsa dan etnis. Jadi, sangat berbeda antara east part of Indonesia dan west part of Indonesia itu cara masuknya aja beda. Jadi, memang harus hyper local dan menurut saya cara masuk ke relevansinya. Kalau mau masuk ke satu market pasti harus affordable dan accessible,” kata Tomy.
Ia pun menyatakan, bahwa selain memberikan edukasi, sang pelajar pun harus diberikan bayangan akan apa yang dapat mereka capai setelah mendapatkan ilmu tersebut. “Karena ini kan menyangkut investasi juga ke diri sendiri jadi harus ada clear return invest nya apa. Dalam hal ini, the biggest motivation untuk student itu kan harus ada peningkatan taraf hidup, peningkatan potensi atau income,” jelas Tomy.
Memanifestasikan hal ini tentunya tidak dapat dilakukan seorang diri. Investasi juga memainkan peran yang sangat penting dalam pembangunan ekosistem pendidikan yang berkelanjutan. Investasi yang tepat dapat mempercepat adopsi teknologi dan memperluas akses ke pendidikan berkualitas.
Di sisi lain, investasi yang berkelanjutan juga memastikan bahwa program dan inisiatif pendidikan dapat terus berkembang dan memberikan dampak jangka panjang agar berbagai ilmu yang diberikan kepada masyarakat tidak tiba-tiba terhenti di tengah jalan.

Dennis Pratistha, Chief Investment Officer Mandiri Capital Indonesia, menyampaikan pandangannya bahwa dampak dari pendidikan yang didukung oleh teknologi ditentukan oleh dua hal, yaitu kualitas dan kuantitas.
“Quality definitely needs to be there but of course quantity needs to follow. Kalau kualitas saja itu idealism, of course that doesn’t really always translate to success. You need to combine both idealism and pragmatism in short,” kata Dennis.
Baca juga: Investasi Achmad Zaky Foundation Mengangkat Peran BATAS sebagai Platform Pendidikan Holistik
Kuliah bagi sebagian masyarakat Indonesia masih menjadi impian, karena mereka terbentur masalah biaya. Universitas negeri yang menjadi andalan bagi masyarakat kelas menengah bawah karena biaya relatif lebih murah dibanding universitas swasta, biayanya pun tetap mahal untuk beberapa fakultas. Sebut saja fakultas kedokteran yang biayanya bisa mencapai puluhan juta per semeter.
Beberapa bulan lalu dunia pendidikan tinggi di Indonesia juga dihebohkan dengan kenaikan biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) di beberapa kampus negeri ternama. Kenaikan biaya UKT pun berbuntut demo mahasiswa di berbagai universitas. Beruntung, akhirnya Presiden Jokowi menunda kenaikan UKT yang rencananya akan diberlakukan untuk mahasiswa baru di tahun 2024.
Badan Pusat Statistik melaporkan inflasi biaya pendidikan di Indonesia mencapai 3,71 persen pada tahun 2019. Sementara, rata-rata kenaikan biaya uang pangkal diperkirakan mencapai 10 hingga 15 persen per tahunnya.
Kalangan menengah atas bisa menyiasati kenaikan biaya pendidikan dengan mengikuti program asuransi pendidikan yang banyak ditawarkan perusahaan asuransi. Sementara bagi kalangan menengah bawah, mereka praktis hanya mengandalkan bantuan subsidi pendidikan dari Pemerintah melalui KIP (Kartu Indonesia Pintar). Itupun tidak semua golongan masyarakat menengah bawah bisa menikmati KIP karena ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi.