Marketing.co.id – Karena berharganya nilai sebuah merek, tidak heran kalau para pemilik merek kerap mengalami sengketa kepemilikan.
Baru-baru ini Hotel Inter-Continental menggugat PT Lippo Karawaci Tbk karena menggunakan nama “The Inter-Continental” untuk apartemen milik Lippo yang berada di Karawaci.
Merek mobil mewah Lexus juga pernah menggugat nama sejenis yang dipakai perusahaan peranti komputer, Lexus Daya Utama. Toyota sebagai pemilik merek Lexus juga menggugat helm bermerek Lexus dan melayangkan gugatan terhadap ban mobil merek Innova. Toyota merasa merek ban tersebut menyerupai merek mobil yang diproduksinya sehingga dapat menipu konsumen.
Kasus di atas adalah contoh dari banyaknya sengketa merek yang terjadi. Secara umum dikenal ada dua jenis sengketa merek, yaitu pelanggaran merek (trademark infringement) dan dilusi merek.
Jenis sengketa yang pertama, yaitu pelanggaran merek, terjadi ketika sebuah merek menggunakan tanda-tanda yang sama atau mirip dengan merek yang telah ada, sehingga dapat mengakibatkan konsumen terkecoh atau bingung. Tanda-tanda yang mirip itu dapat berupa kesamaan dalam nama atau simbol. Sengketa jenis pertama patokannya cukup jelas. Merek baru dengan relatif mudah dapat dibuktikan telah melanggar hak paten merek yang telah eksis.
Sengketa jenis kedua, yaitu dilusi merek, lebih sulit untuk dibuktikan melalui mekanisme hukum formal. Merek minuman terkenal yang dipakai untuk merek produk pakaian misalnya, adalah contoh dilusi merek. Segmen konsumen yang dibidik kedua merek ini berbeda, karena kategori produknya juga berbeda.
Penelitian oleh Pullig, Simmons, dan Netemeyer (2006) mengenai dilusi merek menarik untuk dipelajari. Menurut mereka, dilusi merek dapat dipecah lebih lanjut menjadi dua kelompok berdasarkan konsekuensinya terhadap persepsi konsumen.
Dilusi yang pertama adalah pencemaran (tarnishment) dan dilusi yang kedua adalah pengaburan (blurring).
Contoh kasus pencemaran adalah American Express yang menuntut sebuah perusahaan kondom karena perusahaan tersebut menggunakan slogan ”do not leave home without it”, slogan yang selama ini telah digunakan Amex. Pengadilan meminta Amex untuk membuktikan bahwa penggunaan slogan tersebut oleh produsen kondom mengakibatkan citra Amex benar turun di mata pelanggannya.
Untuk kasus pengaburan, contohnya adalah kasus yang menimpa peritel pakaian dalam wanita Victoria’s Secret yang menuntut sebuah toko alat-alat kebutuhan pria yang menggunakan nama yang mirip, yaitu Victor’s Secret. Sama halnya dengan kasus Amex, pihak Victoria’s Secret diminta oleh pengadilan untuk membuktikan bahwa dilusi merek benar telah terjadi sehingga timbul kerugian di pihak Victoria.
Apa yang bisa dilakukan pihak yang bersengketa untuk membuktikan terjadinya dilusi merek?
Menurut Pullig dkk, ada tiga pengukuran respons konsumen yang bisa dilakukan untuk menunjukkan bahwa dilusi merek telah terjadi. Produsen harus melakukan eksperimen ilmiah yang fair. Eksperimen tersebut mengukur tiga jenis respons peserta, yaitu kecepatan menjawab (response latency), uji mengingat (aided recall), dan simulasi pemilihan merek (brand choice).
Peserta diberikan stimulus berupa nama-nama merek terkenal dengan manipulasi pada kategori produk dan atribut produk. Pencemaran dapat ditunjukkan telah terjadi jika kecepatan menjawab peserta turun, lebih sulit mengingat merek, dan preferensi konsumen juga dapat berubah akibat adanya merek baru.
Pengaburan dikatakan terjadi ketika kecepatan menjawab berkorelasi dengan uji mengingat, tetapi tidak berkorelasi dengan pemilihan merek. Dengan kata lain, pada situasi pengaburan, konsumen terpengaruh oleh adanya merek baru, tetapi hal tersebut tidak memengaruhi preferensi konsumen (tetap memilih merek lama).
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa dilusi merek kecil kemungkinannya akan terjadi jika kategori produk dan atribut utama merek sama. Misalkan saja ada sebuah restoran ayam goreng yang menggunakan merek ”KenFC”, maka pemilik merek KFC yang telah lebih dulu ada tidak perlu khawatir akan terjadi dilusi merek, karena kategori produk dan atribut produk sangat mirip. Konsumen dengan mudah mengetahui mana merek yang asli dan mana merek yang mendompleng.
Dilusi sangat kuat terjadi jika merek baru berada pada kategori produk dan atribut produk yang sangat berlainan. Kasus slogan Amex seperti ilustrasi di atas adalah contohnya. Amex akan sangat dirugikan jika banyak nasabahnya menjadi malu memiliki kartu Amex karena kerap menjadi bahan joke karena kartunya diasosiasikan dengan kondom.
Dilusi dapat terjadi juga pada kategori produk yang sama tetapi dengan atribut yang berbeda. Kasus Victoria’s Secret versus Victor’s Secret adalah contohnya.
Dalam jangka pendek, efek dilusi belum terlihat, tetapi dalam jangka panjang, atribut produk si merek baru dapat menggerus atribut produk lama. Di sinilah riset pemasaran dapat mengambil peran untuk membuktikan terjadinya dilusi merek.
Asnan Furinto Marketing scientist