Apakah brand Anda siap menyambut era pemasaran afiliasi? Cek kembali strategi influencer Anda, apakah hanya menghibur, atau sudah mendorong pembelian?
Marketing.co.id – Berita UMKM | Influencer marketing di Asia Tenggara tengah memasuki babak baru. Bukan lagi sekadar tentang angka pengikut atau selebritas dunia maya, namun tentang siapa yang benar-benar bisa menggerakkan pembelian.
Laporan tahunan terbaru dari impact.com dan Cube menunjukkan bahwa affiliate marketing atau pemasaran afiliasi kini mendominasi strategi eCommerce yang melibatkan influencer. Strategi ini untuk menjawab ekspektasi konsumen yang makin cerdas dan kritis.
Dalam laporan bertajuk “E-commerce Influencer Marketing in Southeast Asia 2025”, analisa terhadap lebih dari 2.400 konsumen, kreator, dan pelaku industri di enam negara Asia Tenggara (termasuk Indonesia) mengungkap bagaimana para brand dan kreator berevolusi, dari promosi pasif menjadi kemitraan aktif berbasis kinerja.
Perubahan Pola Konsumsi Konten
Konsumen hari ini bukan hanya mencari hiburan, 64% responden mengaku ingin belajar hal baru dari influencer. Ini menunjukkan pergeseran penting dalam tujuan mereka mengonsumsi konten digital. Namun, di sisi lain, kepercayaan terhadap mega influencer terus menurun. Hanya 59% yang menyatakan terpengaruh oleh selebritas dengan pengikut di atas satu juta. Angka tersebut turun 7% dibandingkan tahun lalu.
“Konsumen makin kritis. Mereka butuh koneksi yang otentik dan tidak hanya sekadar iklan berbayar terselubung,” kata Adam Furness, Managing Director APAC, impact.com.
Kemunculan Key Opinion Sellers (KOS)
Laporan ini juga menyoroti munculnya segmen baru yaitu Key Opinion Sellers (KOS) — kreator yang tidak hanya memberikan opini, tapi juga langsung menjual. Fenomena ini paling terasa di TikTok Shop, di mana 9 dari 10 kreator top di Thailand merupakan KOS. Format ini menjembatani edukasi dan transaksi secara instan—model yang terbukti semakin efektif dalam mendorong pembelian.
Affiliate Marketing Jadi Pilar Pertumbuhan Baru
Salah satu temuan paling menonjol adalah dominasi tautan afiliasi sebagai pemicu utama pembelian. Sebanyak 83% konsumen mengaku pernah membeli melalui link afiliasi dari kreator. Produk kecantikan (62%) dan fesyen (54%) menjadi dua kategori terpopuler, mempertegas kekuatan pemosisian niche yang dilakukan oleh para kreator mikro.
Komisi dari marketplace seperti TikTok Shop, Shopee, dan Lazada pun kian menarik—berkisar antara 4% hingga 13%, terutama di kategori beauty yang jadi favorit. Dengan keterlibatan tinggi dan pengalaman berbelanja instan, marketplace kini menempati posisi strategis dalam rantai distribusi digital.
Tantangan dan Peluang untuk Brand
Laporan ini juga menggarisbawahi bahwa strategi influencer konvensional sudah tidak lagi cukup. Brand perlu menyusun ulang pendekatan mereka, beralih dari vanity metrics ke kemitraan jangka panjang berbasis kinerja. Ini tidak hanya soal memilih influencer, tetapi membangun ekosistem afiliasi yang terukur, scalable, dan berbasis dampak nyata.
“Investasi pada model afiliasi adalah kunci untuk pertumbuhan jangka panjang di e-commerce influencer marketing. Otentisitas dan relevansi kini menjadi penentu utama,” tambah Furness.
Arah Baru Influencer Marketing di Asia Tenggara
Penelitian tahun ini menandai pergeseran mendalam dalam lanskap pemasaran digital di Asia Tenggara. Konsumen tidak hanya menginginkan informasi, mereka ingin inspirasi dan konversi dalam satu klik. Sementara itu, brand dan kreator yang mampu berkolaborasi secara strategis dan otentik akan memenangkan hati dan dompet audiens.
Laporan lengkap E-commerce Influencer Marketing in Southeast Asia 2025 bisa menjadi peta jalan penting bagi brand yang ingin memaksimalkan kolaborasi dengan kreator dan menavigasi ekosistem afiliasi yang dinamis di kawasan ini.