Pameran Jadi Andalan

Tidak semua konsumen Olympic terpuaskan. Masih ada rongga yang belum tergarap. Albatros diluncurkan untuk menutupi rongga itu.

 

Sepertinya sudah menjadi hukum alam di dunia pemasaran, segmentasi konsumen tidak bisa dicampur aduk. Produk yang menyasar segmen middle-low jelas sulit diterima oleh segmen middle-up. Sebaliknya, produk-produk high end tidak akan mau masuk ke segmen low end. Meskipun pengecualian harus ada. Beberapa merek sukses menyasar “all segment”, seperti Coca-Cola dan Teh Botol Sosro. Tetapi, dua merek ini tetap melakukan strategi pendekatan yang berbeda ke setiap segmennya.

 

Nah, di industri furnitur, garis batas antar-segmen sangat tegas dan tidak bisa dibaurkan. Sebut saja Olympic, yang menyasar segmen middle-low, tidak bisa masuk ke segmen di atasnya. Maunya sih, Olympic bisa diterima oleh semua segmen. Apa boleh dikata, untuk masuk ke segmen middle-up, pihak Olympic Group terpaksa harus membuat brand baru. Itulah alasannya kenapa Olympic Group meluncurkan Albatros yang khusus menyasar segmen A dan B. Ada rongga yang tidak tergarap oleh Olympic. Rongga itu adalah segmen premium.

 

Ditilik dari sisi harga, Albatros—yang diluncurkan tahun 2000—memiliki range harga yang berbeda jauh dengan saudaranya. Harga terendah produk Albatros mencapai Rp 600 ribu untuk rak sepatu. Yang tertinggi mencapai Rp 26 juta untuk produk bedroom set. Sedangkan range harga Olympic terendah mencapai Rp 50 ribu untuk tempat majalah dan rak buku serbaguna, tertinggi Rp 3 juta untuk lemari pakaian. Tetapi, Albatros hanya bisa mencapai segmen dengan SES A, tidak bisa lagi naik ke A plus. Jika dipetakan, Albatros berada di antara Olympic dan Da Vinci yang menyasar kelas A plus. Segmen A plus ini sudah pasti tidak mau beli Albatros.

 

Apakah lantaran ada bayang-bayang Olympic sehingga Albatros tidak bisa masuk ke segmen lebih tinggi lagi? Pihak manajemen Olympic Group mengatakan, sampai saat ini, konsumen tidak confuse dengan kedua merek tersebut (Olympic dan Albatros). Masing-masing bisa berjalan sendiri meskipun konsumen tahu Albatros satu induk dengan Olympic. Demarkasi kedua merek ini tegas terlihat. Selain harga, dari sisi produk, bahan bakunya 100% juga tidak sama. Bentuk komunikasinya pun berlainan. Dengan begitu, konsumen Albatros tidak terpengaruh merek saudaranya. Hanya saja, beberapa kegiatan komunikasi dilakukan bersama sehingga konsumen tahu dua produk ini berasal dari grup yang sama. “Tetapi produk ini betul-betul ada garis pemisahnya,” tandas sumber tadi.

 

Hanya saja, persepsi knock down untuk produk-produk furnitur kelas premium masih tidak terlampau kuat. Hampir seluruh produsen di kelas yang sama dengan Albatros—  yang jumlahnya mencapai 20 pemain—memilih menyediakan furnitur “bulky” atau utuh. Praktis, cuma Albatros sendirian yang menawarkan konsep knock down untuk kelas premium. Selama ini, ada persepsi yang salah bahwa konsep knock down tidak kuat. Baru belakangan ini, persepsi itu mulai berubah sedikit demi sedikit dan pasar premium sudah mulai menerima konsep knock down.

 

Keberhasilan Albatros memasuki pasar premium tidak lepas dari keampuhan konsep positioning yang ditawarkan kepada customer-nya. Ketika pertama kali diluncurkan tahun 2000, Albatros menawarkan konsep SOHO (small office home office). Konsep ini menawarkan desain yang mengadopsi perpaduan nilai modern dan klasik. Ternyata, konsep ini diterima oleh segmen premium, terbukti penjualan Albatros pada tahun berikutnya (2001) naik mencapai 50%.

 

Tetapi, setelah 2001, konsep SOHO tidak lagi bisa diterima konsumen. Maka, pada tahun 2003, Albatros me-relaunch konsep baru sekaligus melebarkan segmen yang dituju, yang tadinya “home office” menjadi “furniture for home”. Positioning baru ini pun ternyata sukses. Karena itu tadi, segmennya semakin luas. Pada tahun itu pertumbuhan Albatros sangat fantastik mencapai 60%.

Minimal 33 Kali

Jika Olympic banyak melakukan pendekatan lewat iklan dan pameran, Albatros justru lebih banyak mengandalkan pameran. Kalaupun beriklan, hanya dilakukan di media-media cetak. Komposisi iklannya 80% BTL dan sisanya ATL. Tidak seperti saudaranya Olympic yang gencar juga beriklan di TV Commercial. Pertimbangan Albatros tidak menggunakan media televisi karena distribusinya masih terbatas dan bajetnya terlampau mahal.

 

Tetapi, untuk pameran besar seperti di JHCC saja, Albatros menggelarnya paling sedikit 10 kali dalam setahun—dengan menghabiskan ongkos setiap pameran Rp 80 juta hingga Rp 100 juta. Belum lagi, pameran-pameran yang dilakukan sendiri di mal-mal, yang jika ditotal per tahun jumlahnya tidak kurang dari 33 kali pameran. Bajet yang dikeluarkan untuk kegiatan pameran dan iklan sekitar 10% dari turn over sales.

 

Boleh jadi, pameran menjadi salah satu andalan startegi pemasaran Albatros. Ajang pameran selama ini terbukti paling ampuh mendongkrak penjualan Albatros. Paling tidak, angka penjualan yang dicetak oleh Albatros setiap kali pameran mencapai Rp 600 juta. Bayangkan, padahal setiap bulan Albatros ikut pameran.

 

Sebagai produk yang menyasar pasar premium, Albatros tidak mengandalkan distribusi lewat toko-toko seperti yang dilakukan Olympic. Produk ini mengandalkan kontak langsung (direct selling) dengan customer. Kalaupun menggunakan toko, hanya dimaksudkan sebagai perpanjangan showroom dengan memilih toko-toko tertentu yang disebut Exclusive Ritel Outlet (ERO) sebagai agen merek ini. Kenapa? Karena layanan yang diberikan kepada segmen Albatros harus berbeda. Untuk melayani pasar ini, Albatros tidak bisa begitu saja melemparkan layanannya kepada toko, harus langsung dilayani oleh pihak Albatros sendiri. Tujuannya, selain layanannya harus excellent, juga agar bisa mengenal lebih dekat konsumen mereka.

 

 

Hingga kini, distribusi Albatros lewat ERO baru mencapai 16 titik keagenan. Sebamyak 7 ERO berada di Jakarta dan sisanya tersebar di berbagai daerah. Di antaranya, 3 ERO di Medan, 4 ERO di Surabaya, serta masing-masing satu di Bandung dan Makassar.

 

Produk yang berada di bawah bendera PT Cahaya Sakti Multi Intraco ini sangat optimis bisa menguasai pasar premium dan menargetkan pertumbuhan 50-60% untuk tahun 2006. Prediksi situasi ekonomi yang suram di tahun ini tidak menjadi halangan, karena segmen pasar premium relatif tidak terpengaruh daya belinya. Apalagi, segmen ini juga dikenal suka gonta-ganti furnitur.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.