Pamer Liburan dalam Gambar

Jalan-jalan atau liburan memang sangat menyenangkan. Apalagi kalau foto liburannya bisa langsung diperlihatkan kepada teman-teman melalui media sosial. Ya, pamer saat liburan di media sosial sekarang sudah menjadi lifestyle sendiri bagi masyarakat Indonesia.

pamer liburan
(Foto: istimewa)

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama Kementerian Pariwisata periode 2014–2019 memiliki ambisi meningkatkan daya saing pariwisata nasional yang diukur melalui empat parameter, yaitu:

  1. Kontribusi terhadap PDB Nasional dari 4,2% (2014) menjadi 8% (2019).
  2. Peningkatan jumlah per kepala wisatawan mancanegara dari 9 juta (2014) menjadi 20 juta (2019).
  3. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan nusantara dari 250 juta (2014) menjadi 275 juta (2019).
  4. Peningkatan devisa dari Rp120 triliun (2014) menjadi Rp240 triliun (2019).

Agar target-target di atas dapat tercapai, pemerintah telah menerapkan arah kebijakan dan strategi dalam bentuk pemasaran pariwisata nasional, pembangunan destinasi pariwisata, pembangunan industri pariwisata, dan pembangunan kelembagaan pariwisata.

Lantas, apa signifikansi paparan di atas dengan kegiatan jalan-jalan dan liburan generasi milenial? Tentu saja sangat signifikan, khususnya dari konteks pemasaran pariwisata nasional. Signifikansi tersebut semakin menguat saat mengetahui paparan data bahwa penduduk Indonesia termasuk pengguna jejaring sosial yang sangat aktif, dan bahkan ada temuan studi jika ada segmentasi penduduk Indonesia yang sudah menggunakan Facebook, tapi beropini belum menggunakan internet!

Saat Pamer Kisah Liburan Menjadi Budaya

Sebelum internet merangsek setiap sendi kehidupan masyarakat Indonesia, menunjukkan foto-foto saat liburan menjadi hal yang asing. Hal-hal yang bisa kita lakukan pada masa itu sekadar mencetak foto, memasukkan ke dalam album, atau memasangnya ke bingkai untuk diletakkan di ruang tamu agar bisa menjadi tontonan. Jika ada yang menunjukkan album foto liburan ke teman-teman atau kerabat, kita bisa mendapatkan cap sombong.

Hal berbeda ditunjukkan saat internet sudah mewabah dan merakyat di Indonesia. Saat penggunaan telepon pintar semakin masif hingga ke pedesaan, kita tidak lagi memerlukan kamera khusus untuk merekam momen-momen liburan dan jalan-jalan karena fitur kamera sudah terpenuhi dalam telepon pintar. Ketika kita memiliki kuota internet untuk menayangkan hasil jepretan saat jalan-jalan ke jejaring sosial, kita tidak menyia-nyiakannya.

Saking rutinnya perilaku memamerkan gambar saat jalan-jalan dan liburan, unjuk gambar sudah bukan hal tabu dan telah bergeser menjadi budaya populer. Justru terasa ada yang kurang kalau kita pergi berwisata—meski hanya sekadar wisata belanja atau wisata kota, namun tidak membuktikannya dengan gambar-gambar yang terpampang di media sosial.

Perilaku pamer kegiatan jalan-jalan dalam gambar di media sosial, baik Facebook, Instagram, Path, dan lain-lain, sebenarnya menunjukkan simbiosis mutualisme antara wisatawan, pemerintah, dan pelaku bisnis (khususnya yang berperan atau menjadi bagian dari industri pariwisata).

Mewujudkan Simbiosis Mutualisme Wisatawan, Pemerintah, dan Swasta

Simbiosis mutualisme antara wisatawan, pemerintah, dan pihak swasta tentunya patut dijaga keberlanjutannya, antara lain dengan menyadari peran dan tugas masing-masing.

Para wisatawan sebenarnya memiliki tugas yang mudah, karena tugas ini menjadi bagian dari bersenang-senang. Tugas tersebut dapat dijabarkan dalam kalimat ringkas; berikan konten positif dan masukan berimbang mengenai pariwisata Indonesia.

Sebagai contoh mengenai konten positif adalah, saat kita melakukan wisata alam seperti wisata bahari, wisata ekologi, dan wisata petualangan, unggahlah gambar-gambar keindahan lokasi yang menimbulkan emosi positif bagi kita dan orang-orang di sekitar kita. Jika kita melakukan wisata budaya seperti berkunjung ke masjid, gereja, pura, dan tempat ibadah lainnya, tunjukkan bahwa bangsa Indonesia bangga dan memilih hidup dalam kemajemukan. Hal sama berlaku saat kita menjalankan wisata ciptaan seperti wisata olahraga dan wisata kawasan terpadu. Tampilkan kemeriahan pelaksanaan acara-acara yang terjadi di negeri kita di jejaring sosial.

Tentu saja ada cela saat kita menjalankan tugas sekaligus kegiatan bersenang-senang sebagai wisatawan. Contoh cela tersebut adalah fasilitas umum dan fasilitas sosial yang kurang memadai atau pelayanan untuk konsumen wisata yang tidak menyenangkan. Silakan sampaikan opini kita secara objektif dan jika memang sangat diperlukan, tampilkan di media sosial. Tindakan tersebut berguna untuk menyentil para pelaku industri wisata dan pemerintah untuk berbenah diri dan memperbaiki kinerja demi mencapai target tahun 2019 yang sudah ditetapkan.

Ada sisi menarik lainnya dari kegiatan pamer konten liburan di media sosial, yaitu kesempatan kita mendapatkan pemasukan. Kalau kita aktif dalam dunia blog atau rutin memasukkan gambar-gambar dan narasi indah saat liburan ke dalam media sosial, ada kemungkinan kita mendapatkan tawaran konten berbayar. Tawaran tersebut tentunya muncul dengan persyaratan tertentu, antara lain blog atau media sosial kita dikunjungi secara rutin dan tinggi secara kuantitas.

Dari tawaran konten wisata berbayar tersebut, kita bisa belajar baik secara langsung maupun tidak langsung ilmu marketing, antara lain segmentasi pembaca alias konsumen, pembuatan konten yang menarik minat konsumen, hingga rutinitas penayangan konten yang diperlukan untuk menjaga konsumen lekat dengan blog dan media sosial kita.

Nah, ternyata pamer liburan dan kegiatan jalan-jalan kita di internet bisa menjadi kegiatan mengasyikkan bukan?

Andika Priyandana

MM092016/W

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.