Paid-Owned-Earned Media

[Reading Time Estimation: 5 minutes]

Marketing.co.id – Trio media ini akan menjadi buzz yang hot di masa mendatang.  Perusahaan dan pelaku bisnis yang mengelola merek harus mampu mengombinasikan ketiga macam media ini. Konvergensi yang efektif dari ketiga jenis media ini adalah parameter yang menentukan kekuatan merek di masa mendatang. Merek-merek yang tidak mampu mengombinasikan media ini akan mengalami problem besar dalam efisiensi dan efektivitas.

Paid media relatif mudah dipahami dan direncanakan. Ini adalah media yang mudah untuk dikontrol. Pesan-pesan yang disampaikan melalui paid media, bila dilakukan dengan bujet yang tepat, dengan kombinasi frekuensi dan reach yang tepat pula, akan menghasilkan pesan-pesan seperti yang direncanakan perusahaan. Strategi positioning maupun diferensiasi yang disampaikan akan dicerna dan disimpan dalam memori konsumen seperti yang diinginkan oleh pemilik merek.

Ketika perusahaan dan pemilik merek mendapatkan kesempatan memiliki media sendiri, website sendiri, akun Facebook dan Twitter sendiri, akun YouTube sendiri, dan berbagai media digital lainnya, CMO dan timnya dipaksa untuk menjadi pengelola media. Mereka berpikir bahwa perusahaan memiliki kekuatan baru. Proses komunikasi akan menjadi sangat efisien. Mereka tidak perlu membayar media untuk menjangkau konsumennya. Tapi, kenyataan tidak seperti yang dipikirkan sebelumnya.

Media sosial dan website yang dikelola perusahaan tidak memiliki kekuatan. Trafik website kecil jumlah follower dan jumlah fans juga sulit bergerak. Apalagi, banyak perusahaan yang relatif lemah dalam content. Maklum, dulunya tidak memiliki media, tidak memiliki penulis, tidak memiliki jurnalis, tidak memiliki desainer grafis dan perangkat kerja untuk menciptakan content. Lalu, apa yang terjadi?

Tiga Tipe Hibrid

CMO dan marketing tim dari perusahaan mulai menggunakan paid media untuk mengiklankan owned media. Mereka percaya bahwa media sosial akan sangat efisien dan efektif suatu saat. Karena reach dari owned media ini kecil, perusahaan kemudian mendorong dengan menggunakan paid media. Iklan televisi, media cetak, dan media luar ruang mencantumkan akun Facebook, Twitter, dan alamat website. Jadi, membangun media sendiri tetapi harus membayar media lain.  Langkah ini harus dilakukan karena memang paid media masih memiliki kekuatan yang jauh lebih besar. Inilah hibrid pertama, antara paid media dan owned media.

Lihatlah iklan-iklan di layar televisi dan media cetak, terutama dari perusahaan besar. Mereka mencantumkan akun media sosialnya.  Bahkan, kadang-kadang mereka mengiklankan content dari media sosial. Hibrid antara owned dan paid ini lebih intensif lagi terutama untuk website perusahaan atau merek. Karena trafik yang rendah, mereka lebih senang untuk memasang banner di website atau portal.

Google menjadi paid media raksasa. Saat website perusahaan kekurangan trafik dan mereka ingin muncul di halaman pertama saat konsumen atau prospek mencari merek mereka, tidak mungkin mengandalkan media sendiri yang memiliki reach yang rendah.  Mereka membutuhkan media lain untuk membantu meningkatkan trafik website. Saat itulah perusahaan membayar Google untuk mengiklankan website mereka menggunakan Google Adwords.

Jadi, untuk mengelola media sendiri, perusahaan juga perlu membayar atau menggunakan paid media. Ini pesan yang jelas bagi para pemilik merek bahwa paid media tidak akan hilang. Mereka membutuhkan minimal dua kaki, yaitu media sendiri dan media yang dibayar. Inilah hibrid pertama, yaitu kombinasi antara paid media dan owned media.

Hibrid yang kedua adalah owned media dan earned media. Ini adalah hibrid yang menjadi idaman pemilik merek. Gabungan kedua media ini menjadikan program promosi menjadi luar biasa efisien dan efektif. Content dari owned media dilakukan oleh para konsumen atau simpatisan dari sebuah merek. Jadilah keseluruhan content ini disebut dengan user generated content. Inilah kekuatan sesungguhnya dari digital marketing. Terjadi viralisasi, retweet, repost, hashtag, dan  engagement. Perusahaan dan pemilik merek pastilah berlomba-lomba untuk mencapai hibrid ini.

Hibrid yang ideal ini jelas tidak mudah bagi perusahaan atau pemilik merek. Artis, event, atau individu biasanya memiliki kekuatan yang lebih besar. Di akhir Desember 2012, untuk pertama kalinya content YouTube telah dilihat 1 miliar kali, yaitu video Psy dengan Gangnam Style-nya. Psy memiliki media sendiri dan dia menikmati earned media.  Demikian juga artis, penyanyi, dan tokoh populer menikmati hibrid ini. Inilah hibrid dengan dua kaki media yang sungguh ideal. Jokowi dan Ahok merasakan keuntungan yang luar biasa dengan adanya hibrid media ini. Mereka tidak perlu mengeluarkan dana kampanye yang besar. Content dibuat dan disebarkan oleh para simpatisannya.

Hibrid yang ketiga adalah antara paid media dan earned media. Hibrid ini biasa dilakukan, kadang-kadang tidak transparan dan juga memiliki risiko. Ini kadang disebut dengan sponsored customer. Perusahaan membayar akun Twitter dari artis atau tokoh untuk menyebarkan content yang mereka kehendaki. Tidak semua artis tentunya mau melakukan hal ini. Mereka merasa tidak pas bila mengambil keuntungan dari para fans atau follower-nya.

Blogger umumnya adalah kaum idealis. Mereka ingin menyuarakan dan berbagi kepada orang lain tanpa mengambil keuntungan. Atau bila mereka mau dibayar untuk menuliskan sebuah content untuk merek tertentu, mereka pasti akan melakukan dengan sangat hati-hati.

Bisa juga kombinasi ini dilakukan dengan pendekatan lain.  Perusahaan atau pemilik merek masih dominan dalam menggunakan paid media. Bujet yang besar dan iklan atau promosi yang kreatif diharapkan akan menciptakan user generated content tanpa adanya tambahan dukungan dari owned media. Pendekatan seperti ini banyak terlihat dari para pemenang Top Brand di Indonesia. Iklan yang unik diharapkan menginspirasi percakapan di media sosial.

Konvergensi Tiga Media

Tidak mudah mencari sebuah studi kasus yang menunjukkan kesuksesan perusahaan di Indonesia dalam mengombinasikan tiga media ini. Tapi saya yakin, tidak akan lama lagi akan bermunculan contoh-contoh nyata yang dapat menjadi panutan bagi pemilik merek.

Industri consumer goods, otomotif, dan telekomunikasi telah menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka mampu melakukan konvergensi tiga media ini secara seimbang. Merek-merek besar umumnya masih banyak menggantungkan diri dengan paid media karena masih tidak sabar menunggu kekuatan owned media mereka.

Pocari Sweat termasuk pionir dalam menuju konvergensi media.  Mereka menggunakan paid media untuk mengiklankan owned media mereka. Mereka juga mengaktifkan media mereka agar banyak konsumen melihat, membaca, dan terlibat di media sosial. Setelah itu, mereka berharap akan tercipta user generated content yang memungkinkan mereka mencapai earned media. Hanya saja, terlihat sekali bahwa paid media masih mendominasi dan konvergensi media belum tercapai.

Telkomsel dengan tema iklan “Dance Like Agnes” adalah contoh munculnya penggunaan konvergensi media yang sesungguhnya. Mereka menggunakan paid media dengan bujet yang besar. Tetapi, Telkomsel juga memiliki media sendiri. Karena temanya yang unik dan kreatif, terjadilah banyak percakapan yang membuat user generated content yang cukup besar. Ratusan ribu orang melakukan download dan menyebarkan kepada para sahabatnya sehingga Telkomsel menikmati status sebagai earned media.

Yang disebut dengan integrated marketing communication sudah mulai bergeser. IMC dulu sebatas bagaimana membuat pesan yang sama dan memperbanyak touch point sehingga terjadi sinkronisasi dan sinergi antarmedia. Konvergensi dalam media digital jauh lebih kompleks. Pada akhirnya, hanya perusahaan yang memahami dan memiliki strategi konvergensi media sajalah yang memiliki peluang untuk mewujudkannya. Saya katakan sebagai peluang karena masih banyak faktor lain yang harus dipersiapkan. Organisasi, sumber daya manusia, dan pengukuran yang analitis merupakan faktor-faktor lain yang menentukan mampu-tidaknya perusahaan mencapai konvergensi tiga media ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here