OZI AIRCRAFT Pabrik Miniatur Pesawat Kelas Dunia

0
[Reading Time Estimation: 5 minutes]

Strategi promosi yang diusung Harto Al Karim cukup unik dan menginspirasi banyak orang. Sebagai entrepreneur, ia berhasil memasarkan produknya hingga ke berbagai negara.

Seandainya bertemu dengan pria yang satu ini, Anda sama sekali tidak akan menyangka jika ia adalah pengusaha kecil yang sukses. Anda pun mungkin tidak mengira apabila omzet bisnisnya sudah mendekati 2 miliar dan merambah ke hampir seluruh negara di dunia.

Harto Al Karim, pengrajin miniatur pesawat ber-workshop Ozi Aircraft, memang berperawakan sederhana dan rendah hati. Tidak ada tanda-tanda kelebihan yang melekat dalam dirinya. Mungkin begitulah cara Harto mensyukuri keberhasilannya dan tidak ingin merasa di atas.

Anda bisa membayangkan, pria kelahiran Makassar, 10 Maret 1960, ini masih kesulitan mendapatkan pekerjaan pada tahun 1980. Ketika pertama kali datang ke Jakarta pun tanpa latar belakang pendidikan yang mumpuni, maklum hanya lulusan sekolah dasar, sehingga ia bersyukur ada seorang teman mau mengajaknya bekerja di bidang peralatan tentara.

Tiga tahun Harto bekerja di bidang itu. Kemudian ia beralih menjadi tukang gambar, sekarang desainer, di perusahaan periklanan. Baru pada tahun 1984 ia memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Kerajinan suvenir menjadi pilihannya. Di tengah jalan, seorang teman memintanya untuk membuatkan miniatur pesawat.

Tapi, memperbanyak miniatur pesawat ini baru efektif tahun 1986. Kala itu ia menerima pesanan dari teman, ditambah dengan maskapai-maskapai lokal. Semakin hari order yang diterima Harto semakin banyak. Pada akhirnya, pekerjaan intinya bergeser dari kerajinan suvenir ke miniatur pesawat.

“Saya pikir kita mampu membuat sesuatu yang tidak kalah bagusnya dengan produk luar negeri, contohnya miniatur pesawat. Kalau dahulu miniatur-miniatur pesawat itu didominasi dari luar negeri, sekarang ada juga dari Indonesia. Padahal, pasarnya lumayan besar karena maskapai-maskapai masih sangat kekurangan,” ungkap Harto.

Ia pun mencermati peluang-peluang itu. Harto yakin bisa menaklukkan pasar tersebut dan mampu bersaing dengan pemain mancanegara. Strategi pemasarannya pun disusun dengan caranya sendiri yang dianggap oleh banyak kalangan tidak masuk akal. Jejak berpromosinya “nyeleneh” dan tak pernah dilakukan oleh orang lain.

“Saya merintis usaha ini memang dengan cara saya sendiri. Saya berusaha agar produk saya bisa terpasarkan sampai ke luar negeri. Sebab, saya menyadari bahwa pasar lokal hanya ada dua, yaitu Garuda Indonesia dan Merpati Nusantara Airlines. Maka, saya siasati dengan sangat sederhana,” tandas Harto.

Siasat yang menarik dan menginspirasikan banyak orang itu diterapkan Harto ketika mendapatkan pesanan yang akan dikirim ke luar negeri. Ia menempelkan tulisan made in Indonesia beserta alamat workshop-nya di setiap produk tersebut. Itu siasat pertama.

Siasat kedua, strategi yang dianggap nyeleneh oleh banyak orang, yaitu pada saat Harto membuat leaflet kecil seukuran kartu nama. Lembaran-lembaran kecil itu kemudian dibawanya ke Bandara Soekarno-Hatta. Apa yang dilakukan di sana? Ternyata, Harto menemui orang-orang yang hendak pergi ke luar negeri. Ia menitipkan lembaran-lembaran kecil miliknya itu ke calon-calon penumpang tersebut.

“Saya bilang ke mereka, ‘Pak atau Bu, kalau boleh saya menitipkan seratus lembaran kecil ini. Setelah sampai di bandara di sana (luar negeri), bapak atau ibu boleh menaruhnya di mana saja. Kalau tidak keberatan, bapak atau ibu mohon menaruhnya di ruang tunggu bandara. Tetapi, kalau tidak, Bapak atau ibu boleh membuangnya di mana saja, di tempat sampah pun boleh’,” cerita Harto mengenang.

Hal itu dilakukan selama lebih dari satu tahun. Selama itu pula ia menumpang bus ke bandara menenteng lembaran-lembaran kecil yang disablonnya sendiri. Dengan sabar ia menceritakan maksudnya secara jujur kepada calon penumpang yang ia temui. Dan, ia kemudian bersyukur karena di antara mereka tidak ada yang menolak. Semuanya bersedia membantu.

Bahkan, ia juga memanfaatkan perkenalannya dengan seorang cleaning service di bandara. Ia meminta temannya itu untuk menempelkan stiker kecil yang bertuliskan Ozi Aircraft berikut alamatnya. “Teman itu dengan senang hati juga mau membantu,” tambahnya.

Hasilnya? Belum ada setahun, Harto menerima telepon dari luar negeri. Lucunya, saat itu ia malah kebingungan karena tidak bisa berbahasa Inggris. Begitu telepon diterima, ia tidak bisa menindaklanjuti karena tidak menjawab. Lalu, ia mencari akal.

“Untuk mengatasi hal seperti itu, kemudian saya menempel teks bahasa Inggris yang dibuatkan teman saya yang artinya, ‘Kalau Anda mau informasi lebih lanjut, sebaiknya permintaan Anda disalurkan melalui faksimile’,” kata Harto. Setelah itu sering ada faksimile diterimanya, lalu ia bawa ke penerjemah. Setelah ia menuliskan jawabannya, ia datang lagi ke penerjemah untuk dialihbahasakan ke bahasa Inggris sebelum dikirimkan ke penerima order.

Harto sudah lupa orderan pertamanya datang dari Inggris atau Australia. Yang jelas, strateginya itu telah membuahkan hasil. Pernah suatu ketika ia mendapatkan pesanan dalam jumlah banyak dari sebuah pabrik pesawat asal Belanda, namun begitu melihat workshop-nya yang kecil, pemesan itu membatalkannya.

Namun, Harto tak putus asa sedikit pun. Ia tetap optimistis bisa berhasil. Lama-kelamaan usahanya dikenal di pasar internasional. Apalagi, pada tahun 1989 pemerintah mendukungnya dengan memfasilitasi pameran di luar negeri. Sejak saat itu Ozi Aircraft turut pameran ke berbagai negara seperti Belanda, Inggris, Jepang, dan Afrika Selatan.

Perlahan usaha Harto berkembang dan menjelajah ke seantero dunia. “Dengan cara yang saya bisa, alhamdulillah sampai sekarang masih tetap berdiri walaupun kondisi pasarnya bergejolak,” tuturnya. Setidaknya kini sudah lebih dari 100 duplikat pesawat berbagai merek dan seri—mulai dari pesawat penumpang, helikopter hingga jet tempur—dari berbagai negara dibuat dan dipasarkannya.

Mampu Bersaing

Berbagai strategi yang ditempuh Harto tampaknya membuahkan hasil. Di tahun 1990-an, karyawannya sempat meningkat hingga 200 orang. Masa itu permintaan pasar sedang besar-besarnya. Omzet yang tercetak diperkirakan mendekati Rp 2 miliar per tahun.

Harto membanderol produknya dengan harga antara Rp 60.000 hingga jutaan rupiah, tergantung ukurannya. Di dalam memasarkannya, Harto tidak memiliki cabang khusus di luar negeri. Ia hanya mengandalkan pemesanan langsung oleh distributor setempat dan para maskapai.

Walau omzetnya sempat menurun karena krisis tahun 1997/1998, Harto percaya bahwa itu tidak akan selamanya. Suatu saat pasar akan kembali bagus. Benar saja, pada tahun 2001 Pemerintah Daerah Bogor mengajaknya untuk melakukan pameran di Jakarta. Tahun 2002 Ozi Aircraft masuk ke dalam Kelompok Binaan Pupuk Kujang. Sejak saat itu omzetnya kembali menanjak.

Sekarang Ozi Aircraft telah dikenal di dalam negeri dan banyak negara. Beberapa maskapai lokal yang menjadi pelanggan pengrajin ini adalah Mandala Airlines, Sriwijaya Air, dan Merpati Nusantara Airlines. Mereka merupakan perusahaan penerbangan lokal yang menghargai pengrajin-pengrajin kecil dalam negeri.

“Kalau semua perusahaan besar memerhatikan perusahaan kecil dalam negeri, saya rasa apa lagi yang perlu dikhawatirkan. Yang perlu dikhawatirkan kalau perusahaan-perusahaan besar itu yang menggunakan produk-produk luar negeri. Intinya, untuk membangun bangsa ini perlu kesadaran dari semua pihak. Jangan mencari nafkah di Indonesia tetapi membelanjakan uangnya di luar negeri,” ucap Harto.

Pemilik workshop di daerah Bogor ini menyatakan, kualitas produknya tidak kalah dengan produk asing. Fakta berbicara, produknya sudah dibeli oleh konsumen dari berbagai negara di seluruh dunia. Bahkan, sekarang 90% bahan bakunya berasal dari dalam negeri. Tidak seperti masa lalu yang sebagian besar bahannya masih impor.

“Terus terang saya bersyukur, meski saya hanya lulusan sekolah dasar, anak saya bisa mengenyam pendidikan tinggi. Saya juga bisa membantu para tetangga yang membutuhkan pekerjaan,” papar Harto seraya menyatakan bahwa jumlah pelanggannya sudah mencapai sekitar 100 perusahaan.

Selain telah menggunakan email dalam menjalin komunikasi dengan pelanggan, tidak hanya telepon dan faksimile seperti semula, Harto juga sudah membuka toko di Mangga Dua Square. Tidak hanya itu, ia merangkul pemilik outlet di bandara-bandara internasional di Indonesia, terutama Bali dan Surabaya, agar mau menjajakan miniatur pesawatnya. “Alhamdulillah, kami masih eksis sampai sekarang,” ujarnya.