Negosiasi yang Cinta Damai!

www.marketing.co.id – Kepuyengan pemerintah kita menghadapi kelangkaan barang pokok seakan tak pernah berhenti. Dengan geografis berbentuk kepulauan yang tersebar serta penduduk yang tidak merata, tidak heran jika distribusi sering menjadi kendala. Itulah sebabnya berita-berita soal kelangkaan bensin, naiknya harga minyak goreng (gara-gara langka), dan sulitnya menemukan minyak tanah adalah masalah yang tak kunjung usai.

Sementara itu, sektor swasta sudah demikian majunya dalam soal distribusi. Di lereng-lereng gunung terpencil pun kita bisa menemukan Indomie, Coca-Cola atau Teh Botol Sosro. Mereka sudah melakukan carpet research untuk mendata semua pengecer serta menghabiskan miliaran rupiah untuk mengembangkan database dan teknologi GPRS, yang memungkinkan pemantauan area-area mana yang mulai kehabisan stok. Mereka sudah menerapkan ERP (Enterprise Resource Planning) dengan modul supply chain yang canggih sehingga tidak ada tempat yang kehabisan barang lebih dari dua hari. Di pihak lain, (astaga!) pemerintah sendiri masih sering terheran-heran, mengapa stok di pusat demikian banyak tetapi di daerah-daerah justru langka!

Bulog memang ketinggalan jauh dalam hal teknologi. Tapi, percayalah, yang membuat distribusi nasional kita tidak maju adalah manusianya—dari tingkat atas sampai bawah. Mulai dari korupsi sampai penimbunan stok. Belum lagi pungutan-pungutan ilegal, yang akhirnya membuat harga barang benar-benar tidak bisa ditekan.

Perantara memang hidup dari persentase marjin. Semakin panjang mata rantai distribusi, semakin berkurang pula marjin yang didapat mata rantai terbawah. Apalagi untuk produk-produk yang harganya sudah diregulasi, marjin pedagang menjadi kecil. Itulah sebabnya, kegiatan yang merugikan brand owner seperti timbulnya black market bisa tumbuh subur manakala pedagang tidak mendapat marjin yang cukup dari jalur resmi.

Ini juga berlaku di sektor swasta. Di sentra handphone, misalnya, muncul merek-merek yang tidak didistribusikan langsung oleh distributor resmi. Selain lebih murah, mereka bahkan sudah bisa memberi garansi. Pedagang memang memajang produk genuine, tetapi yang ditawarkan ke pembeli adalah produk tidak resmi tersebut. Jadi, “mental dagangnya” mirip-mirip, baik channel yang dikelola pemerintah maupun swasta. Hanya saja, pihak swasta punya kontrol lebih baik sehingga duit tidak bocor ke sana-ke mari.

Semakin besar wilayah geografis dan semakin ruwetnya distribusi memang semakin menguatkan peran channel, sekaligus memperkuat daya tawar mereka. Beruntung bagi merek-merek nomor satu, dua atau tiga, mereka  memiliki posisi tawar yang lebih baik. Namun untuk merek-merek di bawah itu, mereka terkadang harus merelakan marjinnya tergerogoti oleh para channel.

Di dalam bisnis apa pun (termasuk dunia ritel), pihak yang besar dan kuat menekan si kecil dan lemah adalah hal yang lumrah. Karena itu, sang penengah alias pemerintah harus berperan aktif. Bukan hanya antara peritel dan pemasok, di antara sesama peritel pun sebenarnya memiliki masalah. Kita bisa melihat bagaimana peritel tradisional kini tergeser oleh peritel modern.

Tumbuhnya ritel modern memang menyiratkan daya beli yang bertumbuh. Namun pertumbuhan ini sebenarnya juga memperbesar biaya. Ritel modern membutuhkan sewa tempat lebih bagus, teknologi canggih, sumber daya  berkualitas serta promosi yang besar. Akibatnya, siapa yang menanggung? Konsumen? No! Konsumen tidak boleh dikorbankan karena harga!

Lantaran peritel punya posisi yang lebih kuat, akhirnya pemilik mereklah yang kena getahnya. Pengenaan bermacam-macam fee diberlakukan kepada para pemilik merek, mulai dari listing fee (pendaftaran merek di outlet), promotion fee, location fee, sampai fee untuk pembukaan lokasi baru! Dengan macam-macam fee ini, (kabarnya) peritel bisa memperoleh “side income” yang lebih besar daripada marjin yang diterima.

Inilah yang disebut sebagai trading term. Sebenarnya trading term ini bisa dinegosiasikan. Namun, kalau tidak pintar-pintar bernegosiasi, pemilik merek bisa “buntung”. Percayakah Anda jika pendapatan pemasok barang ke ritel bisa terpangkas 70% gara-gara trading term? Yang bikin pusing lagi, setiap tahun trading term ini naik terus. Memang tidak semua peritel modern punya gaya serupa. Ada yang bersikap bahwa peritel dan pemilik merek harus bertumbuh bersama. Tapi ada juga yang memiliki sikap win-lose semata. Tidak ada kata rugi bagi peritel!

Mimpi saja, kalau ingin menghapus trading term. Lebih baik Anda bermain sebagai pebisnis MLM (multi level marketing) untuk menghindarinya. Atau,  Anda harus bersatu dengan yang lain (lewat asosiasi misalnya) untuk memperkuat posisi tawar. Sekalipun, menyatukan para pemilik merek yang punya hitung-hitungan bisnis sendiri memang sulit.

Cara lainnya, minta tolong pemerintah dengan terus menggoyang-goyang “pohon” agar ada satu-dua buah peraturan baru yang “jatuh”. Soal trading term sepertinya sudah mulai mendapat angin segar. Tapi soal pembagian daerah peritel modern dan tradisional masih belum terlihat “buah yang masak” dan siap jatuh dari pohon. PR pemerintah memang segudang. Jangankan mengatur trading term dan pembagian zona, urusan memasok bahan pokok saja mereka masih kebingungan.

Oleh karena itu, sebelum pemerintah menelurkan peraturan yang bisa (atau pasti?) merugikan satu pihak, ada baiknya pemain-pemain di sektor swasta saling introspeksi: apakah mau jadi business animal atau manusia yang saling menghargai. Baru-baru ini Bank Dunia melaporkan bahwa perekonomian Asia yang kembali maju ternyata masih menyiratkan masalah pemerataan yang sangat timpang. Akibatnya, potensi kerawanan sosial dan keamanan di Asia, termasuk Indonesia, juga menjadi tinggi. Kalau “yang kecil” selalu merasa tidak adil, mereka akan semakin kreatif menggunakan kekuatan sosial untuk melawan. Makanya, sebelum itu terjadi, bernegosiasilah atas dasar cinta damai. (Rahmat Susanta)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.