Berkembangnya penggunaan piranti bergerak (mobile device) terutama ponsel dalam kehidupan sehari-hari konsumen kini semakin disikapi secara serius oleh industri perbankan. Di negara-negara maju pemanfaatan ponsel sebagai infrastruktur alternatif perbankan telah menunjukkan perkembangan yang pesat. Sedangkan negara-negara berkembang dengan populasi yang besar, sedianya siap mengembangkan infrastruktur teknologi untuk dapat mengimbangi tren masyarakat kota ini.
Menurut Howard Wilcox, analis senior dari Juniper Research, perbankan di negara maju -yang hampir seluruh masyarakatnya memiliki rekening di bank- mulai membidik pelanggan pada segmen tertentu, dengan menambahkan ragam pilihan dan saluran akses perbankan untuk melayani pelanggan. Strategi yang disebut additive banking inijuga bisa menjaring konsumenn yang belum memiliki rekening bank di negara-negara maju tersebut.
Sementara itu di sisi lain perbankan di negara-negara berkembang yang pertumbuhannya terhambat oleh keterbatasan infrastruktur mulai meningkatkan ragam pelayanannya kepada pelanggannya. Mereka memperluas jangkaun pelayanan konvensional berbasis kantor cabang yang memiliki keterbatasan, denganmemanfaatkan secara optimal keberadaan ponsel yang penyebarannya sangat masif.
Berdasarkan temuan penelitian Juniper Research yang dirilis dalam laporan bertajuk “Mobile Banking: Strategies, Applications and Markets 2008-2013”, pengguna ponsel yang menggunakan perantinya untuk bertransaksi perbankan, di tahun 2011 akan mencapai 150 juta di seluruh dunia dan akan terus tumbuh hingga mencapai 1,4 miliar di tahun 2015. Potensi pasar terbesar ada di kawasan Timur dan Cina, Eropa Barat dan Amerika Utara.
Di AS, menurut laporan harris Interactive dalam “On-the0Go Mobile Purchases, Banking on the Rise”, saat ini 16% pelanggan ponsel di negara itu sudah menggunakan layanan mobile-banking (60% di antaranya memakai layanan tersebut setidaknya seminggu sekali). Utamanya layanan mobile banking ini memang digunakan untuk mengecek saldo dan transfer antar rekening,meski ada juga yang mulai memakainya untuk hal yang sedikit lebih advance seperti berbelanja dan transaksi jual beli saham.
Namun potensi ini bukan tidak mengandung resiko, baik dari sudut pandang konsumen (misalnya keamanan dalam bertransaksi) maupun dari sisi industri (seperti kebijakan yang mengatur lalu lintas transaksi). Harris Interactice manyatakan, setidaknya terdapat beberapa hal yang menjadi hambatan dalam meluasnya perkembangan gejala ini.
Kekuatiran untuk memberikan data diri pribadi seperti identitas rekeningmenjadi alasan utama resistensi mayoritas konsumen terhadap mobile banking, diikuti dengan besarnya peluang penipuan dan kejahatan finansial lainnya. Ada juga kekuatiran akan hilangnya piranti yang menyimpan beragam informasi bernilai yang sering digunakan untuk mobile banking. Agar industri mobile banking ini bisa diterima konsumen secara luas, isu keamanan memang merupakan kunci dalam mempengaruhi persepsi konsumen.
Sementara dari sisi industrinya, terminologi mobile banking yangmasih sangat luas – tercakup di dalamnya tramsaksi perbankan berikut pembayaran tagihan, pengiriman uang, notifikasi, informasi saham dan bahkan dompet elektronik sampai dengan perkembangan terakhir yang menjadikan internet dapat diakses melalui perangkat mobile- memang menciptakan banyakpeluang sekaligus potensi gesekan di antara dua industri besar, yaitu antara telekomunikasi dan perbankan. ( Bambang Sudjatmoko )