MARKETING.co.id – Pasar minuman ringan di Indonesia masih memiliki prospek untuk tumbuh dan akan berkembang ke jenis minuman ringan seperti minuman bersoda, jus dan sari buah, hingga minuman energi. Pasar minuman ringan tahun 2012 diestimasi meningkat 5%–7%, mencapai antara Rp288,8 triliun sampai dengan Rp294,3 triliun bila dibandingkan tahun lalu sebesar Rp275 triliun. Market share minuman ringan pada tahun 2011 masih didominasi air minum dalam kemasan (AMDK) sebesar 84,1%. Pertumbuhan AMDK cukup signifikan dalam tujuh tahun terakhir dengan pertumbuhan rata-rata 12,6%.
Penjualan minuman bersoda terus meningkat tiap tahun walaupun market share-nya jauh di bawah AMDK. Pada tahun 2012 diperkirakan penjualannya naik menjadi 790,4 juta liter, meningkat dari tahun lalu sebesar 687,3 juta liter. Market share minuman bersoda di Indonesia tahun lalu masih didominasi produk perusahaan Coca-Cola sebesar 89%.
Pemerintah berencana meningkatkan penerimaan negara dengan cara penyesuaian tarif cukai dan ekstensifikasi barang kena cukai. Beberapa komoditas yang rencananya akan dikenai cukai antara lain mobil mewah, semen, ban, minuman bersoda, sabun, detergen, air mineral, sodium siklamat dan sakarin, gas alam, metanol, kayu lapis, BBM dan baterai kering atau aki. Berdasarkan UU No. 39 tahun 2007, barang yang kena cukai mempunyai karakteristik sebagai berikut:
- konsumsinya perlu dikendalikan;
- peredarannya perlu diawasi;
- pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup;
- pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Untuk sementara, di Indonesia ada tiga jenis barang kena cukai secara umum, yaitu etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol (MMEA), dan hasil tembakau.
Untuk saat ini, komoditas yang paling dekat dengan pengkajian ekstensifikasi barang kena cukai adalah minuman bersoda dan monosodium glutamate (MSG) dengan alasan kedua komoditi tersebut membahayakan kesehatan. Pengenaan cukai terhadap minuman bersoda dan MSG sebetulnya pernah diterapkan pada tahun 2001–2002 walau akhirnya mendapatkan penolakan dan dikaji ulang sehingga kebijakannya dicabut.
Rencana minuman bersoda dikenai cukai agak mirip dengan kebijakan di luar negeri seperti Perancis, Hungaria, Denmark, dan Amerika Serikat yang memberikan pajak tambahan—yang mulai diberlakukan tahun lalu dan awal tahun ini. Yang berbeda adalah, di luar negeri tidak disebutkan spesifik minuman bersoda, tetapi minuman yang kandungan gulanya tinggi. Alasan yang digunakan adalah alasan kesehatan, karena konsumsi minuman berpemanis gula dihubungkan dengan obesitas, diabetes tipe 2, gangguan metabolisme, kesehatan tulang dan gigi.
Di Amerika Serikat sudah ada dua negara bagian yang telah menetapkan pajak dengan persentase pajak yang berbeda, yaitu 6% dan 1,5% dari harga. Selain pajak, ada juga dalam bentuk pembatasan seperti di New York yang berupa larangan menjual minuman berpemanis gula dengan berat lebih dari 16 ons atau sekitar 453 gram di tempat umum seperti restoran, stadion, dan bioskop. Larangan ini tidak berlaku untuk minuman jus yang kadar buahnya lebih dari 70% atau minuman susu dengan kadar susu lebih dari 50% karena kandungan gizinya dinilai masih cukup tinggi. Pemberian pajak khusus di Amerika dengan alasan kesehatan masih masuk akal karena tingkat konsumsi minuman bersoda yang sebagian besar berpemanis gula yang tinggi—hampir 50% penduduknya mengonsumsi tiap hari dengan rata-rata konsumsi 2,6 gelas per hari.
Pemerintah dalam membuat keputusan dapat mengacu pada kebijakan negara lain yang telah memberikan pajak khusus pada minuman berpemanis gula jika alasan yang digunakan adalah kesehatan. Karena bila hanya minuman bersoda yang dikenai cukai, muncul potensi konsumen pindah ke minuman ringan lainnya, seperti teh cepat saji, minuman energi, sari dan jus buah, yang kandungan gulanya tidak kalah tinggi yang tentu tidak baik untuk kesehatan. Meski begitu, sejauh ini juga belum ada bukti penurunan konsumsi pada negara lain karena diterapkannya pajak tambahan, baik pada minuman bersoda atau berkadar gula tinggi.
Dalam lima tahun terakhir, lebih dari 95% penerimaan cukai berasal dari cukai hasil tembakau, tetapi secara persentase memiliki tren menurun. Sedangkan MMEA yang pada tahun 2007 hanya 1,6% naik menjadi 4,7% atau sekitar Rp3,6 triliun per tahun lalu. Peningkatan tersebut menunjukkan bahwa walau dikenai cukai, MMEA tetap tumbuh. Hal ini disebabkan cukai MMEA tidak terlalu digenjot oleh pemerintah karena tingkat konsumsinya tidak setinggi hasil tembakau. Demikian juga dengan persentase penerimaannya, naik tetapi secara keseluruhan penerimaan cukai dari MMEA dirasa belum signifikan.
Jika minuman bersoda jadi dikenai cukai, pemerintah berpotensi menerima pendapatan tambahan sebesar Rp2,7 triliun. Dengan target penerimaan cukai pada tahun 2013 sebesar Rp92 triliun, potensi penerimaan dari cukai minuman bersoda hanya sekitar 3%—suatu angka yang kecil jika berkaca pada alasan tidak digenjotnya cukai MMEA. Diasumsikan minuman bersoda dikenai cukai, tarifnya diperkirakan tidak akan melonjak dengan drastis tiap tahunnya karena pemerintah lebih suka menggenjot penerimaan cukai dari hasil tembakau yang nilainya jelas lebih besar—dan walaupun tarifnya naik yang otomatis harganya ikut naik, jumlah penggunanya selama ini terus meningkat.
Sebagai produsen minuman bersoda, harga produk yang meningkat berpotensi akan menurunkan tingkat penjualan. Mengacu pada pengenaan cukai pada minuman bersoda karena alasan kesehatan, produsen dapat membuat produk dengan poin promosi sebagai produk yang lebih sehat walaupun bersoda, seperti bebas bahan tambahan atau pengawet. Dari 16% jumlah produk minuman yang beredar di Eropa pada tahun 2006, yang menggunakan klaim “bebas bahan tambahan dan pengawet” meningkat menjadi sekitar 25% pada tahun 2008. Ini menjadi bukti bahwa kesehatan semakin menjadi poin pertimbangan konsumen dalam memilih produk. Contoh lain dapat dilihat pada industri rokok, industri yang telah dikenai cukai dan jelas-jelas berakibat buruk bagi kesehatan, dengan mengeluarkan jenis mild yang pencitraannya “ringan” sehingga berkesan seakan-akan tidak berbahaya bagi kesehatan. Gabungan promosi tersebut dengan segmentasi pasar yang tepat telah menjadikan rokok mild menjadi jenis rokok yang paling laris di Indonesia. Dalam hal ini, industri minuman bersoda di Indonesia dapat belajar dari strategi marketing industri rokok yang telah teruji walau berkali-kali dihadapkan pada kenaikan tarif cukai.