Meski kecil, ekspornya sampai ke Jepang

Bisnis model UKM tidak bisa dianggap remeh. Biarpun kecil, ternyata ada yang bisa merambah luar negeri.

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan salah satu urat nadi yang penting dalam perekonomian di negara kita. Sebagai gambaran, kendati sumbangannya untuk output nasional (PDRB) hanya 56,7% dan untuk ekspor nonmigas hanya 15%, namun UKM memberi kontribusi sekitar 99% dalam jumlah badan usaha di Indonesia serta punya andil 99,6% dalam hal penyerapan tenaga kerja (Kompas, 14/12/2001). Bahkan,  ketika krisis moneter tahun 1997-an terjadi di mana perusahaan-perusahaan besar di Indonesia langsung terkena dampaknya sehingga banyak yang gulung tikar, hanya di kalangan UKM yang masih tetap bertahan dan hidup hingga kini. Sayangnya, selama ini usaha jenis ini kurang mendapatkan perhatian. Bisa dibilang, kesadaran itu akan pentingnya UKM baru muncul belakangan ini saja.

Banyak sekali bidang usaha dalam UKM yang dijalankan oleh masyarakat. Salah satunya adalah kerajinan batik dari Pekalongan, Jawa Tengah, yang dijalankan oleh Fathia Sa’adah. Usaha ini pada awalnya dilakukan oleh keluarga yang kemudian dilanjutkan oleh generasi selanjutnya. Fay, demikian nama panggilannya,  merupakan penerus usaha batik keluarga yang dirintis sejak tahun 1975-an itu. Dimulai oleh neneknya, lalu orangtuanya, hingga dirinya sendiri. Setiap usaha kerajinan batik punyai kekhasan masing-masing . Pada batik keluarga tersebut, unsur klasik lebih diutamakan.

Fay sendiri baru menekuni bisnis ini secara serius sejak berhenti dari pekerjaannya pada tahun 2000. “Awalnya, saya memasarkan produk batik di tempat bekerja dulu. Jadi sambil kerja, jualan juga,“ paparnya. Dua tahun kemudian, bermodalkan hasil penjualan batik, ia memutuskan untuk serius berbisnis dengan membuka toko batik.  Bisnisnya ternyata berkembang mulus. Kini Fathia telah memiliki tiga buah toko dengan modal gabungan dari teman dan familinya.

Menurutnya, modal awalnya bisa dibilang nol. Bahan-bahan batik ia dapatkan dari usaha orangtuanya, yang kemudian ia jual kepada teman-temannya. Keuntungan-keuntungan tersebut kemudian ia kembangkan sendiri. “Tetapi, modal saya untuk buka satu toko secara keseluruhan mencapai 50 juta rupiah. Itu termasuk sewa toko, lho,“ ungkap ibu seorang putra ini.

Tahap selanjutnya, usaha keluarga mengalami kemajuan. Ini ditandai dengan ekspor ke beberapa negara, seperti Jepang, Amerika dan Spanyol. “Mereka datang sendiri melalui agen penjualan di Jogja, Bali dan Jakarta. Melalui agen-agen itulah kami mengirim batik-batik kami,“ lanjutnya. Dari ekspor tersebut, Fay bisa memperoleh keuntungan sekitar Rp 200 juta per bulan, itupun khusus dari ekspor ke negara Jepang saja.

Menurut Fay, ada perbedaan bahan yang akan dipasarkan ke setiap negara tujuan ekspor. Pasar Amerika lebih memilih bahan batik dari katun. Sedangkan untuk Jepang, bahannya terbuat dari sutera. Selain itu, bahan dasarnya malahan didatangkan dari negeri Sakura itu sendiri. Mereka hanya minta dibuatkan motifnya saja di Indonesia.

“Nantinya, saya berencana untuk mengembangkan ekspor kerajinan batik ini ke negeri jiran, Malaysia. Saya ingin mencoba ke sana,“ ungkap Fay sembari tersenyum,  ketika ditanya soal rencana pengembangan usaha ke depan.

Usaha yang dikelola oleh Fay ini hanya merupakan salah satu dari sekian banyak keberhasilan UKM di Indonesia. Mereka bisa berhasil tanpa campur tangan atau bantuan dari pemerintah (seperti yang dilakukan oleh banyak konglomerat), yang seharusnya bisa lebih mengulurkan tangan pada mereka.

Noor Yanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.