Marketing.co.id – Pandemi virus corona tidak hanya mengganggu sektor bisnis dan ekonomi namun juga rantai pasok dalam skala global maupun nasional. Berbagai komoditas mulai dari bahan pangan hingga non-pangan terhambat imbauan social distancing maupun kebijakan lockdown yang dilakukan beberapa negara di dunia.
Demikian juga dengan bisnis di Indonesia yang turut merasakan perlambatan rantai pasok seiring pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dimulai di wilayah DKI Jakarta sejak 10 April 2020.
Mereka dihadapkan dengan penurunan permintaan dan gangguan produksi akibat mobilitas manusia yang terbatas, berakibat langsung terhadap meluncurnya daya beli masyarakat.
Bagaimana agar bisnis dapat bertahan hidup memang penting. Namun lebih penting lagi adalah mengantisipasi agar kekagetan (gap) dapat diminimalisasi agar perusahaan tidak malah “jungkir balik” pada masa post-pandemic.
Seperti dua sisi mata uang, tantangan merupakan teman setia dari inovasi. Di masa sulit pandemi ini ada peluang bagi bisnis untuk merapikan dan menganalisa ulang sistem rantai pasok mereka; melakukan disrupsi yang diperlukan untuk membuat roda bisnis tetap stabil seperti pada masa sebelum pandemi, kalau kurang memungkinkan untuk mengakselerasi kinerja perusahaan.
Inovasi yang muncul untuk dapat bertahan hidup, menjadi kekuatan saat memasuki periode pemulihan kelak. Seolah-olah ‘mencuri start’, bisnis-bisnis inilah yang nantinya akan menjadi bagian dalam 9% perusahaan yang tidak hanya pulih, tetapi terus berkembang sampai mengungguli kinerja pra-resesi (Studi oleh Harvard Business Review).
Perusahaan bisa melakukan efisiensi dengan memprioritaskan barang yang paling dibutuhkan konsumen dan tidak hanya bergantung pada data pemesanan distributor. Selain itu, memastikan harga di ritel tetap wajar juga diperlukan mengingat daya beli masyarakat ikut menurun di tengah pandemi.
Lakukan langkah-langkah kuratif seperti meningkatkan transparansi informasi dan data di seluruh rantai pasok, terutama pada tahapan distribusi yang mencakup area, produk, dan channel yang terkendala.
Yang paling terutama, transparansi data dan digitalisasi untuk tidak hanya membantu pemantauan rantai pasok namun juga menghemat biaya dengan memastikan jumlah produksi dan distribusi sejalan dengan permintaan.
Jangan pernah lupakan aspek konsumen/pelanggan sebagai mata rantai utama, tujuan akhir. Preferensi, hak eksklusif mereka saat membuat pilihan adalah kunci di masa pandemi ini.
Bangun komunikasi dan kedekatan yang kuat dengan pelanggan, mendengarkan apa yang menjadi kebutuhan mereka saat ini, sehingga mereka tetap memilih produk dan jasa yang dimiliki perusahaan.
Pada dasarnya, sistem rantai pasok yang ideal berjalan dua arah: berangkat dari adanya kebutuhan konsumen/pelanggan, dan sampainya produk dan jasa ke tangan konsumen/pelanggan.
Artikel ini ditulis dan dikirim oleh Boris Sanjaya, Chief Executive Officer, Advotics