Mengorkestrasi Transformasi Korporasi Melalui Teknologi

Di era Industri 4.0 seperti sekarang ini, penggunaan teknologi digital di dalam bisnis sudah menjadi sebuah keniscayaan. Perusahaan di berbagai industri berusaha bertransformasi dengan cara mengadopsi teknologi digital ke dalam berbagai elemen model bisnisnya, agar tidak tergerus hilang karena tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital.

Transformasi Korporasi

Dari sisi digitalisasi, mengacu pada riset yang dilakukan Microsoft dan IDC, produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2021, 40% porsinya akan berasal dari produk dan layanan digital. Kontribusi ini naik 10 x lipat dari tahun 2017 yang hanya sebesar 4%. Temuan lainnya adalah ada 79% organisasi di Indonesia sedang melakukan proses transformasi digital di tahun 2017, tetapi hanya 7% yang dapat diklasifikasikan sebagai pemimpin. Para pemimpin ini adalah organisasi-organisasi yang telah memiliki strategi transformasi digital dan setidaknya sepertiga dari pendapatan mereka berasal dari produk dan layanan digital. Atau dalam istilah manajemen, organisasi seperti ini disebut sebagai digitally matured. Selain itu, perusahaan-perusahaan ini melihat peningkatan manfaat sebesar 20%–30% di berbagai bidang bisnisnya sebagai dampak proses transformasi digital.

Bagaimana halnya dengan kondisi transformasi digital pada tataran global? Riset-riset yang dilakukan MIT (Massachusetts Institute of Technology) mengungkap ternyata perusahaan memiliki cara yang berbeda-beda dalam melakukan transformasi digital. Perusahaan yang terlalu berfokus pada penggunaan teknologi dan bukan pada orkestrasi proses bisnis, cenderung akan stagnan proses transformasinya atau bahkan gagal.

Dalam artikelnya di MIT Sloan Management Review Agustus 2018, Gerald Kane, Profesor dari Carroll School of Management at Boston College, memberikan contoh kasus transformasi di Marriot Hotel yang kurang berhasil. Direktur digital atau chief digital officer (CDO) di Marriot ditunjuk sebagai penanggung jawab proses transformasi digital di jaringan hotel premium tersebut. Fokus transformasi berkutat pada pembuatan sebuah aplikasi di ponsel pintar dengan berbagai fitur inovatif yang ditujukan kepada tamu atau calon tamu hotel agar mereka dapat melakukan mobile check-in, permintaan room service, pengecekan tagihan secara realtime dan lain-lain. Walaupun app tersebut berhasil dibuat, dipakai, dan disukai oleh para tamu, sistemnya belum terintegrasi dengan operasional di back office sehingga kinerja hotel tidak otomatis meningkat.

Kasus di Marriot menunjukkan bahwa transformasi yang di-lead oleh unit IT atau unit marketing saja boleh jadi tidak mampu mendorong unit-unit lain untuk ikut mendukung proses transformasi. Karena pada dasarnya, tantangan dalam melakukan transformasi digital adalah lebih soal mengubah perusahaan dan karyawannya, bukan sekadar implementasi sistem IT atau otomasi terbaru yang di-launch untuk pelanggan atau karyawan. Guna mengetahui lebih jauh mengenai divisi mana dalam perusahaan yang bertanggung jawab mengorkestrasi proses transformasi digital, Kane melakukan survei yang hasilnya dapat dilihat di infografis.

tranfromasi korporasi 2

Perusahaan dibagi menjadi tiga status dalam proses transformasi digital tersebut; yaitu perusahaan yang masih awam dalam digital (early), yang sudah mulai mengembangkan aspek digital (developing), dan yang sudah menguasai penggunaan teknologi digital (maturing). Terlihat bahwa di perusahaan yang masih awam, orkestrasi transformasi paling banyak dilakukan oleh divisi IT (23%), setelah itu oleh staf korporat yang membantu CEO (22%). Di perusahaan yang sudah mulai berkembang aspek digitalisasinya, orkestrasi berbalik, yaitu lebih banyak dilakukan oleh staf korporat (31%) dan kemudian oleh divisi IT (20%). Di perusahaan yang sudah mumpuni, orkestrasi ada di bawah kendali langsung CEO melalui staf korporatnya (41%), dan peran divisi IT mengecil (16%). Di ketiga status perusahaan, divisi marketing mengambil peran orkestrasi relatif kecil, yaitu maksimal 10% saja—itu pun di perusahaan yang masih tergolong awam. Dengan kata lain, transformasi digital akan lebih sukses jika diorkestrasi langsung oleh CEO dengan didukung divisi-divisi lain, khususnya divisi IT.

Inilah saatnya menguji apakah pemimpin korporasi di bidang IT memang memiliki business sense untuk dapat menggunakan teknologi dengan dosis dan cara yang tepat dalam mentransformasi korporasinya, atau direktur IT ternyata masih berkutat di isu teknis teknologi. Hal ini tercermin dalam ungkapan George Westerman, “There’s never been a better time such as now to be a great CIO, and there’s never been a worse time to be an average one.”

 

Asnan Furinto

Marketing Scientist

Dosen Program DRM Bina Nusantara University

 

MM.11.2018/W

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.