British Airways mempunyai aturan tertulis bahwa pilot atau awak pesawat tidak boleh over-promise. Hal ini akan mengakibatkan ketidakpuasan para penumpangnya. Salah satunya adalah bila saat pewasat akan mendarat, mereka tidak boleh mengumumkan lama pesawat akan mendarat sesuai dengan yang terlihat di monitor ruang pilot. Mereka diminta untuk memberikan tambahan waktu.
Bila crew pesawat yang bertugas mengatakan bahwa pesawat akan mendarat 20 menit lagi dan kemudian kenyataannya, ternyata baru mendarat 25 menit, maka hal ini bisa mengakibatkan ketidakpuasan dari sebagian penumpang. Sebagian akan mengira bahwa sang pilot kurang ahli. Sebagian penumpang akan berpikiran bahwa tidak ada koordinasi yang baik antara pilot dan mereka yang bertugas di airport. Sebagian bahkan mulai cemas dan menduga bahwa cuaca di bandara mungkin buruk.
Penumpang jauh akan lebih puas bila crew pesawat mengumumkan bahwa pesawat akan mendarat 25 menit lagi, dan kenyataannya, pesawat mendarat 20 menit setelah pengumuman. Penumpang pesawat puas, karena harapan mereka adalah masih menunggu 25 menit, ternyata kemudian hanya dibutuhkan 20 menit.
Contoh lain adalah bila kita pergi ke suatu restoran. Waiter yang mengerti akan pentingnya harapan pelanggan, tidak perlu over-promise. Lebih baik mengatakan bahwa makanan akan tersedia 20 menit lagi walaupun standar restoran tersebut adalah dalam waktu 10 menit, makanan akan siap dihidangkan. Kalau si waiter mengatakan bahwa makanan akan tersaji dalam waktu 10 menit dan kemudian kenyataannya ternyata membutuhkan waktu 15 menit, maka pelanggan restoran tersebut cenderung tidak akan puas. Saat memasuki menit ke-10, pelanggan restoran akan mulai tidak tenang menunggu.
Kedua contoh di atas menunjukkan bahwa harapan pelanggan dapat dikontrol. Adalah akan menjadi mudah untuk memuaskan pelanggan, bilamana harapan pelanggan dapat dikontrol dan direndahkan. Dengan harapan yang rendah, maka kepuasan pelanggan akan mudah dicapai.
Contoh penumpang pesawat dan pelanggan restoran adalah situasi dimana pemberi jasa dapat mengontrol harapan pelanggan. Selain itu, pelanggannya pun juga dapat dikontrol untuk bersama dengan perusahaan karena mereka sudah masuk dalam proses pelayanan.
Penumpang yang di dalam pesawat, tidak akan berpikir untuk terjun kalau si pilot mengatakan akan mendarat lebih lama dari yang mereka harapkan. Juga, pelanggan restoran yang sudah duduk dan sudah memesan makanan, jarang akan meninggalkan restoran kalau si waiter memberikan perkiraan terhadap waktu menunggu yang sedikit lebih lama dari yang diharapkan.
Masalahnya, faktor yang mempengaruhi harapan pelanggan sebagian besar tidak dapat dikontrol. Yang jelas tidak dapat dikontrol adalah harapan yang terbentuk oleh karena aktivitas komunikasi terutama iklan dari pesaing. Kita bisa mengkomunikasikan kepada pelanggan bahwa bila anda membeli produk, maka akan dilayani dalam waktu 2 hari. Bagaimana kalau ada pesaing yang menjanjikan kepada pelanggannya bahwa setiap order akan dilayani kurang dari 24 jam? Memang, kita lebih dapat memuaskan pelanggan kita karena mereka mempunyai harapan yang lebih rendah yaitu 2 hari. Problemnya, pelanggan kemungkinan tidak akan menempatkan order untuk kita. Dalam hal ini, kita sulit mengontrol harapan pelanggan dan juga pelanggan dalam kondisi bebas untuk memilih produk dan jasa yang akan dibeli.
Komunikasi dari mulut ke mulut adalah faktor pembentuk harapan yang juga tidak dapat dikontrol. Faktor-faktor pembentuk harapan yang berhubungan dengan personality juga relatif tidak dapat dikontrol oleh perusahaan. Kalaupun bisa, relatif tidaklah terlalu besar.
Lalu, bagaimana manajemen menyikapi harapan pelanggan ini ? Pertama, pada prinsipnya, mau tak mau, perusahaan harus tetap mengejar harapan pelanggan dengan cara memberikan produk, pelayanan dan value yang sesuai dengan harapan pelanggan. Bila harapan pelanggan naik, maka perusahaan harus pula melakukan peningkatan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan. Dinamika harapan pelanggan adalah realita pasar.
Kedua, untuk faktor dimana harapan pelanggan dapat dikontrol atau dipengaruhi, perusahaan perlu menghindari sikap over-promise. Terlebih bila perusahaan lebih banyak mengandalkan strategi defensif yaitu lebih banyak upaya untuk mempertahankan pelanggan. Yang seringkali bersikap over-promise adalah karyawan di bagian penjualan. Perusahaan yang tidak hati-hati dalam merekrut tenaga penjual atau salah dalam membuat sistem kompensasi yang terlalu besar memberikan komisi dan bonus, akan mempunyai kesulitan dalam upayanya untuk meningkatkan kepuasan pelanggan.
Demikian juga dengan janji-janji dalam iklan. Sebelum janji dalam iklan diformulasikan, perusahaan perlu mengevaluasi kemampuannya untuk memenuhi janji yang tertuang dalam iklan. Intinya, janji harus realistis. Bila tidak, hanya mendorong peningkatan penjualan jangka pendek. Mereka yang telah mencoba suatu produk atau pelayanan dan kemudian kecewa adalah kelompok pelanggan yang jauh lebih sulit untuk diyakinkan kembali suatu saat dibandingkan dengan mereka yang belum pernah mencoba. (www.marketing.co.id)