Marketing.co.id – Berita Financial Services | Kejahatan siber dan pencucian uang terus menjadi ancaman besar bagi sektor jasa keuangan global. Berdasarkan data International Monetary Fund (IMF) tahun 2020, estimasi total kerugian tahunan akibat serangan siber di sektor ini mencapai USD 100 miliar atau lebih dari Rp1.433 triliun. Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun yang sama memprediksi nilai pencucian uang mencapai Rp29.000 triliun setiap tahun.
Salah satu modus penipuan yang sering ditemui adalah social engineering. Dalam modus ini, hacker memanipulasi korban untuk memberikan kata sandi atau informasi bank, bahkan memasang perangkat lunak berbahaya di komputer korban untuk mendapatkan kendali atas perangkat tersebut. Setelah mendapatkan akses, hacker akan mencuri identitas korban dan menguras tabungan mereka.
Menanggapi tantangan ini, Bank DBS Indonesia menggelar Financial Crime Seminar 2024 dengan tema “Menavigasi Risiko Kejahatan Keuangan di Sektor Perbankan”.
Seminar tersebut dihadiri oleh para tokoh penting, termasuk Presiden Direktur PT Bank DBS Indonesia Lim Chu Chong, Direktur Kepatuhan PT Bank DBS Indonesia Imelda Widjaja, Deputi Direktur Otoritas Jasa Keuangan (OJK) R. Rinto Teguh Santoso, Deputi Bidang Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Fithriadi Muslim, Tenaga Ahli Kepala PPATK Judith L.R. Panggabean, dan Executive Director Deloitte Forensic Services Doddy Ashraf Zulma. Mereka menyampaikan pandangan terkait penanganan kejahatan keuangan di sektor perbankan.
Acara ini selaras dengan Gerakan Nasional Anti-Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme oleh Bank Indonesia yang tahun ini sudah berjalan selama 22 tahun. Dalam seminar tersebut, Judith L.R. Panggabean memaparkan bahwa dari seluruh Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) Proaktif pada Februari 2021-Maret 2024, 45 persen adalah kasus penipuan dan 5 persen berasal dari transaksi perbankan. Laporan ini dimulai dari red flag yang ditemukan dalam proses identifikasi, verifikasi, dan pemantauan transaksi, yang kemudian dianalisis dan dilaporkan ke PPATK dalam bentuk LTKM.
Perbankan memainkan peran krusial dalam menjadi garda terdepan untuk mengatasi kejahatan keuangan. Salah satu caranya adalah dengan mengelola hubungan dengan calon dan pengguna jasa melalui penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ). Ini termasuk memutus hubungan jika ditemukan identitas palsu, penolakan pada tahap PMPJ, pengkinian profil, pemantauan transaksi, hingga pelaporan.
Selain implementasi PMPJ, edukasi kepada masyarakat dan nasabah juga penting. Oleh karena itu, pada acara yang sama, Bank DBS Indonesia meluncurkan ‘Behind The Scam’, sebuah seri Instagram bergaya Korea yang mengungkap berbagai modus penipuan. Melalui konten ini, Bank DBS Indonesia berusaha mengungkap strategi rumit yang digunakan para penipu dan menyajikannya secara sederhana dan mudah dimengerti.
Presiden Direktur PT Bank DBS Indonesia Lim Chu Chong menyampaikan, “Sebagai bank yang digerakkan oleh tujuan positif, Bank DBS Indonesia berkomitmen untuk senantiasa menjaga kepercayaan nasabah, termasuk soal keamanan bertransaksi. Oleh karena itu, kami menerapkan berbagai teknologi untuk memastikan adanya lingkungan perbankan digital yang aman, termasuk menghadirkan ‘Behind The Scam’ untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan beragam kejahatan keuangan di sekitar kita. Melalui berbagai upaya ini, diharapkan nasabah dapat menikmati layanan perbankan yang aman, nyaman, dan menyenangkan, sesuai dengan prinsip ‘Live more, Bank less’ yang kami miliki.”
Dengan langkah-langkah ini, Bank DBS Indonesia berharap dapat memberikan kontribusi signifikan dalam menghadapi dan mengurangi kejahatan keuangan, serta membangun kepercayaan yang lebih kuat di antara nasabah dan masyarakat luas.