Akhir tahun adalah saat yang tepat untuk melihat ulang berbagai indikator kinerja untuk mengukur capaian keberhasilan di tahun berjalan. Salah satu indikator kinerja capaian pemasaran yang dipakai banyak perusahaan adalah indeks kepuasan pelanggan. Indeks ini biasanya diperoleh melalui survei secara berkala untuk mengetahui sejauh mana perusahaan berhasil mengantarkan proposisi nilainya sesuai atau melebihi ekspektasi pelanggan yang dituju. Namun demikian, tidak banyak perusahaan yang dapat mengetahui dengan persis jenis emosi yang dirasakan pelanggan (yang membentuk ekspektasi) terhadap perusahaan. Kalaupun perusahaan mampu mengenali emosi pelanggannya, mereka tidak tahu bagaimana cara memanfaatkan dan memengaruhi emosi tersebut dengan efektif. Karena tidak ada patokannya, perusahaan kerap melakukan metode coba-coba (trial and error) dalam membangun komunikasi dengan pelanggannya.
Penelitian dari Scott Magids, Zorfas, dan Leemona yang dimuat di HBR edisi November 2015 memberikan insights yang dapat dimanfaatkan perusahaan untuk lebih mengenali suasana batin para pelanggannya. Menurut Scott dkk, total ada 300 jenis motivasi emosional yang mungkin dirasakan oleh pelanggan; dan emosi ini sifatnya dinamis, bisa berubah-ubah tergantung dari kategori produk, dari segmen pelanggan, dari perjalanan pelanggan (customer journey), dan dari titik interaksinya (touch point). Karena pada dasarnya emosi memang berbeda dari kognisi, maka bisa jadi uraian alasan yang dikatakan pelanggan untuk memutuskan membeli sebuah merek, berbeda dari ungkapan perasaan mereka dalam mempersepsikan merek yang dibeli.
Selanjutnya Scott dkk menggunakan teknik big data analytics dan pemodelan statistik untuk mengolah data pelanggan dari sembilan sample frames kategori produk dengan tujuan mengidentifikasi pola motivasi emosional yang berujung pada perilaku pembelian. Ditemukan ada 10 motivasi emosional yang paling sering diungkapkan pelanggan, di antaranya adalah motivasi “ingin terlihat lebih keren”, “ingin lebih percaya diri dalam menghadapi masa depan”, “ingin menjadi diri sendiri”, “ingin memiliki kebebasan tak terbatas”, dan lain-lain. Perusahaan yang mampu mengenali emosi-emosi ini dan memanfaatkannya pada saat yang tepat akan berhasil membuat pelanggannya bertransaksi lebih banyak (volume, harga), lebih sering (frekuensi), dan lebih bervariasi (jenis produk). Nilai pelanggan terbukti meningkat berkali-kali lipat seperti dapat dilihat pada infografis.
Dari hasil olah data, ternyata sejalan dengan peningkatan ikatan emosional antara pelanggan dan perusahaan, nilai pelanggan pun ikut meningkat. Pelanggan yang memiliki ikatan emosional tinggi dengan sebuah merek (fully connected) nilainya rata-rata meningkat 52% lebih tinggi dibandingkan pelanggan yang sangat puas tapi tidak memiliki kedekatan emosional (highly satisfied). Jika dilihat rinciannya per kategori produk, pembersih perabot nilai pelanggannya lebih tinggi 82%, gawai elektronik 68%, kartu kredit 52%, belanja daring 41%, hotel 37%, toko ritel 35%, dan perbankan ritel 27%.
Memang ada merek-merek yang secara DNA sudah memiliki naluri untuk membangun kedekatan emosional dengan pelanggannya, seperti misalnya Apple dan Disney. Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa semua perusahaan sebenarnya mampu untuk mengenali emosi pelanggannya asalkan mereka mau melakukan investasi untuk mengolah big data perilaku pelanggannya. Tidak perlu menjadi seterkenal Apple atau Disney untuk membangun kedekatan emosional dengan pelanggan. Dari berbagai kategori produk yang digunakan sebagai sampel penelitian, bahkan produk pembersih perabotan, atau produk makanan kaleng pun terbukti akan meningkat kinerjanya jika memiliki ikatan emosional.
Analogi dari perusahaan yang memiliki kemampuan pengikatan emosional dengan pelanggannya adalah seperti seseorang yang memiliki kecerdasan emosional (EQ). Orang yang memiliki EQ tinggi akan lebih sukses dalam interaksi dan pergaulan sosial. Seperti ungkapan dari Theodore Roosevelt, “No one cares how much you know, until they know how much you care.”
Asnan Furinto
Marketing Scientist
Dosen Program DRM Bina Nusantara University