Mengelola Risiko Kelapa Sawit: Laporan Singkat untuk Pemodal

Laporan berjudul “Mengelola Risiko Kelapa sawit: Laporan Singkat untuk Pemodal” yang diterbitkan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Landscape Indonesia menyebutkan bahwa lembaga-lembaga keuangan di Indonesia tengah menghadapi berbagai risiko terkait reputasi, benturan dengan peraturan, dan finansial yang semakin meningkat apabila memberikan pendanaan kepada produsen kelapa sawit yang tidak berkelanjutan.

Laporan ini menjelaskan hubungan antara praktik-praktik produksi kelapa sawit yang tidak berkelanjutan dengan peningkatan risiko bagi bank dan investor yang membiayai kegiatan tersebut.

Laporan ini juga menunjukkan langkah-langkah yang dapat diambil bank yang ingin mengalihkan portofolio kelapa sawit mereka ke bisnis kelapa sawit yang lebih mendukung pembangunan ekonomi berkelanjutan di Indonesia.

“Sektor kelapa sawit Indonesia sedang berubah. Para pemangku kepentingan utama, termasuk pemerintah dan perusahaan penyulingan, tengah mengambil langkah-langkah untuk mengelola isu-isu keberlanjutan, dan hal ini jelas menimbulkan risiko bagi bank-bank yang memiliki produsen tak berkelanjutan dalam portofolio mereka,” kata Agus Sari, CEO Landscape Indonesia dan Senior Associate di World Agroforestry Centre (ICRAF), sebagai salah satu penyusun laporan tersebut.

Sejumlah pemangku kepentingan tengah mengambil langkah-langkah untuk menangani isu-isu keberlanjutan yang terkait dengan ekspansi kelapa sawit, termasuk di dalamnya deforestasi, perusakan lahan gambut, dan kebakaran hutan, serta konflik lahan dengan masyarakat setempat, masalah ketenagakerjaan, serta korupsi dan penghindaran pajak.

Sebagai contoh, setelah kerusakan hebat yang disebabkan kebakaran hutan tahun 2015, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang melarang pengembangan lahan gambut dan membatasi perluasan perkebunan sawit.

Data yang dikutip dalam laporan ini menunjukkan bahwa tuntutan pasar dan peraturan saat ini dapat berarti bahwa 75 persen lahan yang sedianya dialokasikan untuk perluasan perkebunan sawit di masa depan tidak akan bisa dikembangkan lagi. Hal tersebut dapat menjadi risiko bagi bank-bank yang memodali mereka dikarenakan oleh jatuhnya nilai agunan pinjaman yang diambil sebelum adanya kebijakan-kebijakan baru ini.

Persyaratan dari pembeli global yang semakin ketat yang berkomitmen untuk hanya membeli kelapa sawit berkelanjutan dapat berakibat perusahaan kelapa sawit yang tidak memenuhi persyaratan tersebut kehilangan kontrak, yang dapat berujung pada berkurangnya pendapatan dan keuntungan.

 Selain itu, bank-bank yang mendanai produsen kelapa sawit yang tidak berkelanjutan juga menghadapi risiko reputasi yang serius. Ketika kemampuan masyarakat untuk memantau kontribusi perusahaan terhadap perusakan lingkungan dan tatanan sosial meningkat, reputasi bank bisa terancam apabila salah satu nasabah mereka diketahui melanggar persyaratan keberlanjutan dan perihal pelanggaran ini disebarluaskan.

Peraturan baru yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan Indonesia pada Juli 2017, mewajibkan bank untuk membuat laporan keberlanjutan dan memiliki rencana aksi keuangan yang berkelanjutan. Peraturan tersebut menyebutkan adanya penalti atas ketidakpatuhan dan didasarkan pada visi OJK tahun 2014 bahwa sektor keuangan perlu mendorong pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

“Bank telah berperan penting dalam lajunya pertumbuhan sektor kelapa sawit selama ini, dan bisa memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan selanjutnya. Lembaga-lembaga keuangan, termasuk bank melalui keputusan pendanaan yang diambilnya, dapat mendorong perusahaan untuk memenuhi tanggung jawab lingkungan dan sosial mereka.

Di saat yang sama, keputusan bisnis yang memperhatikan isu-isu keberlanjutan akan menciptakan stabilitas dan kemakmuran bagi bank dengan membatasi eksposur mereka terhadap risiko,” ujar Tiur Rumondang, Country Director untuk kegiatan RSPO di Indonesia.

 Laporan tersebut menetapkan 11 langkah jelas untuk dipertimbangkan bank yang memilih untuk memasukkan isu keberlanjutan ke dalam portofolio kelapa sawit mereka. Menentukan visi keberlanjutan secara keseluruhan serta kebijakan sektor kelapa sawit, mengkaji ulang portofolio, dan berdialog dengan nasabah mengenai isu keberlanjutan adalah langkah-langkah awal yang dianjurkan.

Selanjutnya rencana perbaikan dapat disepakati bersama nasabah, mungkin dengan insentif seperti suku bunga yang lebih rendah, sambil terus melakukan pemantauan, pelaporan, dan peninjauan, serta berpartisipasi dalam forum multipihak. Sudah saatnya sektor jasa keuangan Indonesia bergabung dengan gerakan menuju keberlanjutan dan menjamin masa depan yang stabil dan makmur.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.