Mengelola Kebijakan Retur agar Kinerja Tidak Babak Belur

Dalam industri ritel, kerap terjadi permintaan pengembalian barang dari satu pihak di hilir ke pihak di hulu. Pengembalian barang—atau kerap dikenal dengan istilah retur—ini bisa disebabkan oleh beberapa alasan. Di antaranya yaitu barang tersebut dianggap rusak atau defect, spesifikasi atau jenis barang tidak sesuai dengan pesanan, barang sudah terlalu lama berada (slow moving) di rak toko, dan berbagai kemungkinan lainnya. Barang rusak atau cacat memang sudah semestinya diretur, karena jika dipaksakan untuk diterima oleh pembeli dengan harga normal, hal ini akan memengaruhi kredibilitas pemilik merek barang atau toko ritel. Untuk jenis barang yang tidak sesuai pesanan, biasanya kebijakan retur dari banyak peritel adalah segera menukar barang agar sesuai dengan pesanan; atau jika barang tidak tersedia, ditukar dengan barang sejenis yang harganya setara; atau ada pula yang memberikan pengembalian uang (refund) kepada pembeli.

 

kebijakan retur

Hal yang menjadi isu kunci terkait kebijakan retur adalah sejauh mana peritel mampu memilah dan memilih retur mana yang genuine, dan retur mana yang dilatarbelakangi motivasi “aji mumpung” oleh sebagian kecil konsumen. Kebijakan retur ini memang harus dikelola dengan baik oleh produsen atau pemilik merek agar kinerja dan citra perusahaan di pasar tetap terjaga. Terlebih lagi dengan maraknya belanja daring lewat berbagai marketplace, tentu kemungkinan terjadinya kasus salah kirim, produk cacat, produk tidak sesuai pesanan, juga semakin besar. Memiliki kebijakan retur menjadi semakin penting.

Di tataran global, nilai retur barang ternyata cukup besar. Dari artikel hasil penelitian James Abbey dkk yang terbit di MIT Sloan Management Review edisi Juli 2018, diperkirakan pada tahun 2017 saja, konsumen melakukan retur barang dengan agregat nilai sebesar US$ 351 miliar. Seandainya nilai tersebut adalah omzet sebuah perusahaan yang mengkhususkan bisnisnya di barang retur, maka perusahaan ini akan berada di peringkat ke-2 dalam list perusahaan Fortune 500, di bawah Walmart yang berada di peringkat pertama.

Dalam penelitiannya, James dkk menggunakan data retur sebuah peritel besar di AS yang memiliki jaringan lebih dari 100 toko fisik plus kanal untuk penjualan daring. Ada lebih dari 1 juta data pelanggan yang dianalisis dengan total 75 juta kali transaksi selama 7 tahun terakhir. Tujuan dari penelitian adalah upaya untuk mengidentifikasi profil pelanggan berdasarkan perilakunya dalam melakukan retur. Identifikasi ini penting untuk meminimalkan potensi fraud atau “penipuan” berkedok retur yang dilakukan pelanggan. Peritel akan mampu memberikan kebijakan retur yang lebih tepat, sesuai dengan tingkat keuntungan yang diberikan pelanggan (customer lifetime profitability) yang meminta retur barang. Pelanggan yang nilai profitabilitasnya negatif memiliki kemungkinan lebih besar untuk menyalahgunakan atau mencari celah dari kebijakan retur yang diberikan perusahaan. Hasil analisisnya dapat dilihat pada infografik berikut.

 

KEBIJAKAN RETUR
Infografik segmentasi profitabilitas pelanggan berdasarkan perilaku retur.

Pelanggan ritel tersebut dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu pelanggan yang retur murni alias legitimate returners, pelanggan yang tidak pernah meminta retur alias non returners, dan pelanggan yang retur aji mumpung alias abusive returners. Pelanggan retur murni memang rata-rata nilai belanjanya per tahun (sekitar US$5.000) lebih kecil daripada pelanggan retur aji mumpung (sekitar US$14.000). Tetapi, pelanggan retur murni memberi kontribusi laba yang lebih besar (sekitar US$1.400) dibandingkan pelanggan yang tidak pernah retur (hanya sekitar US$220), apalagi dengan pelanggan retur aji mumpung (minus US$1.250, alias merugikan perusahaan). Pelanggan retur murni rata-rata meminta retur setelah 23 hari, sedangkan pelanggan retur aji mumpung meminta retur setelah 59 hari alias 2 bulan sejak pembelian. Berita baiknya, pelanggan yang masuk kategori retur aji mumpung hanya sedikit, hanya 0,4% dari jumlah seluruh pelanggan.

Data ini juga menunjukkan bahwa 48% pelanggan tidak pernah meminta retur. Peritel seharusnya dapat memberikan kesempatan kepada segmen ini untuk berbelanja lebih banyak dengan cara menawarkan kebijakan retur yang lebih fleksibel, karena semakin banyak nilai belanjanya, laba yang disumbangkan juga akan ikut membesar. Memiliki kebijakan retur yang bisa di-customized sesuai karakteristik retur pelanggan adalah bagian dari aplikasi prinsip customer centric. Seperti ungkapan dari Sampson Lee, “Customer centric is to strike the right balance between value for customer and value of customer”.

 

Asnan Furinto
Marketing Scientist
Dosen Program DRM Bina Nusantara University

 

MM.12.2018/W

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.