Jika dulu perusahaan hanya saling bersaing konten antara satu pesan pemasaran atau promo lain, kini strategi pemilihan media, sasaran segmen yang tepat, serta keberhasilan menyentuh titik emosional pelanggan sangatlah krusial.
Berbagai berita dan merek saling berebut, berteriak melalui semua media/channel yang ada di sekitar kita. Mulai dari bangun pagi ketika menyalakan televisi, membuka koran, mengoperasikan smartphone, mendengarkan radio, kita sudah diserbu oleh begitu banyak pesan pemasaran.
Apa pun kesukaan, hobi, atau media yang kita gunakan, kita tak bisa lari dari promo atau pesan-pesan pemasaran. Tak peduli kita hanya menonton film lepas, film seri, menikmati saluran olahraga, saluran tren fashion, bermain online game, menelusuri media sosial, memutar aplikasi musik di dalam smartphone, sampai berbagai konten di YouTube, semuanya sudah disesaki dengan konten promo dari berbagai merek.
Pemasar harus berpikir lebih keras untuk bisa tampil menonjol di antara sesaknya keramaian. Bukan karena pesan pemasaran atau promonya saja yang semakin bertambah banyak, konsumennya pun sudah semakin terbiasa, semakin jenuh, dan bahkan semakin mengabaikan semua konten tersebut.
Konsumen yang Semakin “Unpredictable”
Semakin ke depan, konsumen makin sulit untuk dijangkau dan di-engage. Mereka jadi lebih mandiri dan tidak terbiasa lagi dicekoki dengan berbagai pesan promo. Konsumen era digital sudah terbiasa mencari sendiri informasi produk yang dibutuhkan, sesuai dengan cara dan waktu yang mereka inginkan. Mereka mempunyai begitu banyak pilihan media; mereka bisa menikmati konten yang memang mereka inginkan, di mana pun, dan kapan pun.
Kebutuhan mereka juga semakin beragam, tapi semakin spesifik. Perilaku belanja dan konsumsi mereka pun kerap berubah cepat mengikuti tren yang sedang berlangsung. Ini karena perputaran berita yang cepat bahkan instan, yang bisa dengan cepat juga memengaruhi perilaku dan kebiasaan konsumen. Tantangan promo tak lagi hanya dibatasi oleh musim-musim liburan saja, merek harus memikirkan strategi promo mengikuti berbagai tren yang ada.
Kini pasar tak hanya bisa dipengaruhi oleh merek atau perusahaan saja. Konsumen pun bisa menjadi influencer bagi kategori produk tertentu, menciptakan tren baru, bahkan menciptakan perilaku konsumsi yang baru. Konten promo harus bisa berubah dan disesuaikan dalam sekejap agar bisa tetap up-to-date dengan situasi dan kondisi pasar.
Semua fenomena ini berujung pada satu tantangan yang harus dihadapi para pemasar saat ini dan ke depannya, yaitu bagaimana pemasar bisa mengatasi segala pengalih perhatian dan durasi atensi konsumen yang semakin sempit dalam mencerna suatu konten. Inilah mengapa era digital sering disebut sebagai era yang disruptif, dimana berbagai informasi dan data kian bertambah masif; atensi konsumen sangat mudah teralihkan; dan waktu untuk mencerna konten cenderung semakin sempit.
Walaupun demikian, konsumen semakin sering memanfaatkan segala macam media. Menurut riset Nielsen, rata-rata waktu yang dihabiskan konsumen dalam mengonsumsi media meningkat dari sekitar 45 jam hingga 65 jam per minggu. Dari situ terlihat peningkatan sekitar 45%.
Selain itu, konsumen juga lebih sering berganti platform dari sebelumnya. Dalam studi yang dilakukan Digital Natives, konsumen berpindah ke platform media lain rata-rata sekitar 27 kali per jamnya. Bahkan ada yang berpindah platform setiap menit.
Generasi yang lahir sebelum tahun 1990-an lebih sedikit berpindah platform, rata-rata sekitar 17 kali per jam. Meski tidak seekstrem generasi X, Y, dan Z, jumlah itu pun dianggap sudah cukup sering. Sementara durasi atensi pada suatu media atau konten mengalami penurunan sekitar 30%.
Sentuh Titik Emosional Pelanggan
Jadi, walau para brand manager meluangkan lebih banyak waktu untuk menjangkau pelanggannya, semua pelanggan tersebut juga tetap “getol” mencari tahu tentang merek-merek lain. Ini berarti ada lebih sedikit waktu interaksi antara perusahaan dan pelanggan yang mengarah ke penjualan. Jangka waktu atensi yang semakin pendek ini menyebabkan persaingan antarmerek semakin sengit untuk memperebutkan engagement dengan konsumen, mulai dari media televisi, gadget mobile, bahkan sampai ke pesawat terbang, kereta api, atau sarana transportasi lainnya.
Bagaimana para marketer bisa mendapatkan sedikit saja perhatian dari para konsumen? Bahkan sedikit perhatian pada awalnya saja sudah dianggap permulaan yang bagus. Jawabannya adalah merek harus berhasil membangun hubungan di tingkat emosional dengan para pelanggan terlebih dahulu. Tanpa hubungan dalam tingkat emosional, mustahil bisa terjadi engagement antara merek dan konsumen.
Marketer bisa mulai dengan menggodok strategi storytelling lewat konten promonya. Ini karena merek harus mampu menciptakan hubungan minimal pada level emosional bagi para pelanggannya. Pasar masa kini sangat bisa dijangkau dan disentuh oleh konten yang memuat alur cerita menarik. Kita bahkan sudah banyak melihat konsep iklan bersambung baik lewat media tradisional maupun online.
Strategi konten yang didesain secara storytelling sangat ampuh untuk digunakan karena secara alam bawah sadar, orang akan lebih mudah mengingat sesuatu jika disuguhi bentuk cerita. Merek hanya punya waktu sepersekian detik di awal untuk bisa mendapatkan perhatian dari audiens. Permulaan suatu cerita yang menarik bisa menyedot perhatian konsumen ke dalam konten promo selanjutnya.
Selain itu, pemilihan channel atau media yang tepat, serta pemilihan dan penyusunan konten yang tepat kaitannya dengan segmen yang disasar juga perlu diperhatikan. Konten promo atau iklan yang menyasar segmen baby boomers misalnya, kemungkinan besar lebih cocok disuguhkan melalui suatu konten promo yang bercerita tentang aktivitas atau kehidupan yang sifatnya sangat sehari-hari dan mengena dengan kebutuhan mereka.
Consumer Neuroscience
Pada awal kita memasuki era digital pun, survei sudah banyak membuktikan bahwa lingkungan berubah menjadi semakin kompleks, dan semakin sulit untuk menembus keramaian konten pesan pemasaran yang membanjiri pasar. Untuk itu marketer harus memahami bagaimana mekanisme otak manusia dalam memproses informasi dalam dunia yang sarat konten dan media ini.
Memang benar bahwa pesan bisa semakin jelas disampaikan ke depannya. Teks bisa disertakan langsung dengan foto atau gambar. Sebaliknya, gambar pun bisa disertakan langsung dengan teks. Berbagai gambar dan teks bisa disuguhkan dalam bentuk video singkat yang dilengkapi pesan suara. Beberapa video bahkan punya fitur interaktif di dalamnya; konsumen bisa langsung berinteraksi lewat video tersebut.
Tetapi, karena begitu banyaknya konten yang memasuki benak pelanggan nyaris dalam waktu bersamaan, membuat pemahaman kita semua menjadi bias. Semuanya berlangsung hanya dalam durasi sepersekian menit atau detik yang membuat daya ingatan kita juga semakin terbatas untuk bisa sekadar mengingat, apalagi memahami pesan pemasaran suatu merek.
Studi tentang emosi manusia menjadi kian penting dalam praktik advertising. Ini karena marketer sudah menyadari faktor emosi memainkan peranan yang sangat penting untuk dapat men-trigger penjualan, plus menancapkan awareness merek lebih lama di benak pelanggan. Logika dan emosi menempati lokasi yang berbeda di dalam otak manusia. Inilah mengapa muncul ilmu yang dinamakan consumer neuroscience.
Consumer neuroscience sendiri adalah kombinasi dari ilmu riset pelanggan dengan neuroscience modern. Tujuan dari bidang ini yaitu mempelajari perilaku manusia baik dalam keadaan normal, maupun dalam kondisi yang disruptif (yang tak bisa diprediksi atau tak bisa ditebak). Sementara ilmu consumer research sudah dipelajari sejak lama, yang juga mencakup ilmu sosiologi, psikologi, dan antropologi, ditambah dengan ilmu seputar advertising dan branding.
Selama ini marketer dan para peneliti belum dapat secara langsung menghubungkan proses mental internal dengan perilaku konsumen. Dengan memasukkan neuroscience ke dalam praktik consumer research, peneliti bisa memahami dan menyatukan penjelasan mekanisme kerja syaraf otak, faktor emosi, dan perilaku konsumen.
Kemampuan untuk merekam aktivitas otak dipadukan dengan kemajuan dalam teknologi neural imaging membuat kita mampu menentukan daerah spesifik mana dari otak yang berhubungan langsung dengan perilaku konsumen dalam memutuskan pembelian.
Consumer neuroscience unik karena fokus utamanya ada pada konsumen itu sendiri, serta bagaimana berbagai faktor lain bisa memengaruhi suatu individu dalam berbelanja atau mengonsumsi produk. Melalui consumer neuroscience, peneliti bisa memahami respons-respons bawah sadar seseorang yang berhubungan dengan impuls syaraf otak dan emosi. Ini supaya marketer bisa memahami berbagai faktor penting dalam engagement, seperti atensi, emosi, dan aktivasi memori.
Itulah intinya consumer neuroscience, yaitu fokus pada konsumen, mengusahakan engagement untuk mendapatkan atensi yang bisa memberikan dampak secara emosional. Semua ini bisa memperkuat awareness merek di dalam benak pelanggan, sekaligus memengaruhi perilaku mereka di masa depan.
Emosi kita bermain setiap saat. Emosi secara terus-menerus terpengaruh segala informasi yang diserap. Emosi pelangganlah yang sebenarnya menuntun mereka pada keputusan untuk membeli, berpindah ke lain hati, atau mengabaikan sesuatu. Hebatnya lagi, semua ini berlangsung di alam bawah sadar kita.
Tantangannya adalah bagaimana marketer bisa menangkap peluang ini. Sebagai manusia, kita sama-sama suka berpikir bahwa kita adalah makhluk yang rasional. Tetapi kenyataannya, emosi kita sering kali lebih berperan. Neuroscience modern membuktikan bahwa kita adalah makhluk emosional yang terkadang bertindak secara rasional. Siapkah Anda meng-engage para konsumen di era disruptif yang lebih emosional serta lebih pendek durasi atensinya?
Ivan Mulyadi
MM.07.2017/W