Menemukan Peran Manusia di Era AI, Kapan Human Touch Dibutuhkan?
Marketing.co.id – Berita Marketing | Di tengah gelombang otomatisasi dan adopsi teknologi Artificial Intelligence (AI), muncul satu pertanyaan penting: apakah peran manusia masih relevan? Jawabannya sangat relevan, terutama ketika menyangkut human touch, elemen yang tidak tergantikan oleh algoritma secanggih apa pun.
Saat Emosi Bermain: Marah, Kecewa, dan Fraud
Menurut Indonesia CX Expert Yuliana Agung dalam sebuah talkshow di acara CXtraordinary Evening di Jakarta beberapa waktu lalu, kehadiran manusia sangat krusial ketika pelanggan berada dalam kondisi emosional yang tinggi seperti marah, kecewa, atau bahkan menjadi korban penipuan (fraud).
Di momen-momen seperti itu, chatbot atau sistem otomatis sering kali gagal memahami nuansa emosi atau memberikan rasa aman yang dibutuhkan pelanggan. “Orang tidak ingin bicara dengan mesin saat mereka merasa ditipu atau dikhianati,” ujar Yuliana. “Mereka butuh seseorang yang bisa berkata, ‘Saya mengerti apa yang Anda rasakan.'”
Empati, Negosiasi, dan Persuasi: Kekuatan Manusiawi
Situasi yang melibatkan empati seperti negosiasi harga, atau persuasi dalam proses penjualan juga menuntut sentuhan manusia. AI dapat membantu menyusun data dan merancang script, tetapi hanya manusia yang bisa membaca konteks secara intuitif dan menyesuaikan pendekatannya dalam hitungan detik.
Empati adalah soft skill yang belum bisa direplikasi AI secara penuh. Dalam banyak kasus, closing terbesar datang bukan dari logika, tapi dari rasa percaya yang dibangun secara emosional.
Bukan Sekadar Pelaksana, Tapi Pengarah Strategi
Tak hanya di garis depan layanan pelanggan, peran manusia tetap vital di belakang layar. Pengambilan keputusan kompleks seperti strategi pricing, arah kampanye besar, hingga analisa data dari hasil kerja AI, masih membutuhkan intuisi, pengalaman, dan wawasan strategis dari manusia.
Dalam analisa data misalnya, AI bisa memberikan pola, tapi interpretasi dan validasi terhadap insight tetap harus melibatkan manusia. Kesalahan membaca konteks bisa membuat rekomendasi AI justru menyesatkan.
Investigasi dan Penilaian Moral
AI bekerja berdasarkan pola, tetapi tidak memahami nilai moral dan etika. Untuk kasus-kasus investigasi, audit, dan keputusan yang menyangkut reputasi atau hukum, manusia harus hadir untuk menilai dengan mempertimbangkan lebih dari sekadar angka.
Era digital bukan tentang mengganti manusia, melainkan memperkuat peran manusia melalui AI. Teknologi seharusnya mengambil alih pekerjaan berulang dan teknis, sementara manusia tetap memegang kendali dalam hal yang membutuhkan empati, intuisi, dan nilai-nilai moral. Karena pada akhirnya, manusia masih ingin dipahami oleh manusia lainnya.