Marketing Research di Negara Berkembang

www.marketing.co.id – Perilaku pelanggan di negara berkembang menimbulkan tantangan bagi paradigma mapan riset pasar—yang merupakan disiplin yang berasal dari Barat. Apakah perlu jika model penelitian yang tradisional diterapkan di seluruh dunia karena sifat manusia yang sama di mana-mana? Atau haruskah metode penelitian disesuaikan dengan dunia yang lebih kurang transparan, heterogen dan “berantakan” dari pasar negara berkembang?

Negara berkembang seperti Brasil, Meksiko, India, dan Cina berkontribusi lebih dari 30% dari GDP dunia dan 70% dari penduduk dunia. Namun, mereka telah menyumbang lebih dari setengah pertumbuhan GDP global sejak tahun 2001. Oleh karena itu, perusahaan multinasional (MNC) berebut untuk menjual produknya di dunia negara berkembang. Seiring dengan penjualan, muncullah penelitian pelanggan-pelanggan mereka yang dimulai di dunia Barat. Sementara perusahaan multinasional mengerti bahwa gelombang pertumbuhan berikutnya terletak pada dunia negara berkembang, mereka sering memaksa untuk mencocokkan wawasan dan strategi dari OECD1 ke negara-negara berkembang, yang menyebabkan hasil buruk.

Contohnya adalah mengenai bagaimana asumsi negara maju menerapkan langkah yang kurang tepat pada situasi pasar yang sedang berkembang, di antaranya:

Dengan asumsi bahwa metodologi penelitian yang sama harus diterapkan, terlepas dari jatuh tempo pasar, survei telepon dan internet sering digunakan sebagai metodologi penelitian pilihan di dunia bisnis. Hal ini disebabkan biaya rendah dan budaya kerja sama yang besar dengan proyek-proyek penelitian. Tapi, di banyak pasar negara berkembang, melakukan pendekatan langsung atau bentuk lain dari wawancara tatap muka mungkin lebih dapat menawarkan nilai tinggi, karena banyak konsumen tidak nyaman dengan penelitian yang dilakukan melalui telepon dan tidak menganggap serius penelitian yang diadakan melalui media internet.

Dengan asumsi bahwa perubahan terjadi secara perlahan—di pasar negara berkembang, laju pertumbuhan ekonomi akan diartikan ke dalam pengembangan yang lebih cepat dan perubahan dalam gaya hidup konsumen. Karena warga negara pasar berkembang mengalami perubahan sosial yang cepat dan peningkatan pendapatan yang pesat, profil konsumen dapat berkembang jauh lebih cepat daripada mereka yang hidup dalam lingkungan yang lebih stabil di lingkungan negara maju. Hal ini menyebabkan pemasukan merek yang lebih banyak dan siklus hidup produk yang lebih pendek.

Dengan asumsi bahwa responden adalah sama di mana pun, maka responden di pasar negara berkembang cenderung lebih “sopan” dalam menilai konsep dan merek produk. Hal ini perlu dipertimbangkan ketika menganalisis data. Misalnya, ketika responden mengatakan, “Saya pasti akan membeli”, itu sering berarti “Saya akan mempertimbangkan membeli”. Level pendidikan dan pengalaman dalam membeli produk juga mungkin jauh tertinggal dari negara maju, disebabkan ketidakmatangan karakteristik dalam banyak produk. Lebih dari itu, beberapa responden di pasar negara berkembang juga cenderung lebih ragu-ragu dalam membicarakan pendapatnya, yang kadang-kadang bisa disebabkan oleh karakter pendidikan dan sistem politik lingkungannya.

Pasar negara berkembang juga dapat melompati teknologi yang disebabkan oleh ketidakmatangan mereka. Sebagai contoh, negara seperti Indonesia mempunyai jumlah telepon seluler jauh lebih banyak dibandingkan saluran telepon berkabel. Ini membuat wawancara lewat telepon menjadi lebih sulit dalam menjangkau beberapa segmen. Sejumlah MNC masih mengalami kesulitan dalam memahami bagaimana ukuran pasar untuk produk-produk yang seharusnya “high-end” bisa lebih besar di pasar negara berkembang daripada di negara OECD, yang sebenarnya disebabkan produsen domestik.

Dalam hal logistik pelaksanaan penelitian, riset pasar di daerah pedesaan merupakan tantangan besar karena waktu perjalanan dan keterampilan yang diperlukan. Sekitar 70% dari India dan 52% dari Cina tinggal di kota-kota pedesaan dan desa-desa. Penelitian melalui intenet penting untuk menemukan solusi.

Di samping ini adalah masalah budaya. Di antara orang Cina, studi menunjukkan bahwa sebuah wawancara telepon seharusnya tidak berlangsung lebih dari 15 menit. Namun, survei biasanya melebihi 20–30 menit karena mereka melibatkan “pemecah kebekuan dialog” sebelum pertanyaan utama—sehingga mengikis perhatian responden.

Hal yang dianggap tabu untuk mewawancarai responden di negara berkembang adalah sebagai berikut:

  • Cina: sensitif pertanyaan tentang agama dan sejarah.
  • Jepang: setiap pertanyaan yang bisa membuat bahkan sedikit malu untuk responden, atau menyebabkan kritik terbuka.
  • Singapura: wawancara dengan menggunakan telepon atau wawancara dengan mengetuk di pintu rumah.
  • Malaysia dan Indonesia: pertanyaan untuk responden perempuan yang terlihat melangkah terlalu jauh dengan kehidupan pribadi mereka.

Satu studi yang dilakukan di Jepang melihat tingkat awal penerimaan wawancara rendah karena responden potensial ingin menghindari kemungkinan mengkritik klien. Hanya dengan ketekunanlah orang yang diwawancarai akan direkrut.

Bahasa bisa membuat hambatan juga. Negara-negara OECD tentu dapat banyak bahasa—negara-negara seperti Swiss, Belgia, Spanyol, dan Kanada. Tapi, mereka jarang mendekati tingkat keragaman linguistik atau kompleksitas yang terlihat di pasar negara berkembang, India memiliki 18 bahasa resmi dan ribuan dialek.

Penelitian berdasarkan jaringan sosial—apakah salah satu jalan keluar?

Seperti yang sudah banyak diketahui, konsumsi media sosial meledak di negara berkembang. Di Timur Tengah, misalnya, media sosial memegang peranan penting dalam membangkitkan—yang biasa disebut—revolusi Jasmine, yang mengarah ke pergantiannya rezim di Tunisia, Mesir, dan Libia di tahun ini.

Media sosial dapat membantu menyelesaikan beberapa masalah yang melekat pada penelitian di pasar berkembang dengan pelacakan buzz di sekitar produk/jasa, sehingga menghindari pengajuan pertanyaan langsung yang dapat membantu dalam penargetan dan perekrutan responden—yang dinyatakan mungkin akan sulit untuk direkrut.

Kesimpulan yang bisa didapatkan yaitu:

Emerging market jelas tujuan tumbuh tercepat untuk riset pasar global. Mereka juga membutuhkan lebih sering, lebih holistik, dan lebih mendalam penelitian. Masalah yang terkait dengan riset pasar di pasar negara berkembang jauh dari tangguh. Jalan untuk mengatasinya dimulai dengan tidak membabi buta mengimpor model penelitian yang telah bekerja baik di tempat lain di dunia. (Spire Research & Consulting)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.