“Pariwisata saya tetapkan sebagai leading sector. Pariwisata dijadikan sebagai leading sector ini adalah kabar gembira dan seluruh kementerian lainnya wajib mendukung dan itu saya tetapkan.” (Presiden Joko Widodo)
Piramida penduduk Indonesia saat ini masuk kategori muda (ekspansif) dengan usia rerata penduduk 28,6 tahun per tahun 2016 (BPS.go.id). Generasi muda Indonesia, khususnya usia 18─35 tahun punya perilaku konsumsi berbeda dibandingkan generasi pendahulunya, antara lain generasi X dan Baby Boomers. Bentuk perbedaan tersebut antara lain konsep yang dianut mengenai kepemilikan.
Relatif berbeda dari generasi pendahulunya, generasi Langgas dan generasi Z Indonesia lebih menganut prinsip ekonomi berbagi. Konsep kepemilikan benda yang berpotensi menjadi beban—seperti rumah tinggal hingga kendaraan pribadi, secara perlahan mulai ditinggalkan. Generasi muda Indonesia selain menerapkan prinsip ekonomi berbagi juga menerapkan prinsip kolaborasi dalam bekerja, dan bukan lagi penguasaan maksimal hulu hingga hilir. Perubahan pola pikir tersebut sudah mengindikasikan bahwa UMKM akan semakin mendominasi jumlah perusahaan di dunia dan di tahun 2030–2040, rasionya mungkin mencapai 80%.
Orientasi menikmati hidup pun bergeser dari kepemilikan kebendaan ke perolehan pengalaman. Khusus urusan pengalaman, generasi muda Indonesia condong lebih mengutamakan pengalaman personal dan hal tersebut dapat terlihat dalam urusan memilih tujuan berlibur atau paket wisata.
Dari perspektif konsep Customer Buying Decision Process, generasi Langgas dan generasi Z Indonesia pertama-tama akan melakukan penelusuran informasi tujuan wisata melalui PC, ponsel, atau laptop. Melalui tablet, tautan-tautan yang dibuka biasanya adalah blog, forum internet, atau artikel media daring mengenai paket liburan dan pengalaman berlibur. Mereka akan melakukan riset harga mengenai paket wisata, biaya penginapan, harga tiket pesawat, dan melakukan perbandingan harga melalui situs-situs agregator. Lalu, generasi Langgas dan generasi Z membeli semua kebutuhan mulai dari tiket pesawat, sewa hotel, dan lain-lain, melalui ponsel pada waktu tertentu setelahnya. Jika puas, mereka akan memikirkan pembelian ulang produk-produk yang sudah digunakan sambil menceritakan pengalaman positif mereka kepada rekan-rekannya melalui media sosial dan blog.
Dari penjelasan ringkas mengenai proses konsumsi produk generasi Y dan generasi Z Indonesia, kita dapat melihat minimal ada lima potensi bisnis yang dapat dijalankan yaitu (1) penginapan, misal hotel, losmen, hingga homestay di lokasi-lokasi wisata; (2) transportasi, misal bus, kereta, dan pesawat menuju daerah lokasi wisata; (3) kuliner, misal restoran di lokasi wisata; (4) logistik sebagai penyedia barang-barang untuk memenuhi kebutuhan konsumen industri pariwisata, misal gudang, tempat penyimpanan pribadi, dan truk; (5) platform berbasis teknologi yang menjembatani kebutuhan konsumen industri wisata dan penyedia barang serta jasa yang berhubungan dengan industri wisata.
Target Ambisius Pemerintah Indonesia di Sektor Pariwisata
Pemerintah Indonesia sudah menetapkan pariwisata sebagai sektor prioritas yang ditargetkan mampu menyumbang lapangan kerja serta pertumbuhan ekonomi negara secara signifikan. Namun, langkah pemerintah untuk fokus investasi proyek-proyek yang mendukung produktivitas dan peningkatan aktivitas industri pariwisata tidak muncul secara mendadak. Jika kita perhatikan pertumbuhan komponen-komponen pendukung pariwisata, angka-angka dua digit mulai muncul secara perlahan tapi pasti sejak 2016, terlihat khususnya pada transportasi udara dan rel kereta. Bahkan di internal Kementerian Pariwisata, sejak 2015 sudah direncanakan jika sektor pariwisata menjadi penyumbang devisa terbesar per 2018. Khusus di tahun 2018, Kemenpar menargetkan jumlah turis mancanegara sebanyak 17 juta, dan pada 2019 sebanyak 20 juta.
Ambisi pemerintah Indonesia dapat dikatakan tidak main-main dan memang serius dikerjakan. Hal tersebut terlihat antara lain melalui pencapaian “Wonderful Indonesia” sebagai Brand of the Year 2018 oleh Philip Kotler Center for ASEAN Marketing. Kemudian dalam indeks World Economic Forum 2017, strategi pemasaran “Wonderful Indonesia” meraih penetrasi daring dan peringkat yang lebih baik (47) dibandingkan dengan Thailand (68) dan Malaysia (85), meski masih kalah dari Singapura (38).
Semua pencapaian tersebut tak dapat dimungkiri sudah diperoleh melalui sumbangsih generasi Y dan generasi Z secara signifikan, baik sebagai konsumen maupun sebagai produsen. Agar pencapaian yang ada dapat terjaga dengan baik dan bahkan bisa melebihi target, pemahaman perilaku konsumen sesuai perkembangan zaman adalah hal mutlak. Sudah saatnya bangsa Indonesia beralih dari ekonomi berbasis konsumsi menjadi ekonomi berbasis produksi.
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, ada beberapa potensi bisnis yang layak dijalankan untuk mendukung industri pariwisata Indonesia. Apalagi situasi dan kondisi politik sangat kondusif untuk menjalankan bisnis ini. Salah satu yang dapat kita perdalam pembahasannya yakni platform berbasis teknologi yang menjembatani kebutuhan konsumen industri wisata, dan penyedia barang serta jasa yang berhubungan dengan industri wisata.
Bisnis teknologi dalam bentuk startup yang melayani kebutuhan industri pariwisata dapat memiliki variasi yang sangat besar. Mulai dari aplikasi perencana wisata, aplikasi sistem keuangan perhotelan, aplikasi jembatan antara pengguna kendaraan bermotor dan penyedianya, aplikasi pemasaran daring produk-produk pariwisata, hingga jasa konsultasi digital bisnis pariwisata.
Agar berbagai model bisnis tersebut dapat berkelanjutan, para pelakunya perlu pemahaman lingkungan makro dan lingkungan mikro. Untuk lingkungan makro, berarti pelaku perlu memahami faktor-faktor makro yang dapat berpengaruh pada bisnis, yaitu politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, teknologi, hukum, dan lingkungan. Sedangkan faktor-faktor mikro yang dapat berpengaruh adalah pemasok, pesaing, perantara, konsumen, dan pelaku bisnis itu sendiri.
Jika setiap pelaku usaha ingin berjalan sendiri, hal tersebut mungkin dilakukan. Tetapi, harap diingat bahwa sekarang zamannya berbeda, apalagi jika pelaku bisnis berasal dari generasi Y dan generasi Z yang mengutamakan kolaborasi dalam pencapaian tujuan. Bahkan bukan tidak mungkin terjadi kerja sama kompetisi—cooperation competition (coopetition).
Bekerja Bersama Melalui Asosiasi
Saat ini di Indonesia, bisa dikatakan masih sangat jarang asosiasi yang menyediakan wadah pengembangan ekosistem startup pariwisata digital di Indonesia. Satu-satunya yang diketahui penulis adalah PaSTI (Penggiat Startup Tourism Indonesia) yang masih berusia sangat muda dan baru saja melakukan peluncuran awal per 10 November 2018 di daerah Kuningan, Jakarta Selatan.
Melalui komunikasi dengan pengurus, didapatkan beberapa informasi antara lain mengenai visi dan tujuan PaSTI. Dalam rilis profilnya PaSTI menyatakan memiliki misi sebagai penggerak percepatan pembangunan pariwisata Indonesia, pendorong proses transformasi pariwisata konvensional menjadi pariwisata digital, meningkatkan ekonomi daerah melalui pariwisata, dan membantu penguatan merek Indonesia sebagai tujuan wisata kelas dunia.
PaSTI sebagai asosiasi membuka diri untuk para anggota dengan latar belakang perusahaan dan individu. Untuk perusahaan, diutamakan bergerak di bidang pariwisata dan penyedia jasa atau keahlian dalam hal infrastruktur pendukung industri pariwisata. Untuk individu, diutamakan pelaku dalam industri pariwisata dan profesional pendukung industri pariwisata.
PaSTI juga menyampaikan beberapa manfaat jika bergabung dalam keanggotaan, yaitu (1) memperluas jejaring, antara lain melalui kerja sama dengan pihak pemerintah (misal kementerian terkait), sektor swasta (misal OTA—online travel agency, media, asosiasi), dan kesempatan terhubung dengan perusahaan modal ventura; (2) pembaruan informasi praktik bisnis dunia pariwisata dan teknologi digital terkini; (3) memperkaya varian produk melalui kolaborasi sesama anggota, misal berupa destinasi baru maupun layanan baru, sehingga dapat mewujudkan ekonomi turunan; (4) perluasan kanal distribusi produk di banyak etalase; (5) berbagi sumber daya yang dimiliki antaranggota, baik SDM dan biaya; (6) diskusi kelompok terarah (focus group discussion—FGD) yang dilakukan secara rutin oleh komite dengan mendengarkan masukan dari para anggota.
Sebagai penutup, PaSTI dan berbagai asosiasi atau komunitas lainnya yang ditujukan atau melayani perkembangan startup dengan orientasi kemajuan pariwisata Indonesia adalah aksi yang patut kita hargai. Tantangan bangsa Indonesia ke depan adalah tantangan yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan 10, 20, 50, dan ratusan tahun lalu. Salah satu tantangan yang wajib kita hadapi dan kuasai adalah penguasaan teknologi. Sudah saatnya kita menjadi bangsa produsen dan bukan sekadar bangsa konsumen. Kerja sama antarentitas jelas merupakan salah satu solusi memecahkan masalah tersebut.
Andika Priyandana, dari berbagai sumber