Marketing.co.id – Berita Teknologi | Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sedang mempersiapkan pelaksanaan lelang frekuensi 1,4 GHz yang direncanakan berlangsung tahun ini. Lelang ini bertujuan untuk memperluas akses internet tetap (fixed broadband) yang lebih terjangkau, dengan fokus utama pada sektor rumah tangga, pendidikan, dan kesehatan.
Namun, lelang frekuensi ini tak hanya membawa peluang, tetapi juga tantangan yang harus dihadapi. Hal ini pun menjadi topik menarik dalam dalam forum Morning Tech bertajuk “Lelang Frekuensi, Untuk Siapa?” yang diadakan di Jakarta.
Koordinator Kebijakan Penyelenggaraan Infrastruktur Digital Komdigi, Benny Elian, menekankan, bahwa lelang frekuensi 1,4 GHz akan dimanfaatkan untuk menghadirkan layanan internet yang lebih murah dan berkualitas.
“Kami berupaya agar masyarakat bisa mendapatkan internet dengan harga terjangkau, yakni sekitar Rp 100.000 hingga Rp 150.000 per bulan untuk kecepatan hingga 100 Mbps,” ungkap Benny.
Komdigi menargetkan agar proses lelang frekuensi 1,4 GHz dapat selesai pada semester pertama 2025, sebelum lelang spektrum 700 MHz dilaksanakan. Hingga saat ini, sudah ada tujuh perusahaan yang menunjukkan minat untuk mengikuti lelang, meskipun Benny memprediksi jumlah peserta bisa bertambah saat lelang resmi dimulai.
Meskipun memiliki potensi besar, penetrasi fixed broadband di Indonesia masih tergolong rendah, dengan hanya 21,31% rumah tangga yang dapat mengakses internet tetap. Kecepatan unduh rata-rata juga masih tertinggal, hanya mencapai 32,07 Mbps, jauh di bawah negara-negara tetangga di ASEAN. Oleh karena itu, pemanfaatan frekuensi 1,4 GHz melalui Broadband Wireless Access (BWA) dianggap sebagai solusi untuk memperluas cakupan internet dengan biaya lebih rendah.
Namun, Dekan Fakultas Hukum Universitas Mitra Bangsa, Kamilov Sagala, mengingatkan bahwa transparansi dalam proses lelang harus dijaga untuk mencegah terjadinya praktik monopoli.
“Frekuensi adalah sumber daya terbatas yang harus dikelola dengan adil. Jika tidak, hanya segelintir perusahaan yang akan mendapatkan manfaat,” tegas Kamilov.
Ia juga menyampaikan kekhawatirannya bahwa dengan ketatnya persaingan antara tujuh perusahaan yang telah menunjukkan minat, harga spektrum bisa melonjak tinggi jika lelang hanya berbasis harga.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Sigit Puspito Wigati Jarot, menyoroti pentingnya pembangunan infrastruktur digital yang berkualitas, serta pengembangan talenta digital, khususnya di kalangan generasi muda.
“Saat ini, Indonesia tertinggal dalam pengembangan 5G, dengan kecepatan rata-rata baru mencapai 30 Mbps, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara di ASEAN,” ungkapnya.
Sigit juga menekankan bahwa untuk memastikan transformasi digital yang berkelanjutan dan kompetitif, dibutuhkan regulasi yang adaptif dan kolaboratif.
Model Kompetisi dan Implikasinya Bagi Industri
Dalam dunia telekomunikasi, berbagai model kompetisi bisa diterapkan dalam pengelolaan frekuensi ini. Sigit menjelaskan, bahwa terdapat beberapa opsi, antara lain Infrastructure-Based Competition, Wholesale Access Model, dan Public-Private Partnership.
“Setiap model memiliki kelebihan dan tantangan masing-masing. Pendekatan hibrida yang melibatkan pemerintah daerah bisa menjadi solusi yang tepat untuk Indonesia,” ujarnya.
Sigit juga mengingatkan, bahwa tarif layanan setelah lelang harus memperhatikan perbedaan harga antara layanan seluler dan Fixed Wireless Access (FWA). Menurutnya, harga FWA sebaiknya bervariasi tergantung lokasi, dengan adanya perbedaan harga antara wilayah perkotaan dan pedesaan agar lebih adil.
“Kompetisi harga seluler bersifat nasional, namun harga FWA bisa lebih variatif, bahkan hingga tingkat lokasi rumah. Oleh karena itu, perbedaan harga antara wilayah perkotaan dan pedesaan harus diperhatikan,” pungkasnya.