Marketing.co.id – Tarik-menarik antara kreativitas dan tujuan komersial akan selalu mewarnai dunia periklanan. Betulkah seorang creative director mesti mengerem kreativitasnya demi memuaskan klien? Lalu, apa tolok ukurnya sebuah iklan dikatakan sukses?
Di era hiperkompetitif sekarang ini, tidak relevan lagi jika produsen hanya bicara keunggulan produk atau jasa yang ditawarkan. Produsen yang masih berkutat pada produk (product centric) akan mudah dilupakan konsumen dan ditinggalkan pesaing.
Persis yang pernah dikatakan oleh pakar pemasaran Jack Trout, “When you are me-too, you are a second class citizen. Marketing is battle of perception not product.” Jika sebuah produk hanya menjadi pengekor atau mengikuti pesaing, maka produk tersebut hanya menjadi kelas dua. Marketing adalah sebuah pertempuran persepsi, bukan produk.
Bicara persepsi adalah bicara bagaimana sebuah merek dikomunikasikan kepada khalayak. Di sini periklanan memainkan peran yang cukup krusial. Peran periklanan—dalam hal ini TVC—menjadi penting karena TVC bertugas membangun dan menciptakan persepsi sebuah merek ke benak konsumen atau masyarakat luas.
Pada sisi yang lain, jika bicara TVC, mau tidak mau kita akan menyentuh kreativitas. Sebagai sebuah medium audio visual, sebuah iklan mutlak harus menarik perhatian. Dari sini kita sudah bisa membayangkan betapa berat tugas seorang creative director pada sebuah advertising agency.
Mereka tidak hanya dituntut untuk membuat iklan kreatif, menarik, menggelitik, namun menstimuli orang untuk membeli produk yang diiklankan. Yang terakhir ini tentu saja guna memenuhi tuntutan pemilik merek yang sudah mengeluarkan uang untuk beriklan.
Seorang creative director terkadang harus menghadapi kondisi yang paling tidak mengenakkan sekalipun, karena ada kalanya klien datang dengan informasi atau brief yang sangat minim tentang produk yang ingin diiklankan. Cerita ini mungkin lumrah dalam dunia advertising agency, dan pengalaman seperti ini pernah pula dialami oleh Yudya Handoko, Creative Director Endeecom.
Saat diminta untuk menangani merek Cross, Yudya dan tim harus memeras otak bagaimana menciptakan TVC yang pas buat Cross. Maklum saja, saat ini sudah banyak TVC ponsel yang berseliweran di TV. Akhirnya diputuskan untuk membuat TVC yang serba asing, yakni bintang iklan asing, setting lokasi, bahkan sutradara pun orang asing.
Hasil akhirnya sebuah TVC yang benar-benar berbeda. Kita seperti menyaksikan TVC produk teknologi buatan Eropa, sebuah produk yang berstandar tinggi. Melihat TVC Cross tidak berkesan Cross sebagai ponsel berteknologi Cina lainnya, atau dengan gamblang kita bisa mengatakan, TVC Cross berhasil membangun persepsi bahwa Cross bukanlah ponsel “murahan”.
Tidak ada yang lebih berharga dari insight ketika akan membuat TVC. Insight yang mendalam dan lengkap menjadi bahan baku untuk merumuskan pesan komunikasi TVC. Begitu berharganya insight, C. Aristantono SWP, Creative Director Dwi Sapta, sampai memberikan istilah ”yang maha insight”. Sudah menjadi prinsipnya untuk membuat TVC berpatokan insight. Sebagai seorang creative director, dirinya selalu tertantang untuk membuat TVC yang tidak hanya enak ditonton (nice to see), tapi juga menyentuh hati konsumen (nice to feel).
Menurutnya, menciptakan TVC yang nice to see lebih mudah; pakai saja bintang iklan yang cantik dan seksi, maka akan cepat menarik perhatian pemirsa. Namun, membuat iklan yang nice to see sekaligus nice to feel butuh kreativitas yang tinggi dan insight yang mendalam tentang konsumen. TVC seperti inilah yang biasanya dituntut oleh pengiklan.
Kreatif Harus Menjual
Pemirsa boleh saja terhibur dengan sebuah TVC, dan menilai iklan ini kreatif, iklan itu biasa saja. Namun, jika kita tanyakan soal kreativitas kepada para praktisi periklanan, mereka akan memberikan jawaban yang hamper sama. Dalam dunia advertising agency, kreativitas bukanlah sesuatu yang bebas nilai, melainkan mengemban misi marketing.
Yenny Iswanto, account director sekaligus founder Celcius Communication, mengatakan iklan kreatif harus tetap menjual. Dari sisi kreativitas, TVC boleh saja sangat menghibur, tapi sebuah TVC tetap saja punya misi meningkatkan kinerja sebuah produk. Karena di balik sebuah TVC, klien pasti sudah punya target-target penjualan.
Pendapat senada dilontarkan Yudya. Menurutnya, percuma jika kita membuat TVC yang kreatif, tapi tidak bisa mendongkrak sales. Namun dia mengingatkan, iklan yang jualan tidak melulu bicara soal harga atau diskon, namun juga mengedepankan benefit dari produk yang diiklankan. Salah satu indikasi iklan dikatakan bagus atau kreatif jika segmen di luar target market produk aware terhadap produk tersebut.
Secara implisit C. Aristantono mendukung dua rekannya. Dia berpendapat seorang creative director yang bagus bukan karena berhasil membuat iklan kreatif dan mendapat penghargaan. Tolok ukurnya adalah seberapa besar keuntungan yang diraih pemilik merek dari TVC yang dibesutnya. Kita bisa memahami ucapan C. Aristantono, karena klien yang puas tentu akan setia memakai agency yang bersangkutan, dan itu artinya uang akan tetap mengalir ke agency tersebut.
Apa pun yang dikatakan para creative director tentang kreativitas tetap menarik bagi orang luar. Ternyata di balik sebuah karya TVC yang durasinya hanya sekian menit, ada mata rantai panjang yang mesti dilalui. Mulai dari proses pitching, membuat insight, membuat story board, mencari sutradara dan bintang iklan, hingga menentukan harga produksi iklan. Semua tentu menguras emosi, tenaga, dan pikiran. Dan seorang creative director harus me-manage semua itu di tengah tekanan persaingan yang juga sengit.
Mungkin karena kreativitas itu tiada batasnya, seorang creative director bertindak seperti kutu loncat. Mereka sering berpindah-pindah agency untuk menghirup tantangan baru. Mungkin bagi mereka, kreativitas adalah sesuatu yang bisa memacu adrenalin. Sementara pada sisi yang lain, kreativitas mereka sangat menentukan “ngebul” tidaknya dapur agency.
Liputan: Harry Tanoso, Angelina Merlyana Ladjar, Moh. Agus Mahribi