Komedi dan Horor Masih Eksis di 2013

[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Marketing.co.id – Jengah dengan film nasional komedi dan horor berbau pornografi? Mungkin Anda akan mengangguk setuju. Tapi siapa sangka, genre film ini justru paling diminati pasar dan produsen film karena profitnya menggiurkan. 

Berbicara mengenai film nasional Indonesia, geliatnya mungkin lebih bisa terasa belakangan ini. Seperti yang digaungkan banyak media massa, kebangkitan film nasional diawali di tahun 2000-an oleh judul produksi Ada Apa dengan Cinta, Petualangan Sherina, dan Jelangkung. Baik sebagai sebuah karya seni kreatif maupun sebagai komoditas industri, film nasional memang menunjukkan peningkatan kualitas sejak lima tahun terakhir.

Menilik dari jumlah produksi film, rata-rata tiap tahun (2008–2011) sekitar 80-an judul film dilahirkan oleh rumah produksi dan sudah tayang di bioskop. Sementara jumlah penonton rata-rata per tahun berkisar di angka 50 juta orang. Sejauh ini, rekor penonton terbanyak masih diraih film Laskar Pelangi, dengan jumlah 4,1 juta penonton, dan film Ayat-Ayat Cinta, sebanyak 3,6 juta penonton. Angka itu memang fantastis dibanding beberapa dekade sebelumnya. Meski faktanya, minat menonton film di bioskop masyarakat Indonesia jauh lebih rendah ketimbang negara lain.

Puluhan jenis film yang diproduksi tiap tahunnya tersebut dapat dikategorikan menjadi beberapa genre, antara lain drama, komedi, thriller, petualangan, horor, biografi, film anak, dan sebagainya. Dari keseluruhan jumlah produksi film per tahun, genre komedi dan horor yang berbau pornografi masih dominan. Judul-judul film dengan genre tersebut secara konsisten mengisi daftar film nasional di bioskop. Bahkan sebagian besar di antaranya kerap menempati peringkat 10 besar film dengan jumlah penonton terbanyak.

Sepanjang tahun 2011 saja misalnya, film Arwah Goyang Karawang (727.540 penonton) dan Pocong Juga Pocong (575.276 penonton) masing-masing menempati peringkat kedua dan ketiga penonton terbanyak. Tidak jauh berbeda, pada semester pertama 2012 masih ada film Nenek Gayung yang berhasil menyedot 433 ribu penonton dan bertengger di lima besar. Konsistensi keberadaan film horor berbau pornografi ini tidak pelak akibat rutinnya rumah-rumah produksi seperti Sentra Films dan Maxima Pictures menelurkan karya seni audio-visual dengan genre ini.

“PH—production house—berusaha membuat film yang mereka anggap laku, yakni komedi berbau seks atau horseks. Hanya beberapa PH yang di luar mainstreem tersebut,” ujar pengamat film nasional, Noorca M. Massardi.

Ia memaparkan, perbandingan persentase produksi horseks dan umum bahkan mencapai 80%:20%. Memang bukan tanpa alasan. Para produsen film pun berdalih tuntutan pasarlah yang menjadikan mereka lebih memprioritaskan horseks untuk diproduksi. Apalagi minat audience Indonesia akan film horseks juga ternyata cukup tinggi.

Tingginya antusiasme akan film horseks tidak lepas dari karakter penonton film Indonesia yang umumnya berasal dari golongan remaja dengan kategori usia 12–18 tahun. Ditambah lagi, lokasi bioskop-bioskop di kota besar terletak di mal-mal. Sekalipun audience ini beranjak dewasa, Noorca memaparkan, yang kemungkinan terjadi adalah regenerasi konsumen dengan range usia dan selera film yang serupa.

Akan tetapi, di sisi lain audience muda ini justru membawa pengaruh positif dalam strategi komunikasi sebuah film melalui media sosial. Beberapa tahun lalu, aktivitas promosi sebuah film mungkin hanya difokuskan pada kegiatan konvensional seperti billboard, TVC, dan print ad. Namun kini, melalui video sharing seperti YouTube para audience dapat dengan mudah melihat trailer film yang akan ditonton. Selain itu, keberadaan Twitter juga dioptimalkan oleh para kru termasuk aktor/aktris untuk berinteraksi dan mengajak para follower mereka secara langsung untuk menonton film yang mereka produksi/bintangi. Beragam kuis berhadiah tiket nonton pun kerap digelar oleh PH melalui media sosial.

Karakteristik PH yang Beragam

Menariknya, menurut Noorca, perilaku konsumen film Indonesia berbeda dengan konsumen asing. Penonton Indonesia cenderung tidak terpengaruh tren film Hollywood. Ini tentu saja melegakan para pemilik PH di Tanah Air. Mereka pun cenderung bermain di jalur aman. Artinya, mereka kerap memproduksi genre film serupa selama bertahun-tahun yang sudah bisa mereka prediksikan minat pasarnya.

Seperti halnya Starvision Plus lebih memilih untuk berkecimpung di genre drama percintaan dan cerita kehidupan sehari-hari. Rumah produksi yang digawangi Chand Parwez Servia ini memang tergolong getol memproduksi film. Sejauh ini tercatat 70 judul film produksi Starvision, karya sinetron (termasuk film televisi) dengan biaya produksi Rp3 miliar–Rp6 miliar. Beberapa judul di antaranya adalah Perahu Kertas, Love Story, Cinta di Saku Celana, dan sebagainya.

“Kami tengah berkonsentrasi membuat film yang fokus, tidak pasaran, dan bisa jadi trendsetter. Apalagi penurunan pola nilai kepada film nasional surut akibat pencitraan yang buruk, dengan membanjirnya film-film horseks,” ungkap Parwez.

Starvision lebih memilih ikut tren film yang mengadaptasi novel best seller seperti beberapa judul yang diproduksinya, yaitu Perahu Kertas dan Test Pack: You’re My Baby.

Contoh lainnya, Miles Film yang lebih memilih jenis film edukatif eksperimental ataupun Demi Gisela Citra Sinema yang karyanya kerap mengarah ke nasionalisme serta religi. Keragaman karakteristik PH ini menjadikan kompetisi dalam industri film cenderung kecil untuk terjadi.

“Jangankan berkompetisi untuk genre film yang sama, tidak mengadu pun akan sangat berisiko karena capital yang dimiliki terbatas,” terang Noorca.

Dari segi budgeting, film horseks memang yang paling menjanjikan. Jelas saja, dengan anggaran dana yang minim mereka bisa meraih profit dua sampai tiga kali lipat dari penjualan tiket di bioskop, sementara genre film lain umumnya hanya meraih profit di margin 10%–20%.

Hal ini sebagaimana diamini Ody Mulya Hidayat, produser dari Maxima Pictures. Diakui Ody bahwa beberapa film horor yang sukses dirilisnya dibumbui penampilan seksi para aktrisnya. Meski begitu, menurut dia, itu dikemas sesuai konteks dan tidak norak.

Alhamdulillah, film-film saya sukses, bahkan melampaui target. Seksi pun tetap pada konteksnya, bukan vulgar begitu. Tetap ada nilai seni dan keindahan. Yang norak itu tidak ada di film saya,” ucap pria yang merilis film Suster Keramas dan Menculik Miyabi ini.

Oleh sebab itu, tidak heran bila komedi dan horor seks masih akan happening sampai beberapa waktu ke depan. Hal tersebut seiring banyaknya produser yang ingin ikut ambil bagian dalam raupan laba film genre ini.

“Selama lima tahun ini tren itu (komedi dan horor berbau seks) akan sama. Demikian juga di tahun 2013. Intinya para pemilik PH ini mau jual untung, bukan jual rugi walaupun itu film horseks. Hanya saja mungkin ada sedikit perbaikan kualitas baik di penggarapan gambar, pemilihan talent, maupun skenario,” tutup Noorca.

(Angelina Merlyana Ladjar)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here