Kiat Khusus Garap Pasar Luxury

[Reading Time Estimation: 4 minutes]

marketing.co.idMenggarap pasar luxury tidak boleh sembarang, mengingat pasar ini tergolong sangat unik. Orang rela membeli produk dengan merek tertentu meski harganya sungguh gila-gilaan tingginya. Bahkan, pada taraf tertentu, golongan ini mempunyai gaya hidup yang lain dari kebanyakan. Nah, apa saja yang sebenarnya orang-orang ini cari di balik merek-merek super-luxury tersebut? Bagaimana pula para pemilik merek memperlakukan para pelanggannya? Untuk menjawab pertanyaan pokok tersebut, berikut adalah nukilan wawancara Majalah MARKETING dengan Yuliana Agung, pengamat pemasaran:

Bagaimana Anda melihat pasar luxury di Indonesia?

Pasarnya di Indonesia sekarang masih bertumbuh. Di negara-negara Barat, pasarnya justru tampak sudah jenuh. Para pemilik merek luxury ini melirik pasar-pasar yang masih potensial, seperti Cina, India, maupun Indonesia. Sementara, golongan di bawahnya yang lebih massal juga membutuhkan sebuah simbol. Lalu memunculkan golongan di antara pasar kebanyakan dengan pasar luxury, yang disebut dengan masstige—kelompok massal yang butuh hal-hal untuk prestige. Louis Vuitton tergolong dalam kelompok ini meski harga lebih tinggi. Beda dari Hermes yang menjadi merek super-luxury dengan harga sampai Rp 900 jutaan.

Apa yang dicari di pasar luxury ini?

Merek luxury itu sebenarnya kebutuhan. Bukan lagi keinginan. Khususnya kebutuhan bagi kalangan high network society yang ingin membedakan diri dengan segmen di bawahnya. Kebutuhan mereka tidak lagi pada kebutuhan fungsional. Tapi, lebih pada kebutuhan akan simbol—termasuk simbol kelas sosial dan prestasi mereka. Tidak lepas juga dari gaya hidup mereka.

Apa yang menyebabkan produk disebut luxury?

Pertama-tama karena harganya memang luar biasa mahal. Dibanding dengan ongkos produksinya, harga itu bisa melonjak ratusan kali lipat. Kita tidak lagi menyebutnya dengan premium—di mana harganya mungkin cuma tiga kali lipat. Orang kalangan ini memang membeli sesuatu yang ultra abstrak. Mereka ingin merengkuh apa yang namanya sebuah pengalaman total (total experience) akan sebuah merek. Mereka bukan beli merek, tapi experience di dalamnya.

Adakah kriteria lain untuk menyebut luxury selain soal harga?

Harga memang selalu melekat erat dengan ciri luxury. Di luar harga, yang terpenting adalah total paket yang ditawarkan oleh merek-merek luxury ini. Pertama, brand recognition. Ini mengacu pada identitas merek, seperti simbol maupun logo. Ini penting sekali. Ada upaya sedemikian rupa agar merek ini tidak terlalu terlihat di pasar, tidak terlihat terlalu banyak yang memakainya, dan hanya dipakai orang-orang tertentu. Termasuk butik-butiknya tidak terlalu tersebar dengan banyak cabang dan lokasi yang sangat tertentu. Proses mengelola ini memang tidak murah. Mengingat, pemilik merek harus memilih tempat yang prime time, frontliners yang berkelas, dan sebagainya.

Ada kriteria lain lagi?

Kedua, merek itu mengusung brand personality. Identitas merek tadi diterjemahkan ke dalam pasar—terlebih ke masyarakat dan kultur—menjadi brand personality yang disertai dengan brand image maupun brand character. Ini bisa dibangun melalui logo yang kuat, sangat mudah dipahami, meski mereknya kadang-kadang memang sulit dibaca, makin berkesan mewah.

Selain logo, butuh juga namanya scarcity yang artinya merek itu terlihat, tapi tidak terjangkau secara massal. Angka terbatas ini melekat pada jumlah butik dan koleksinya. Lalu, harus ada kreativitas. Khususnya, kreativitas dalam hal estetika, mengingat merek luxury itu menjual estetika. Orang tidak sekadar menikmati simbol, tapi juga estetika. Lebih dalam dari itu, ia bisa menikmati kultur di dalam estetikanya itu. Estetika ini kemudian diterjemahkan sebagai cita rasa tinggi.

Ketiga, perlu diperhatikan sisi klasikalitasnya—pemilik merek harus mengelola komponen estetika yang tak boleh berubah, seperti pola. Gucci atau Hermes, misalnya, polanya tidak berubah. Keempat, pemilik merek harus memperhatikan desain interior dari butik-butiknya.

Dari sisi penggunanya, apakah ada klasifikasi tertentu?

Sebetulnya, para pemakainya tergolong kolektor. Ini tergolong sebagai heavy user. Sebelumnya ada golongan pemula dan medium. Heavy user cirinya tidak hanya membeli dan mengoleksi merek satu  biji saja—meski harganya mencapai ratusan juta. Mengingat, sentuhan emosional pada merek itu sudah sangat tinggi. Mereka memilikinya dalam koleksi ratusan biji. Biasanya, orang seperti ini tergolong orang kaya lama. Merek yang ia miliki sudah menjadi perengkuhan spiritual.

Untuk kelas medium, orang ini mencintai merek itu, tapi tidak sampai sentuhan emosional. Mereka juga tidak mempunyai loyalitas pada satu atau dua merek. Untuk pemula, mereka hanya memiliki satu merek saja dulu, merek bagus dengan harga masih terjangkau. Kelompok pemula ini merupakan kelompok belanja Rp 2–10 jutaan, misal kelas Louis Vuitton.

Apakah ada merek Indonesia yang sudah tergolong luxury?

Belum ada merek Indonesia yang masuk kategori ini. Semua masih dalam posisi produk massal, produk konsumer. Belum ada merek yang menonjol. Hal itu disebabkan salah satunya karena belum ada marketer yang berani merilis produknya mengingat ia harus bersaing dengan merek luar yang usianya ratusan tahun. Kendala lain, kita mempunyai country of origin yang belum bagus—kecuali nama Bali. Hal ini berbeda dengan Jepang, karena orang Jepang sangat menghargai kualitas tinggi. Contohnya, merek Kenzo yang membuka kantornya di Paris sebagai kota asal fesyen sejak zaman Renaissance.

Sebenarnya, perlukah strategi pemasaran untuk merek luxury ini?

Mereka tidak membutuhkan strategi lagi. Itulah keuntungan memiliki merek yang simbolnya sangat kuat. Simbolnya saja berharga luar biasa mahal dan riskan dipalsukan. Mereka tak lagi membutuhkan strategi pemasaran seperti merek lain. Cukup melakukan peluncuran produk dengan kemasan yang bagus dan berkelas. Merek ini mempunyai ultra ekuitas merek.

Cukup dengan komunikasi saja?

Ya, dengan aktivasi merek dan public relations. Kegiatannya, seperti mengadakan gathering, aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan, seperti membuat foundation, dan sebagainya. Termasuk berkomunikasi dengan desain interior butik. Tidak lagi promosi dan iklan. Karena tak jarang produk ini membuat antrean pembeli, pemilik butik perlu strategi cerdas mengelola antrean ini.

Apakah juga tidak membutuhkan program loyalitas pelanggan?

Semua itu drama. Menyentuh emosi pelanggan itu penting. Di butik fesyen, misalnya, ada ritual khusus bagi pelanggan. Tidak asal ambil dan sebagainya. Termasuk skenario dalam mengantar produk sampai ke pelanggan. Contoh paling jelas Louis Vuitton.

Kategori produk luxury apa saja yang diminati pelanggan Indonesia?

Pertama kali adalah kategori fesyen—termasuk pakaian dan aksesori. Kemudian kategori otomotif dengan mobil mewahnya. Lalu hotel dan resor, makanan, minuman, gadget, dan sebagainya.

Apakah ada kompetisi antarmerek luxury?

Tidak ada. Mereka lebih mengusung ego. Mereka tidak berkompetisi karena setiap merek mempunyai personalitas masing-masing. Saingannya justru terletak pada upaya memperkuat merek, sentuhan emosional, mempertajam segmen. Merek yang semakin tajam segmennya akan semakin luxury. Sebaliknya, yang semakin massal, semakin kurang tingkat luxury-nya.

Seperti apakah bentuk layanan purnajual khusus merek ini?

Layanan ini masih dibutuhkan, seperti bagaimana merek ini memberikan servis dalam perbaikan maupun perawatan produk. Pemilik merek juga perlu mengupayakan bebas pemalsuan.

Bagaimana prediksi Anda tentang prospek pasar luxury Indonesia tahun ini?

Masih berkembang bagus. Pertumbuhannya tiap tahun sekitar 20–30 persen. (Sigit Kurniawan)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here