Kehadiran Artifisial

Dalam dunia makanan, segala yang berbau artifisial dimusuhi. Pemanis artifisial contohnya. Walaupun lebih ekonomis dan lebih manis, para ibu dan pemasak profesional menghindari sejadi-jadinya. Pemanis seperti ini nampaknya hanya cocok bagi makanan yang dijual dalam jumlah banyak dengan harga murah. Dijual di SD-SD, di mana lidah anak-anak hanya bisa membedakan antara enak dan enak sekali. Lidah yang mahir kuliner tentu mengetahui benar kualitas gula asli serta nuansa yang dikandung oleh manis aren, gula kelapa, gula batu, atau bahkan gula pasir berbagai merek.pelayanan

Sama halnya dengan pewarna buatan, kecerahan yang dihasilkan tentu berbeda dari kharisma warna alam. Kuning sari kunyit, ungu ekstrak bunga lavender, atau hijau khas chlorophyll daun suji yang kaya, memiliki rasa pandang lain jika dibanding dengan merah hijau ala pabrik. Jika Anda jeli dan peka, Anda pasti bisa merasakan wibawa yang melekat pada batik tulis jika disandingkan dengan batik cap bikinan mesin. Ada sesuatu yang memancar dari batik itu. Dalam istilah perbatikan, daya pancar wibawa ini yang disebut “pamor”.

Untuk mencipta pamor yang indah, seorang empu pembatik mencurahkan perhatian sepenuhnya pada selembar kain, berhari-hari lamanya. Tak jarang dengan tirakat yang ekstrem, seperti puasa atau mutih, sang empu mentransfer sebagian jiwanya agar melekat pada karya batik ini. Demikianlah, hingga tercipta suatu mahakarya. Satu hal yang pasti, mahakarya tercipta karena hadirnya karsa dan rasa. Kehadiran yang sungguh-sungguh, bukan artifisial.

Seluruh karyawan adalah empu dalam perusahaan Anda. Frontliner atau backstager, semua memiliki kain kanvasnya masing-masing. Dengan berbekal telepon, keyboard komputer, checklist dan berbagai alat kerja, mereka mencanting batik dengan tujuan menghasilkan masterpiece, hasil kerja yang menjadi mahakarya dalam perusahaan. Pada akhirnya, pelanggan pengguna jasa yang akan menilai, merasakan apakah pamor layanan dapat memancar sehingga menjadi keunggulan perusahaan dibanding para pesaingnya.

Dalam kerangka seperti ini kita jadi memahami bahwa peran para empu, atau people dalam penyampaian service sangatlah esensial. Sistem boleh well computerized, alat antrean boleh modern dan canggih, namun kehadiran manusia tetap menjadi kunci nilai layanan. Senyum asli tentu lebih manis daripada senyum artifisial. Sapaan yang tulus karena perasaan bersyukur atas datangnya pelanggan, tentu jauh beda rasanya dengan sapaan sekadar untuk memenuhi SLA (service level agreement). Manusia bukan mesin, layanan adalah hadirnya hati, bukan proses mekanistik yang dikontrol oleh standar.

Karena perilaku dikemudikan oleh mindset, maka membangun layanan berarti membangun mindset para penyelenggara layanan tersebut. Pertama, mindset bahwa tugas pelayan adalah tugas yang mulia, bukan tugas rendahan. Selama ini jamak di kalangan karyawan, tugas pelayan dianggap lebih rendah daripada pelanggan. Oleh karenanya, perlu ada mindset shift yang membongkar kepercayaan ini. Tidak ada yang hina dari pelayanan, karena bahkan Tuhan sendiri melayani hambanya dengan udara yang disediakan, tumbuhan dan buah yang ditunaskan, dan dimatangkan. Pelayanan adalah tugas mulia.

Yang kedua adalah kemampuan untuk tampil secara prima di hadapan pelanggan, terlepas dari apa pun yang sedang menimpa pribadi. Emotional worker, demikian seorang staf pelayanan pelanggan disebut. Hal ini disebabkan emosi yang nampak ketika melayani harus terpisah sepenuhnya dari emosi pribadi. Jika tak bisa melupakan kesedihan yang mungkin sedang menimpa, baiknya seorang staf pelayanan tidak tampil dulu di depan pelanggan. Tampil prima atau tidak tampil sama sekali. Demikianlah sikap seorang empu untuk tidak menghasilkan karya yang asal-asalan. Salam semangat, Prima!

Wahyu T. Setyobudi, @inspirewhy

Staf Pengajar PPM School of Management

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.