Karakter dan Perilaku Khas Konsumen Indonesia (2)

www.marketing.co.id – Tiga karakter khas konsumen Indonesia sudah saya bahas sebelumnya. Pertama, konsumen Indonesia sebagian memiliki perspektif jangka pendek. Oleh karena itu, perusahaan harus berpikir ulang bila ingin menawarkan produk dengan benefit jangka panjang. Akan lebih mudah sukses bila suatu produk menawarkan benefit yang cepat dirasakan, walau hanya berunsur emosional kepada konsumen Indonesia.

Karakter kedua adalah bahwa konsumen Indonesia cenderung tidak memiliki rencana. Tidak mengherankan, tingkat pembelian secara impulse buying di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan konsumen di Amerika Serikat. Salah satu implikasi strategi yang tepat untuk konsumen seperti ini adalah dengan menawarkan layanan yang fleksibel.

Karakter ketiga yang sudah disebutkan dalam artikel terdahulu adalah kebiasaan orang Indonesia yang suka untuk berkumpul dan bersosialisasi secara informal. Ini jelas terjadi karena sudah merupakan bagian dari value atau norma yang memang ada dalam darah sebagian suku-suku di Indonesia. Orang Jawa demikian terkenal dengan kehidupan yang bergotong-royong dan bahkan punya suatu jargon bahwa “berkumpul adalah lebih penting daripada makan”.

Tidak mengherankan, hal ini menimbulkan banyak implikasi bagi para marketer. Komunikasi word of mouth menjadi sangat efektif untuk pasar Indonesia. Kalau banyak studi di Amerika mengatakan bahwa kosumen puas akan menceritakan kepada hanya 2 atau 4 orang, dan bila tidak puas akan menceritakan kepada 5 hingga 15 orang, maka hal ini tidak terjadi di Indonesia.

Konsumen Indonesia menceritakan kepuasannya kepada konsumen lain sama banyaknya bila tidak puas. Mereka menceritakan kepuasannya kepada lebih banyak orang lain bila dibandingkan dengan konsumen di Amerika. Implikasi kedua dari karakter konsumen Indonesia yang menyukai pertemuan informasi ini adalah pengaruh dari opinion leader. Perusahaan–perusahaan yang dengan cerdik dapat mempengaruhi para opinion leader— seperti pemuka agama dan para senior dalam suatu suku, akan mampu meningkatkan penetrasi dengan waktu yang relatif cepat.

Gaptek

Pada artikel kali ini, saya ingin membahas karakter konsumen Indonesia yang keempat, yaitu bahwa konsumen Indonesia relatif lebih “gaptek” alias gagap teknologi. Sekali lagi, saya mengatakan hal ini sebagai suatu yang unik karena berbeda bila dibandingkan dengan konsumen di Amerika. Sangatlah wajar bila marketer perlu terus untuk membandingkan dengan konsumen Amerika. Sekitar 95% text book pemasaran adalah berasal dari Amerika dan sekitar 80% dari semua studi kasus adalah juga perusahaan Amerika. Dengan mengetahui seberapa unik atau seberapa besar perbedaan antara konsumen Indonesia dan Amerika, kita bisa melihat seberapa tepat suatu strategi yang sukses di Amerika dapat diterapkan di pasar Indonesia.

Bila kita membicarakan teknologi yang berhubungan dengan pemasaran, tidak pelak lagi, internet dan telepon seluler adalah dua kategori teknologi yang harus dicermati. Kedua teknologi ini akan memberikan ukuran bagaimana suatu bangsa akan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan taraf hidup mereka sebagai konsumen.

Pada akhir tahun 2005, penetrasi internet di Amerika sudah mencapai 73%. Yang menakjubkan adalah perbedaan antara mereka yang tinggal di perkotaan dan mereka yang tinggal di desa, ternyata tidak jauh atau hanya sekitar 5%. Artinya, konsumen Amerika yang tinggal di daerah sub-urban atau rural, ternyata lebih dari 60% sudah mengakses internet. Bandingkan dengan di Indonesia, di mana penetrasi pengguna internet baru mencapai sekitar 7% hingga 8% dan seluruhnya adalah masyarakat urban.

Ledakan penggunaan internet hanya mungkin terjadi apabila suatu saat akses internet melalui telepon seluler sudah menjadi pilihan utama. Tetapi, faktor utama tentunya adalah kenyataan bahwa mayoritas masyarakat kita memang relatif gaptek sehingga adopsi terhadap suatu teknologi relatif jauh lebih lambat.

Pada tahun 2005, di Amerika tercatat terdapat sekitar 207 juta telepon seluler. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk, berarti sudah mencapai hampir 80%. Di Indonesia, tingkat penetrasi baru mencapai sekitar 22-24%. Suatu perbedaan yang masih cukup besar. Dengan data dari kedua teknologi ini, tentunya marketer di Indonesia haruslah mewaspadai keyakinan bahwa pola kesuksesan di Amerika dapat diterapkan di pasar Indonesia.

Apple Computer, misalnya. Setiap konter di gerainya seringkali memiliki sebuah pojok yang disebut dengan Genius Bar, suatu ruangan yang digunakan untuk para pelanggan mencoba produk-produk Apple. Ini menunjukkan bahwa pasar yang menyukai teknologi di sana memang relatif cukup besar. Saya kurang yakin, bila konsep yang sama bisa dilakukan di Indonesia. Investasi yang ditanamkan untuk membuat ruangan ini tentunya tidak akan memadai karena jumlah pasar yang tidak besar.

Rendahnya tingkat penetrasi untuk produk-produk teknologi tinggi ini tentunya tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa tingkat pendidikan sebagian besar masyarakat kita memang belum memadai. Dengan jumlah yang lulus SD dan SMP lebih dari setengahnya, jelas membuat pasar produk-produk teknologi tinggi akan menjadi lambat. Jadi, walau jumlah penduduk kita yang sudah mencapai 225 juta, pasar yang relatif dapat cepat menyerap teknologi tinggi relatif tidaklah besar.

Konsumen yang sensitif terhadap teknologi baru biasanya adalah mereka yang berusia muda. Hanya saja, salah satu problemnya adalah daya beli mereka yang relatif tidak setinggi konsumen yang sudah berusia di atas 40. Di satu sisi, kelompok yang sudah matang ini—terlebih mereka yang berumur di atas 55—hanya sedikit sekali yang dapat membuka internet dan bisa menggunakan fasilitas produk teknologi tinggi untuk melakukan aktivitas mereka.

Tidak mengherankan, pasar PDA relatif tidak berhasil di Indonesia. Penetrasinya sangat lambat, bahkan dibandingkan dengan negara seperti Singapura saja, penetrasi PDA di pasar Indonesia relatif lebih kecil walau dengan jumlah penduduknya sekitar 60 kali lipat.

Hal yang menarik terjadi ketika itu, handphone Nokia Communicator yang biasa dikenal dengan tipe 9500, ternyata merupakan tipe ponsel yang digandrungi oleh masyarakat kelas atas Indonesia. Tapi, jangan ditafsirkan bahwa sebagian besar pengguna selular ini adalah mereka yang mengerti teknologi tinggi. Sekitar 98% dari pemilik ponsel ini, ternyata hanya menggunakannya untuk keperluan voice dan SMS saja. Jadi, sebagian besar fitur-fitur canggih yang terdapat pada ponsel ini justru tidak terpakai. Justru karena gaptek, mereka menyukai tipe ini, seperti mengetik SMS menjadi lebih mudah. Jadi, mereka yang sudah menggunakan handphone ini, biasanya loyal karena sudah semakin sulit untuk mengetik SMS dengan ponsel jenis lain.

Fenomena kesuksesan dari Nokia 9500 ini terjadi juga karena faktor gengsi. Dengan ukurannya yang relatif besar, malah cocok untuk mereka yang mementingkan faktor gengsi. Dengan demikian, mereka yang memilikinya akan sangat mudah diketahui oleh orang lain. Ini yang kemudian memberikan kepuasan secara emosional karena mereka merasa telah menjadi bagian dari masyarakat kelas atas. Positioning Nokia sebagai merek produk teknologi tinggi mengerti konsumen terasa pas. Jadi, pada masyarakat yang gaptek maka positioning “teknologi yang mengerti Anda” akan terasa pas dibandingkan dengan positioning yang ditujukan untuk “mereka yang mengerti teknologi”. Yang kedua ini,  merupakan pasar yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan pasar yang pertama.

Implikasi Strategi Pemasaran

Dengan karakteristik konsumen yang gaptek, maka salah satu implikasi yang besar bagi marketer yang ingin memasarkan produk teknologi di Indonesia adalah: pilihan menjadi follower lebih menarik dibandingkan dengan pionir. Karena proses difusi yang lambat, maka perusahaan yang menjadi pionir bisa membutuhkan waktu yang lama untuk diserap oleh target pasar. Demikian pula, ada kemungkinan bahwa proses edukasi ini akan membutuhkan biaya yang mahal pula. Bila ini terjadi, bisa saja kemudian follower akan lebih diuntungkan. Mereka akan datang dengan produk yang pas. Dan yang lebih penting lagi, konsumen justru relatif sudah siap karena sudah pernah tahu dan sebagian sudah merasakan awareness.

Implikasi lain yang besar adalah dalam menetapkan strategi positioning. Bila ingin memasarkan teknologi tinggi, maka haruslah memposisikan produk ini sebagai produk yang relatif simpel dan memberikan kemudahan atau sesuatu yang menyenangkan. Ini justru yang akan mudah diterima dibandingkan dengan terlalu banyak memberikan detil teknologi.

Salah satu alternatif lain dalam strategi positioning adalah dengan memposisikan teknologi tinggi sebagai bagian dari “emotional value” yang dapat memenuhi kebutuhan self-esteem, yaitu kepuasan mereka untuk memperoleh perasaan gengsi. Jadi, teknologi tidak seluruhnya dibeli oleh karena fungsinya tetapi karena sebagai faktor pemenuhan gengsi mereka. Sebagian besar dari orang kaya di Indonesia, biasanya lebih fokus kepada self-esteem dan bukan self-actualization.

Pada edisi-edisi berikutnya, saya akan membahas lebih detil berbagai karakter khas konsumen Indonesia atau karakter yang berbeda dengan konsumen di Amerika, di mana ilmu marketing banyak diajarkan dari negara ini. (Handi Irawan D.)

1 COMMENT

  1. hingga sekarang mendekati penghujung 2015 banyak sekali orang yg menggunakan smartphone terutama android, semua umur lah yg pakai. tapi ironisnya juga banyak sekali yg tidak benar2 memanfaatkan teknologi di dalamnya. kebetulan saya tinggal di gang kecil di suatu kota besar, saya liat kalo di warkop atau mungkin lagi jalan di mall saya suka mengintip hehe orang2 yg pakai smartphone dan tau ngga yg dibuka apa, kalo ngga buka medsos ato game online. saya hampir2 tidak pernah menjumpai orang yg membuka browser/surfing di internet. Kok kayaknya mengindikasikan banyak sekali pengguna smartphone yg ngga ngerti kecanggihan gadget mereka.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.