Enviplast lahir dari banyaknya permasalahan kantong plastik, mulai dari kelangkaan bahan bakar fosil sebagai bahan baku sampai polusi plastik di alam. Produk bio-degradable berbahan singkong ini diharapkan jadi pengganti plastik belanja.
Berdasarkan data yang dirilis Yahoo!News, Indonesia tercatat menghasilkan lebih dari 100 miliar kantong plastik setiap tahun. Jumlah ini sama dengan 12 juta barel minyak bumi, atau setara dengan nilai Rp11 triliun. Sampah kantong plastik menghabiskan waktu hingga ratusan tahun untuk dapat terurai dan telah membunuh hingga lebih dari 1 juta hewan laut per tahunnya.
Melihat kenyataan ini, Inter Aneka Lestari Kimia—selaku produsen Aquaproof, sekaligus produsen plastik masterbatch dan compound untuk keperluan industri pengolahan plastik—mencoba menawarkan terobosan baru. Perusahaan ini merilis produk bio-degradable, yakni kantong berbahan alami yang dapat diperbarui, pengganti kantong plastik yang berbasis minyak bumi, seperti polyethylene (PE) dan polypropylene (PP). Produk ini diberi merek “Enviplast”.
Bahan utamanya terbuat dari bahan-bahan alami yang dapat diperbarui, seperti tepung singkong (pati) dan turunan minyak nabati. Hal ini menjadikan Enviplast ramah lingkungan, aman bagi pertumbuhan tanaman, dan tidak berbahaya bagi hewan, baik di daratan maupun di dalam air. “Kandungan bahan alami sekitar 40% tepung singkong, turunan minyak nabati plus bahan alami lainnya. Tapi, akan terus ditingkatkan hingga mencapai 60%,” kata Herman Moeliana, Director PT Inter Aneka Lestari Kimia.
Enviplast tampak seperti plastik, tetapi sama sekali bukan plastik. Jadi, meski bisa terdegradasi dalam waktu singkat dari 3 hingga 6 bulan—dibandingkan dengan plastik dari bahan baku berbasis minyak bumi yang membutuhkan waktu hingga ratusan tahun—dalam urusan kekuatan kapasitas beban, Enviplast tidak kalah dengan kekuatan plastik pada umumnya.
Enviplast sebetulnya bukan inovasi baru bagi Aneka Lestari Kimia. Pasalnya, penelitian dan pengembangan produk bio-degradable ini sudah dimulai sejak tahun 2006 dan diperkenalkan pertama kali pada tahun 2011 dalam bentuk kantong sampah ramah lingkungan di Sea Games, Palembang. Sayangnya konsumen kurang responsif terhadap produk ini.
Harga produksi yang mencapai dua kali lipat dari biaya produksi plastik menjadi salah satu alasan Enviplast belum sepenuhnya diterima di pasaran sampai saat ini. Padahal produk ini merupakan satu-satunya di dunia, dan mampu menjadi ikon produk Indonesia di dunia bila permintaannya meningkat dan mampu merangsek pasar global.
Kondisi tersebut tak membuat Herman patah arang. Ia lebih optimistis bahwa Enviplast akan diterima konsumen karena dalam beberapa tahun ke depan harganya akan setara dengan kantong plastik, lantaran minyak bumi semakin langka dan sulit didapat. Apalagi Enviplast memang diproyeksikan sebagai jawaban atas permasalahan harga bahan baku plastik dari minyak bumi yang cenderung naik dan semakin mahal.
Faktor lain yang diprediksi membuat permintaan melonjak adalah adanya pengesahan Peraturan Pemda DKI Jakarta No.3/2013 mengenai pengelolaan sampah. Perda ini mencakup denda Rp5 juta–Rp25 juta bagi pengelola pusat perbelanjaan yang tidak menggunakan kantong belanja ramah lingkungan. Berkaitan dengan sampah plastik, belum banyak orang yang sadar ataupun peduli akan dampak buruk yang ditimbulkan bagi lingkungan. Padahal sebagian besar sampah kantong plastik berasal dari kegiatan jual-beli masyarakat.
“Adanya sanksi ini diharapkan masalah sampah kantong plastik di Indonesia, khususnya di Jakarta, bisa ditekan. Kami optimistis di masa mendatang akan semakin banyak konsumen, baik korporasi maupun individu, yang menggunakan Enviplast. Pabrik kami memiliki kapasitas produksi terpasang sekitar 3.000–5.000 ton per tahun, namun produksi saat ini masih sekitar 2.000 ton per tahun,” terang dia.
Enviplast dapat diaplikasikan sebagai bahan yang mirip dari fungsi plastik, seperti kantong belanja, kantong binatu, celemek masak, hingga pembungkus peralatan elektronik, pembungkus suku cadang dan aksesori otomotif, dengan menyasar pasar B2B. Namun, target utama dari Aneka Lestari Kimia bukanlah menjual produk tersebut, melainkan memproduksi dan menjual bahan baku atau biji resinnya.
“Tujuan kami membuat produk mirip dari fungsi plastik adalah mengedukasi pasar. Bila tingkat kepedulian konsumen dan permintaan sudah meningkat, pabrik-pabrik pengolahan plastik bisa membeli biji resinnya. Kalau perlu mesin-mesin pengolahannya bisa diperoleh dari kami, sebab ada sedikit perbedaan antara mesin pengolahan plastik biasa dan Enviplast,” jelas dia.
Herman tidak memungkiri bahwasanya tidak mudah meyakinkan perusahaan untuk mau memanfaatkan Enviplast, yang harganya lebih mahal dari harga kantong plastik biasa dan belum dikenal pasar. Jadi, beragam edukasi pun terus dilakukan guna membangun kesadaran konsumen. Salah satunya melalui program public relations ataupun pameran.
Adapun beberapa pameran yang pernah diikuti adalah Asian Packaging Conference on Green Packaging Revolution di Jakarta yang diselenggarakan oleh Indonesian Packaging Federation (IPF). Program ini bertujuan mengedukasi seluruh perusahaan mengenai kemasan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Kemudian, ada juga pameran internasional “Eco Products” di Tokyo Big Sight, Jepang, yang diselenggarakan Japan Environmental Management Association for Industry (JEMAI). “Komunikasi edukasi kepada masyarakat ditekankan pada proses produksi dan produk akhir serta limbah Enviplast yang dapat melindungi dan menyelamatkan lingkungan dan bumi,” pungkas Herman.
Moh. Agus Mahribi