Kaderisasi Merek

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

www.marketing.co.id – Kalau kita perhatikan, waktu demi waktu dunia politik kita makin asyik dilihat dan ditonton di televisi. Gedung DPR Senayan, Jakarta, yang menjadi pos para politisi tampak ramai setiap hari. Bukan hanya karena mereka memusyawarahkan kepentingan rakyat, tapi juga (mungkin lebih banyak) beradu argumen demi individu dan partai mereka masing-masing. Ada yang membela apa pun yang dilakukan pemerintah, ada yang menentangnya dalam berbagai kasus. Tapi, kadangkala partai politik itu disibukkan dengan ulah kader-kadernya yang “nakal”.

Padahal, kekuatan besar sebuah partai politik berada pada seberapa pintar dan berkualitasnya para kader yang terlibat di dalamnya. Jika kader yang pintar, cerdas, dan populer jumlahnya lebih banyak daripada yang “neko-neko”, maka partai itu akan semakin besar dan kuat. Sebaliknya, seandainya partai tersebut dinaungi oleh kader-kader yang sama sekali tidak menunjukkan kualitas mereka, sudah pasti umurnya tidak akan panjang. Di situlah kekuatan kader berperan besar terhadap tumbuh-kembangnya sebuah partai.

Begitu pula dengan ranah pemasaran seperti yang kita geluti setiap hari. Tidak ada satu merek pun yang bisa berkembang dengan baik apabila tidak dikelola dengan baik. Di pasar, memang hampir setiap bulan muncul merek baru, tapi bahkan setiap hari ada merek yang harus mundur dari kancah persaingan yang semakin ketat. Hukum pasarlah yang menentukan merek-merek tersebut patut dibeli atau tidak, dan bisa awet di pasar atau justru ditendang dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Namun, biasanya merek yang kuat akan semakin kuat dari masa ke masa. Lihatlah Chevrolet yang 3 November lalu merayakan usia ke-100 tahun: semakin kokoh dan percaya diri mengarungi pasar otomotif global. Louis-Joseph Chevrolet berhasil membangun merek yang pertama kali diperkenalkan di AS bersama William Crapo pada 3 November 1911. Kini, dengan lebih dari 20 model, Chevrolet menjadi salah satu merek otomotif paling populer di dunia. Tidak kurang dari 200 juta unit mobil berlabel Chevrolet bisa dijumpai di jalan-jalan di banyak negara.

Di industri elektronik, ada Sharp yang tahun ini (2012) telah genap berusia 100 tahun. Beranjak dari kota kelahirannya di Tokyo, Jepang, perusahaan yang kemudian bermarkas besar di Osaka ini mampu merangsek ke hampir seluruh negara dan bertahan hingga lebih dari umur rata-rata manusia. Televisi, LCD/LED, hingga home appliances merek Sharp banyak dipilih konsumen Indonesia karena mereka percaya terhadap kualitas produknya. Dan masih banyak merek lain yang bisa bertahan hingga hampir atau bahkan lebih dari seabad.

Namun, kita patut belajar dari Singapore Airlines dalam hal kaderisasi merek. Walaupun usianya masih jauh dari seabad, maskapai penerbangan pelat merah Singapura ini berhasil membangun kaderisasi merek dengan sangat baik. Ia merupakan merek terbaik dan tersukses di Asia dengan terbang hingga ke Eropa, Amerika Utara, dan Australia. Untuk urusan yang dekat-dekat, seperti kota-kota di Asia Tenggara, Cina, dan India, maskapai berkode SIA ini menyerahkan kepada kadernya yang bernama Silk Air. Tiger Airways, kader satunya lagi, dikhususkan untuk penerbangan bertarif murah (low cost carrier) yang sedang tren akhir-akhir ini.

Kaderisasi merek ala Singapore Airlines itu kemudian diikuti Garuda Indonesia, maskapai penerbangan nasional kita, dengan meluncurkan Citilink pada tahun 2001. Citilink difungsikan sebagai salah satu penerbangan alternatif dengan tarif lebih murah, sekelas Air Asia. Meski pernah berhenti beroperasi pada Januari 2008, maskapai yang disasarkan untuk wilayah timur ini telah mulai terbang kembali pada September 2008 dengan investasi sebesar US$ 10 juta. Jauh sebelum itu, Garuda Indonesia juga memiliki kader yang menguntungkan semacam Garuda Maintenance Facility dan Aerowisata, yang keduanya menjadi bisnis terkait dari induknya.

Jadi, kaderisasi merek di sini bisa diartikan sebagai salah satu cara untuk menguasai pasar dengan menambah merek-merek baru yang diharapkan dapat membantu menumbuhkembangkan kinerja merek utama. Jawapos, surat kabar harian terbesar asal Surabaya, melakukan strategi yang menarik dalam kaderisasi merek. Menyadari merek tersebut sulit diterima pembaca di wilayah lain, Dahlan Iskan akhirnya membuat kader-kader baru yang bersifat lokal. Setiap daerah, sekarang skalanya kota dan kabupaten, dimasuki dengan menerbitkan koran lokal. Bahkan dalam satu kota yang kecil bisa terdapat tiga merek koran di bawah naungan grup tersebut. Sehingga grup Jawapos berhasil membungkam pasar di berbagai daerah sekaligus menjadi raksasa media di Tanah Air. Pertanyaannya sekarang, sudah siapkah Anda melakukan kaderisasi merek Anda? (Darmadi Durianto)