Popularitas menjadi mata uang sosial yang berharga di media sosial, karena itu mesti dijaga dari citra buruk yang membuat nilai mata uang sosial melorot. Membangun personal branding di media sosial pun menjadi keharusan.
“MediaWave beri penghargaan ini karena menurutnya gue adalah figur dengan sentimen positif di socmed. Dengan riuhnya dan reaksi negatif terhadap gue, penghargaan ini seakan menyatakan: ternyata semua itu gak terasa dampaknya,” demikian petikan curahan hati Pandji Pragiwaksono melalui akun Instagram setelah memenangkan “Social Media Award” kategori Komedian, beberapa waktu lalu.
Kita dapat memahami suka cita Pandji, karena memang ada pro dan kontra di kalangan netizen terkait keputusan dia menjadi juru bicara salah satu kontestan Pilkada DKI 2017. Media sosial memang seperti pisau bermata. Satu sisi bisa mendatangkan puja-puji, di sisi lain bisa mendatangkan caci maki. Tidak tidak peduli status atau latar belakang figur tersebut, apakah politisi, artis, pejabat negara, atau orang biasa.
Di sini pentingnya kehati-hatian bermain di media sosial, terutama bagi publik figur. Mereka perlu meramu dengan serius strategi membangun personal brand di media sosial. Tak peduli figur tersebut sudah sangat populer di media konvensional. Mengapa demikian? Karena menurut Amalia E. Maulana, masyarakat sudah meninggalkan media konvensional sebagai pusat informasi dan pusat hiburan.
Saat ini, media sosial yang mengambil peran sebagai media center bagi masyarakat. Pengguna media sosial pun tidak lagi terbatas di kalangan anak-anak muda, tapi sudah merambah ke hampir segala usia. Bisa dikatakan tiada hari tanpa mengakses media sosial. Amalia dengan bahasa hiperbola mengatakan media sosial sudah menjadi “oksigen” dalam bentuk lain bagi masyarakat.
Keunggulan media sosial yaitu sifatnya yang interaktif. Di medium ini para fans atau lover, seolah bisa bertemu dan berbicara langsung kepada artis pujaan mereka. Sesuatu yang tidak dapat diperoleh di media konvensional yang bersifat one way communication.
“Di media sosial, ‘bertemu langsung’ dimungkinkan. Ini adalah jenis brand activation yang menjadi salah satu alasan mengapa artis sebaiknya juga menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasi dengan fansnya,” tutur Brand Consultant & Ethnographer Director, ETNOMARK Consulting.
Karena sifatnya yang interaktif, konsekuensinya figur artis harus bersikap responsif. Maklum saja, di era digital waktu seolah cepat sekali bergulir. Di sisi lain, para artis juga sebenarnya saling bersaing untuk meraih popularitas. Populer saat ini, belum tentu dalam beberapa bulan mendatang seorang artis menikmati popularitas yang sama.
Menurut Amalia, penting bagi artis untuk terus berada dalam dunia keseharian fans dan masyarakat, dengan strategi personal branding yang tepat. Tidak mungkin hanya berada di media sosial secara sporadis dan ala kadarnya. “Kegiatan di media sosial itu sangat menyita waktu dan energi. Jadi jika tidak efektif, maka yang terjadi personal brand sendiri tidak bisa memperoleh manfaat media ini secara optimal,” jelas Amalia dalam wawancara melalui surat elektronik.
Dia menambahkan, membangun personal branding di media sosial memiliki beberapa tujuan. Mulai dari sekadar memperkenalkan diri atau eksis, sebagai reminder eksistensi agar keberadaan seorang artis tetap terjaga, hingga menciptakan engagement dengan follower atau fans. “Tujuan lain, ingin menjelaskan lebih jauh tentang siapa dirinya. Di sinilah peranan Youtube atau video menjadi lebih tinggi,” jelas dia.
Menciptakan engagement dengan follower-nya paling banyak dikejar para artis. Dalam hal ini interaksi aktif perlu dibangun, dan biasanya para artis akan dibantu oleh tim khusus yang mengelola “engagement” dengan audiens atau fansnya.
“Karena pekerjaannya sudah mulai menyita waktu dan energi, maka di sanalah artis bisa menetapkan pembagian peran antara dirinya secara pribadi dan tim pengelola brand-nya di media sosial,” imbuh dia.
Muara dari personal branding yakni terciptanya citra positif artis yang bersangkutan. Menurut Amalia, citra positif merupakan akumulasi interaksi artis dengan masyarakat dan audiensnya dalam jangka panjang. “Jadi tidak ada ‘one shot image’ atau citra sekali expose saja,” tegasnya.
Personal branding sebenarnya merupakan seni mengelola multiple interaction dengan para stakeholders , yang akan menghasilkan akumulasi citra positif di benak mereka. Selain itu, akan timbul ikatan yang lebih emosional, menjadi hubungan “pertemanan” dengan brand artis. “Brand artis yang cemerlang berarti sudah bisa memperoleh ‘tempat khusus’ di benak para fansnya,” kata Amalia.
Bagaimana jika yang timbul hujatan atau bullying di media sosial? Amalia menyarankan artis yang tertimpa musibah bullying di media sosial jangan bersikap reaktif atau terpancing. Biarkan para “sahabat” atau pembela di media sosial yang menjelaskan duduk perkaranya.
Namun anehnya, yang justru banyak terjadi justru beberapa artis sengaja menciptakan setting agar dirinya menjadi sasaran hujatan para netizen. Mereka berprinsip, semakin aneh dan dibicarakan keburukannya, maka viral di dunia media sosial akan semakin cepat berkembang, lalu artis tersebut akan menikmati popularitasnya.
Mengenai fenomena ini Amalia berpandangan, terkenal secara positif dan terkenal secara negatif adalah dua hal yang sangat berbeda. Siapa pun yang sedang berusaha mengembangkan personal brand harus menyadari perbedaan ini.
“Terkenal itu tidak ada artinya apabila kemudian target audiens kita tidak jadi memilih untuk berinteraksi atau ‘membeli tawaran’ artis tersebut. Karena jika aspek negatif itu menjadi penghalang seseorang untuk berinteraksi atau membeli tawaran, di situlah kerugian terbesar dari terkenal negatif,” ungkap Amalia.
Tips Personal Branding di Media Sosial
Agar personal branding di media sosial berhasil, pertama-tama tetapkan dahulu visi dan misi serta mimpi atau dream yang ingin dicapai dalam 5 atau 10 tahun mendatang. Berikutnya, petakan stakeholders yang akan menjadi audiens potensial. Perlu pemikiran panjang kelompok mana yang sebaiknya dituju, dengan mempertimbangkan juga “kompetitor”. Setelah itu, barulah didesain strategi media sosial yang disesuaikan dengan needs, minat, dan keseharian target audiens.
“Kunci sukses dalam mendesain dan mengelola keberadaan personal brand di media sosial adalah dengan memadukan unsur kreativitas, memerhatikan kualitas konten, dan jangan lupa sediakan waktu untuk berinteraksi secara positif,” papar Amalia.
Selanjutnya, secara bertahap, ubahlah posisi audiens di media sosial, dari sekadar just friends hingga menjadi para soulmates. Setelah tercapai posisi soulmate, barulah seorang figur mempunyai brand equity sebagai sebuah personal brand.
Tony Burhanudin
MM.11.2016/W