Jagonya Produk Berbasis Kelapa

[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Marketing.co.id  –  Bicara kuliner Indonesia tak lepas dari aneka bumbu dan bahan pendukung utamanya. Dua faktor ini yang membuat kuliner Indonesia punya cita rasa khas, yang tidak dimiliki oleh kuliner bangsa lain. Salah satu bahan pendukung utama kuliner tersebut yakni santan. Kuliner favorit seperti sayur lodeh, opor, gulai, kari, gudeg, soto, atau rendang, semuanya menggunakan santan. Belum lagi bicara kue tradisional seperti serabi, wajik, rangi, bugis, dan bikang yang juga menggunakan santan sebagai bahan utamanya.

Namun, untuk menghasilkan santan prosesnya tidak mudah. Rangkaiannya cukup panjang, mulai dari memilih kelapa, mengupas serabut dan batok kelapa, mengupas kulit ari kelapa, memarut, hingga mencampur parutan dengan air lalu diperas untuk menghasilkan santan. Ini yang kadang membuat orang malas membuat masakan atau makanan berbahan santan, terlebih bagi ibu-ibu muda yang menuntut kepraktisan.

PT Pulau Sambu sudah sejak lama melihat permasalahan di atas, sehingga pada tahun 1989 perusahaan ini meluncurkan produk santan kemasan siap pakai dengan merek Kara. Menggunakan santan Kara, ibu-ibu tidak perlu repot lagi memasak hidangan berbahan santan. Cukup membelinya di warung atau supermarket terdekat, buka penutupnya, lalu tuangkan Santan Kara ke dalam masakan.

KARA SANTAN, Martin Jimmi, Santan KARA
Martin Jimmi, Direktur PT KARA Santan Pertama. Foto: Majalah MARKETING/LL

Martin Jimmi Direktur PT Kara Santan Pertama, menjelaskan santan Kara ditujukan untuk semua kalangan yang menuntut kepraktisan dan kecepatan dalam berbagai hal, termasuk dalam mendapatkan santan. Namun jika dilihat lebih spesifik, para ibu atau moms lah yang menjadi segmen utama santan Kara.

“Awalnya kita masuk ke wilayah perkotaan, tapi dalam perkembangannya kita melihat perlu diperluas, karena marketnya cukup besar. Awal-awal penuh perjuangan, banyak yang mempertanyakan produk kami, karena konsumen saat itu masih terbiasa dengan kelapa bulat,” jelas Martin.

Salah satu yang sering ditanyakan konsumen, apakah cita rasa santannya sama dengan santan yang diparut secara manual. Menjawab keraguan ini, perusahaan gencar mengedukasi konsumen, bahwa santan Kara dibuat dari 100% kelapa. Melalui proses pabrikasi menggunakan teknologi modern, tekstur dan cita rasa santan Kara menyerupai santan asli.

“Itu dulu perjuangannya sangat sulit, saat kita membuka pasar dan memberikan sampel ke konsumen. Tapi, kami membuktikan kepada masyarakat bahwa santan Kara selain siap pakai juga siap konsumsi secara instan. Bubur kacang hijau dituangkan santan Kara bisa langsung disantap. Jadi, banyak memberikan kepraktisan bagi konsumen dan masyarakat,” imbuh Matin.

Martin menjelaskan, salah satu keunggulan santan Kara yaitu menggunakan bahan baku kelapa dengan standarisasi grade A. Bahan baku santan Kara dipasok dari perkebunan kelapa di daerah Riau. Sebagian kelapa dipasok dari perkebunan milik perusahaan sendiri dan sebagian diambil dari perkebunan kelapa rakyat setempat.

Menurut Dwianto Arief W, Corporate Communication Manager, kawasan Riau merupakan penghasil kelapa terbaik di Indonesia, karena paling dekat dengan garis khatulistiwa. “Kelapa yang bagus yang ditanam di dekat garis ekuator atau khatulistiwa. Di Riau pohon kelapanya tinggi-tinggi, dan satu pohon bisa menghasilan 65 butir kelapa,” kata Arief.

Dengan bahan baku kelapa berkualitas dan teknologi modern, Martin menambahkan, perusahaan mampu memproduksi santan berkualitas sama dalam tiap kemasan. “Kalau kita beli santan di pasar-pasar, ada yang kelapanya masih muda atau setengah tua, sulit dideteksi oleh mata telanjang,” timpal Martin.

Isu Kolesterol

Sebagian masyarakat percaya bahwa terlalu banyak mengonsumsi penganan berbahan santan akan memicu berbagai penyakit, salah satunya yang disebabkan oleh kelebihan kolesterol. Menghadapi isu ini Martin menegaskan, makanan itu tergantung lifestyle tiap-tiap individu. “Kalau berlebihan bisa mengganggu kesehatan. Semua makanan, bukan hanya santan,” tegasnya.

Arief menambahkan bahwa bahan makanan yang bersumber dari tanaman (nabati) tidak mengandung kolesterol. Berbeda dengan bahan makanan yang diambil dari hewan, yang mengandung kolesterol. Namun, dia sepakat dengan Martin yang menyarankan agar setiap orang bisa menakar diri masing-masing dalam mengonsumsi suatu makanan. “Jadi yang perlu diperhatikan juga bahan makanan lainnya, bukan santan saja,” tandas dia.

Martin menegaskan, PT Pulau Sambu fokus mengembangkan produk berbasis kelapa dan tidak tergiur masuk ke kategori produk lain seperti bumbu masak. Selain santan siap pakai, PT Pulau Sambu memiliki produk unggulan lain, yakni nata de coco merek Kara. Nata de coco terbuat dari daging kelapa dan air kelapa melalui proses fermentasi.

Martin mengatakan, sama dengan produk santan Kara, nata de coco juga menggunakan bahan baku kelapa berkualitas grade A. “Nata de coco mengandung jutaan serat selulosa. Memang seratnya kuat, tapi menyerap air, sehingga bagus untuk pencernaan,” jelas Martin.

Senada dengan Martin, Arief mengatakan tingginya kandungan serat selulosa pada nata de coco Kara membuat produk yang masuk kategori pangan olahan ini cocok untuk diet. ”Serat selulosa bersifat mengikat kotoran di pencernaan dan mendorongnya keluar,” tuturnya. Dia menambahkan, serat terbagi dua yakni serat larut dan serat tidak larut. “Nata de coco masuk kategori serat tidak larut untuk mendorong kotoran ke luar,” imbuhnya.

Keberhasilan PT Pulau Sambu fokus membangun merek Kara juga tidak terlepas dari peran media digital. Media digital dimanfaatkan untuk menciptakan engagement dengan konsumen, terutama ibu-ibu milenial. Kara aktif membangun engagement di Facebook, Instagram, dan Youtube. “Melalui media sosial kami berbagi informasi seputar dunia persantanan dan kuliner Indonesia,” kata Martin.

Kesuksesan perusahaan membangun merek Kara terlihat dari diperolehnya penghargaan Top Brand Award 2020. Di kategori Santan Siap Pakai, Kara meraih Top Brand dengan angka Top Brand Index (TBI) meyakinkan, yakni 87,7%. Di kategori Nata De Coco, Kara juga berhasil meraih Top Brand dengan TBI 10,1%.

Artikel ini pernah dimuat di Majalah MARKETING edisi April 2020

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here