Inovasi Pascapandemi: Kultural atau Struktural ? (1)

marketing.co.id – Ketika lansekap bisnis berubah secara masif akibat pandemi, dan saat banyak perusahaan harus “tiarap” atau sekedar bertahan sambil menunggu pandemi mereda, maka itulah saat yang tepat bagi perusahaan untuk mengevaluasi ulang seberapa kuat atau rentan basis inovasi yang dimilikinya. Harapannya tentunya adalah saat bisnis mulai bergerak kembali di era New Normal, perusahaan sudah lebih siap dengan strategi yang lebih baik dan basis inovasi pasca pandemi yang lebih kokoh.

Seperti diketahui, wabah Covid-19 telah membawa dampak luas pada berbagai sektor bisnis. Dampaknya meliputi perubahan perilaku konsumsi masyarakat, turunnya kinerja korporasi, naiknya risiko default di sektor jasa keuangan, lesunya sektor pariwisata, tetapi juga memunculkan potensi pertumbuhan ritel barang konsumsi rumah tangga, media digital, serta telekomunikasi.

Inovasi Pasca Pandemi

Secara umum ada dua pendekatan yang biasa dipakai dalam mengevaluasi inovasi khususnya pasca pandemi, yaitu pendekatan kultural dan pendekatan struktural. Dalam pendekatan kultural, keberhasilan inovasi diyakini lebih ditentukan oleh corak budaya yang dibangun dan dikembangkan organisasi. Perusahaan-perusahaan teknologi seperti Google, Amazon, Twitter dan lain-lain kerap dijadikan contoh bagaimana budaya karyawan boleh berbuat “salah” agar berani melakukan terobosan kreatif menjadi sumber inovasi. Lingkungan kerja dan layout kantor yang informal, fun, dilengkapi dengan sarana bermain untuk karyawan juga diyakini ikut membentuk budaya kreatif di perusahaan sebagai sumber inovasi.

Pendekatan yang kedua adalah struktural. Dalam pendekatan ini, keberhasilan inovasi dianggap lebih ditentukan oleh sistem dan dinamika proses di internal organisasi. Tidak semua perusahaan memiliki kemampuan untuk mempekerjakan karyawan dengan kualifikasi seperti para pekerja di Google, Amazon, dan perusahaan ala Silicon Valley lainnya. Tidak semua perusahaan juga memiliki kemampuan untuk membeli atau menyewa kantor dengan ukuran yang luas, asri, dilengkapi dengan berbagai sarana olahraga dan permainan untuk karyawannya. Terlebih lagi dengan adanya pandemi Covid 19, banyak perusahaan yang akan mengurangi kapasitas fisik kantornya, karena sebagian pekerjanya dapat bekerja dari rumah atau kalaupun datang ke kantor harus bergantian agar kapasitas okupansi terjaga di 50%.

Asnan Furinto, Dosen Program DRM – Bina Nusantara University.

Mana yang lebih tepat, pendekatan kultural atau struktural? Tentunya keduanya memiliki dasar teoretis dan empirisnya masing-masing. Tetapi yang jelas, pendekatan kultural relatif lebih sulit diukur dan didesain formulanya. Hal ini karena budaya organisasi adalah faktor “soft”, faktor laten, tidak dapat langsung terobservasi kecuali oleh orang yang sudah lama menjadi bagian dari organisasi tersebut. Budaya membutuhkan waktu tahunan, bahkan mungkin puluhan tahun agar terbentuk dan benar-benar menjadi standar inheren, yang menjadi landasan gerak untuk semua pemangku kepentingan di dalam organisasi tersebut. Bahkan Peter Drucker pernah menyatakan “Culture eats strategy for breakfast”. Sebaik apapun strategi perusahaan, dapat tergerus habis oleh budaya yang melandasi perusahaan tersebut.

Kita akan bahas mengenai pendekatan struktural di artikel berikutnya.

Asnan Furinto
Marketing Scientist and Strategist
Dosen Program DRM, Bina Nusantara University

Marketing.co.id | Portal Berita Marketing dan Berita Bisnis

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.