Idealisme itu “Mahal”

[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Kita sudah tidak asing lagi dengan Kidzania, taman hiburan yang mengusung konsep edutainment. Sayangnya taman hiburan indoor ini hanya semata wayang di Jakarta. Mengapa Kidzania tidak berekspansi ke kota-kota lain?

Bisnis dan idealisme sering ditempatkan dalam posisi berlawanan. Hal ini dikarenakan anggapan tujuan bisnis mencari keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Sementara idealisme lebih mengejar nilai (value). Perbedaan orientasi ini membuat bisnis dan idealisme seperti minyak dengan air yang sulit disatukan.

Namun, bukan berarti bisnis dan idealisme tidak bisa berjalan seiring. Sebuah produk yanshutterstock_166262720g menyasar segmen anak-anak dan remaja punya peluang untuk menampung idealisme. Pada produk hiburan misalnya, bisa diperkuat dengan muatan pendidikan. Hasilnya adalah konsep hiburan yang mendidik atau edutainment.

Kidzania merupakan taman hiburan untuk anak-anak yang berangkat dari semangat idealisme. Taman hiburan di ruang tertutup ini diciptakan karena kegelisahan pemiliknya pada dunia pendidikan dan hiburan. Sang pemilik merasa belum ada konsep edutainment yang berbobot di Tanah Air.

“Saya melihat pendidikan serta hiburan untuk anak-anak di Indonesia belum memadai, sementara populasi tumbuh dan tantangan masa depan dan pekerjaan semakin luas,” ujar Uchu Riza, Mayor of Kidzania Jakarta, saat diwawancarai di Kidzania Jakarta, beberapa waktu lalu.

Sebelum membuka Kidzania, Uchu berkecimpung di dunia pendidikan dengan membuka sekolah. Dia berminat membuka Kidzania karena menurutnya visi dan misi Kidzania sejalan dengan visi dan misinya di dunia pendidikan. Sebagai edutainment, Kidzania tidak menempatkan anak-anak sebagai objek dari permainan, melainkan menjadi subjek yang berperan aktif.

Kidzania bukanlah konsep murni dari pemiliknya, melainkan didatangkan dari Meksiko. Uchu memboyong konsep hiburan ini dengan sistem waralaba. Kehadiran Kidzania menciptakan blue ocean di pasar rekreasi Indonesia. Selama ini konsep wisata didominasi oleh permainan yang bersifat ketangkasan dan memacu adrenalin. Sementara Kidzania menawarkan konsep permainan profesi orang dewasa di dunia nyata yang bisa diperankan anak-anak.

Uchu bercerita, tidak terlalu sulit untuk mendapatkan waralaba Kidzania, karena menurutnya sudah ada chemistry antara dia dan Xavier Lopez, pendiri Kidzania. “Dia seorang businessman dan kami pendidik formal, tinggal menjalankan dengan melibatkan para industry partner yang menjadikan institusi ini lengkap,” tuturnya.

Dia keberatan mengungkap jumlah uang yang diinvestasikan untuk membuka Kidzania. Dia hanya mengisyaratkan investasi untuk perangkat lunak tidak kalah besarnya dibandingkan investasi untuk perangkat keras. Investasi terbesar berturut-turut dialokasikan untuk riset, infrastruktur, sewa lokasi, dan mendidik sumber daya manusia

Sesuai dengan hasil riset pasar, Pacific Place Jakarta dipilih sebagai lokasi Kidzania. Dipilihnya Pacific Place menurut Uchu, karena pusat perbelanjaan ini mudah dijangkau dari berbagai penjuru, dari arah utara, selatan, timur, dan barat. Di sisi lain, lokasinya yang tidak jauh dari pusat bisnis di Jakarta memudahkan para mitra bisnis meninjau langsung Kidzania.

“Tempat yang disediakan luas dan lay out-nya bagus dengan tempat terbuka di tengah yang menjadikan pintu masuk kami cerah, dan kami diberikan lantai atas untuk back office,” jelasnya.

Dilihat dari lokasi dan harga tiket, Kidzania menyasar segmen menengah-atas. Pacific Place merupakan pusat perbelanjaan premium di Jakarta. Seperti kita mafhum, keluarga kelas menengah sangat akrab dengan pusat perbelanjaan atau mal, dan kerap menjadikannya sebagai destinasi wisata di akhir pekan.

Keluarga dari kelas menengah-bawah bisa saja mengalami cultural shock atau kekikukan budaya ketika menginjakkan kaki di mal kelas premium seperti Pacific Place, meskipun mereka sanggup membeli tiketnya. Kondisi ini bisa menjadi hambatan bagi keluarga kelas menengah-bawah datang ke Kidzania sehingga konsep education for all sebagaimana diyakini Uchu akan terhambat.

Untuk mengeliminir hal-hal di atas, Kidzania melakukan langkah terobosan. Ada kalanya Kidzania yang menyambangi anak-anak di lokasi mereka berada. Hal ini memungkinkan dilakukan karena Kidzania punya program “Kidzania Go”.

Sementara untuk mengakomodir segmen menengah-bawah akan tiket yang lebih terjangkau, disiasati dengan harga tiket spesial untuk rombongan sekolah, paket hemat di bulan puasa dan low season, serta program CSR.

“Harapan kami ke depannya pemerintah provinsi juga dapat bekerja sama supaya masyarakat menengah-bawah pun dapat ke Kidzania dan ke mal yang megah ini. Sehingga mereka tidak ketinggalan dengan kemajuan kota yang ada,” imbuhnya.

Uchu mengatakan, hingga saat ini Kidzania belum memiliki kompetitor yang bersaing secara head to head. Meski begitu pihaknya tidak mau berleha-leha, dan tetap melakukan hal-hal baru di Kidzania. Contohnya, Kidzania berniat menggelar kompetisi bernyanyi.

“Siapa tahu kita bisa mengeluarkan lagu-lagu yang berkualitas bagi anak-anak. Apalagi kalau kita lihat saat ini banyak lagu dewasa yang diikuti (dinyanyikan) anak-anak, dan itu sangat tidak baik untuk perkembangan anak-anak,” tuturnya.

Pada Kidzania kita melihat betapa “mahalnya” harga sebuah idealisme. Hal ini yang membuat Kidzania hanya punya satu gerai. Inilah harga yang mesti dibayar karena Kidzania ingin lebih fokus menjaga kualitas. Membuka cabang baru katanya bukan hal mudah, karena harus memerhatikan kesiapan SDM, dana, dan investor.

“Biasanya investor maunya profit tapi repotnya belum tentu, apalagi kalau passion-nya tidak di pendidikan. Kami memiliki sampai 600 karyawan dan untuk mendidik mereka tidak mudah. Infrastruktur di daerah juga belum sebagus di Jakarta,” jelas dia.

Pelajaran lain yang bisa dipetik, konsep Kidzania tidak datang dari negara maju, tapi dari negara berkembang seperti Meksiko. Kalau negara seperti Meksiko mampu menelurkan konsep edutainment seperti Kidzania, Indonesia yang juga negara berkembang sepatutnya mampu melahirkan konsep edutainment yang berkualitas dan orisinal. Ini tentunya tantangan buat para pengusaha dan pemasar di Indonesia.

Tony Burhanudin/Liputan: Dafit Zuhendra

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here