ICFBE 2021: Perusahaan Keluarga Masih Mendominasi Perekonomian Dunia

[Reading Time Estimation: 3 minutes]

International Conference on Family Business and Entrepreneurship ICFBE 2021Marketing.co.id – Berita Marketing | President University (PresUniv) untuk kelima kalinya kembali menyelenggarakan  International Conference on Family Business and Entrepreneurship (ICFBE) 2021.

Jika selama tiga tahun pertama diselenggarakan secara offline,  pada 2020, akibat pandemi Covid-19, ICFBE dilakukan secara online. Pada 2021,  konferensi internasional ini dilakukan secara hybrid. Sebagian kecil panitia menempati  lokasi di Hotel Grand Inna Kuta di Badung, Denpasar, Bali, dengan menerapkan protokol  kesehatan yang ketat. Sementara, ratusan peserta dan pembicara lainnya hadir secara online.

Rektor PresUniv Jony Oktavian Haryanto dalam pembukaan konferensi internasional  tersebut mengatakan, ICFBE 2021 memilih tema On the Path to  Recovery: Leadership, Resilience and Creativity. Tema tersebut dipilih karena saat  ini masih banyak perusahaan, termasuk perusahaan keluarga, yang tengah berjuang  untuk memulihkan diri setelah selama hampir dua tahun diterjang pandemi Covid-19. Di  sini, kepemimpinan (leadership), daya tahan (cesilience) dan kreativitas (creativity)  betul-betul diuji dan memainkan peran yang sangat penting.

Dalam paparannya, ia mengutip riset McKinsey (2014) yang  menyebut pentingnya peran perusahaan keluarga dalam perekonomian dunia. Menurut  McKinsey, 80% Produk Domestik Bruto (PDB) negara-negara di dunia ternyata berasal  dari perusahaan keluarga. Lalu, dari seluruh perusahaan yang ada di dunia, 60%-nya  masih dimiliki keluarga. Mereka ini memainkan peran penting, karena rata-rata perusahaan keluarga mampu membukukan pendapatan US$1 miliar (atau sekitar Rp14,5  triliun jika memakai kurs saat ini).

Di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, saat ini bisnis rintisan atau  startup tumbuh bak jamur di musim hujan. Maraknya bisnis startup saat ini pun tak  lepas dari peran perusahaan keluarga. Sekitar 85% startup ternyata mendapatkan modal  pertamanya dari bisnis keluarga. Kini, sejumlah bisnis rintisan telah berkembang  menjadi Unicorn, dan bahkan Decacorn.

Kehadiran startup tersebut diharapkan mampu  menginspirasi banyak perusahaan, termasuk perusahaan keluarga, untuk menjadikan  krisis sebagai peluang bisnis baru. “Para pebisnis startup tersebut bak peselancar  yang justru menjadikan krisis sebagai ‘gelombang’ untuk berselancar, yakni dengan  memulai dan bahkan malah membesarkan bisnisnya,” kata Jony Haryanto.

Sementara itu, Gubernur Bali Wayan Koster yang juga membuka konferensi mengatakan, tema konferensi ini sangat menarik dan  relevan dengan situasi saat ini. Menghadapi dampak pandemi Covid-19, kita dituntut untuk terus mencari jalan guna memulihkan berbagai sektor, termasuk ekonomi. Untuk itu, diperlukan kepemimpinan yang kuat dan inovatif dalam membangun ketangguhan  ekonomi serta kreativitas dari seluruh komponen.

Pandemi Covid-19, lanjutnya, menyebabkan kontraksi yang  sangat dalam bagi perekonomian Bali. Hal tersebut terjadi karena perekonomian Bali sangat  tergantung pada satu sektor, yaitu pariwisata. Padahal, bisnis pariwisata sangat rentan  terhadap perubahan faktor eksternal, seperti gangguan keamanan (bom Bali 1 dan 2),  bencana alam (letusan Gunung Agung), termasuk pandemi Covid-19. Kejadian-kejadian tersebut  mengakibatkan perekonomian Bali sangat terpuruk.

Bertitik tolak dari pengalaman tersebut, Gubernur Wayan Koster menjelaskan, kini Bali  mulai menata ulang perekonomiannya. Bali akan kembali mengandalkan  perekonomiannya pada enam sektor, yakni sektor pertanian (termasuk peternakan dan  perkebunan), sektor kelautan/perikanan, sektor industri, sektor industri kecil menengah  (IKM), UMKM dan Koperasi, sektor ekonomi kreatif dan digital, serta sektor pariwisata. Namun, kedepan pariwisata akan diposisikan sebagai sumber pendapatan  tambahan atau bonus bagi perekonomian Bali. Dan, ini harus dikelola agar berpihak  terhadap sumber daya lokal Bali.

Gubernur Wayan Koster juga menekankan, pengembangan perekonomian Bali  mengakomodasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), termasuk  teknologi digital, yang harus dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi kreatif dan  digital. Seluruh konsep tersebut oleh Gubernur Wayan Koster disebut sebagai konsep  pembangunan Ekonomi Kerthi Bali. Konsep tersebut merupakan implementasi visi membangun Bali Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta.

Visi Ekonomi Kerthi Bali adalah mewujudkan keseimbangan/keharmonisan alam, krama dan kebudayaan Bali yang  sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal Sad Kerthi, yang mencakup enam sumber utama  kesejahteraan/kebahagiaan kehidupan manusia, yakni penyucian jiwa (Atma Kerthi),  penyucian laut (Segara Kerthi), penyucian sumber air (Danu Kerthi), penyucian tumbuh-tumbuhan (Wana Kerthi), penyucian manusia (Jana Kerthi), dan penyucian alam  semesta (Jagat Kerthi).

Dengan konsep tersebut, menurutnya, akan  terjadi hubungan langsung antarsektor unggulan, menumbuhkan pusat-pusat ekonomi baru, meningkatkan kapasitas perekonomian, menyeimbangkan struktur dan  fundamental perekonomian Bali. Sehingga, secara nyata memberi manfaat bagi  peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan krama Bali secara sakala-niskala.

Kembali berkolaborasi dengan Universitas Dhyana  Pura, dan Indonesia Strategic Management Society (ISMS),  ajang berbagi pengetahuan dan hasil riset tentang  perusahaan keluarga ini melibatkan peserta dan pembicara dari kalangan pemerintahan,  akademisi, dan dunia bisnis.

Di antaranya Gubernur Bali Dr. Ir. I Wayan Koster,  MM, Prof. Ki-Chan Kim, Professor of Management Catholic University of Korea, Prof.  Ruth Rentschler, Professor Art & Cultural Leadership dari University of South Australia, Dr. Hariyadi Sukamdani, Chairman Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan  Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Dr. Edhijanto W. Taufik yang juga  founder PT Mandaya Sehat, serta Servatius Bambang P, pemilik PT Kutus Kutus Herbal.