Marketing.co.id – Berita Lifestyle | Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) bekerja sama dengan PT Takeda Indonesia memperingati Hari Hemofilia Sedunia atau World Hemophilia Day (WHD) 2025 dengan mengusung tema “Access for All: Women and Girls Bleed Too”. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap hemofilia dan gangguan perdarahan lainnya, serta menekankan pentingnya akses diagnosis dan pengobatan yang setara bagi semua penyandang, termasuk perempuan dan anak perempuan.
Hemofilia adalah kelainan perdarahan yang umumnya diturunkan, menyebabkan darah sulit membeku dan mengakibatkan perdarahan spontan atau perdarahan setelah cedera atau tindakan medis. Hemofilia terbagi menjadi dua tipe, yaitu hemofilia A (kekurangan faktor VIII) dan hemofilia B (kekurangan faktor IX), dengan tingkat keparahan yang bervariasi tergantung pada jumlah faktor pembekuan darah.
Menurut World Federation of Hemophilia, diperkirakan 1 dari 10.000 orang di dunia mengalami hemofilia. Di Indonesia, data HMHI tahun 2024 menunjukkan baru sekitar 11% pasien hemofilia yang teridentifikasi, yaitu 3.658 dari perkiraan 28.000 pasien.
Selama ini, hemofilia lebih banyak dikaitkan dengan pria dan anak laki-laki, namun studi terkini menunjukkan bahwa perempuan dan anak perempuan juga dapat mengalami gejala hemofilia. Banyak di antara mereka hidup bertahun-tahun tanpa diagnosis dan tanpa menyadari kondisi mereka.
Ketua HMHI, Dr. dr. Novie Amelia Chozie, SpA(K), menyoroti bahwa penanganan pasien hemofilia di Indonesia masih belum optimal. Banyak kasus baru terdeteksi setelah perdarahan berat, yang meningkatkan risiko komplikasi serius. Saat ini, hanya sekitar 11% dari perkiraan total pasien hemofilia di Indonesia yang telah terdiagnosis. Salah satu komplikasi serius adalah terbentuknya inhibitor, yaitu antibodi yang menghambat efektivitas terapi faktor pembekuan darah. Penelitian tahun 2022 menemukan bahwa prevalensi inhibitor faktor VIII pada anak-anak dengan hemofilia A di 12 kota besar di Indonesia mencapai 9,6%.
Tantangan lainnya adalah terbatasnya akses pengobatan yang merata di seluruh wilayah Indonesia. Fasilitas diagnosis dan pengobatan umumnya terkonsentrasi di kota-kota besar, sementara pasien di daerah terpencil menghadapi keterbatasan layanan medis. Oleh karena itu, HMHI menekankan pentingnya advokasi untuk meningkatkan diagnosis dan tatalaksana hemofilia serta gangguan perdarahan lainnya di Indonesia.
Selain hemofilia, gangguan perdarahan lain yang dikenal adalah Von Willebrand Disease (VWD), yang sering kali tidak terdiagnosis, terutama pada wanita. Minimnya kesadaran akan gangguan perdarahan sering kali mengakibatkan penanganan yang tidak tepat.
HK, seorang pasien hemofilia, menekankan perlunya peningkatan edukasi tentang hemofilia kepada dokter, tenaga medis, dan masyarakat umum. Ia juga berharap agar obat konsentrat faktor pembekuan darah dapat terus ditanggung oleh BPJS.
SRS, pasien VWD berusia 17 tahun, menceritakan pengalamannya yang sulit didiagnosis karena gejala yang ringan. Ia berharap kesadaran masyarakat tentang VWD dapat meningkat, sehingga pasien dapat dideteksi lebih dini dan mendapatkan penanganan yang lebih baik. SRS juga berharap pengobatan VWD di Indonesia menjadi lebih mudah diakses dan terjangkau.
Shinta Caroline dari PT Takeda Indonesia menegaskan, komitmen perusahaan untuk menjadi mitra jangka panjang dalam meningkatkan layanan kesehatan bagi pasien hemofilia. Bersama HMHI dan tenaga medis, Takeda Indonesia ingin meningkatkan kesadaran masyarakat agar penyakit ini dapat dikenali dan ditangani dengan lebih baik.
HMHI juga meluncurkan kembali situs resmi mereka dengan tampilan dan fitur baru yang lebih interaktif dan informatif. Situs ini menyediakan informasi edukatif tentang hemofilia dan gangguan perdarahan lainnya, cerita inspiratif dari pasien, serta informasi mengenai “Teman Hemofilia” dan akses dukungan HMHI.
HMHI berharap diagnosis dan pengobatan hemofilia, VWD, dan gangguan perdarahan lainnya dapat dilakukan secara merata di seluruh Indonesia. HMHI juga menekankan pentingnya peningkatan akses terhadap pengobatan, baik dari sisi ketersediaan maupun keterjangkauan.