High target, high reward

Call center mampu menjadi “jembatan” antara perusahaan dan pelanggan sehingga terjadi interaksi positif. Agar bisa demikian, hal-hal yang berkaitan dengan kinerja para telemarketer yang mengoperasikannya, patut diperhatikan. Apa saja itu?

Topik call center memang selalu hangat dibicarakan. Sebab, meski telah diyakini banyak pihak sebagai salah satu pilar pemuasan konsumen, dalam kenyataannya, belum banyak perusahaan yang mengelolanya secara serius. Karenanya, lagi-lagi MARKETING perlu menurunkan bahasan tentang call center. Kali ini kajian mendasarkan pada presentasi Bernhard Sumbayak, Vice President Bank Danamon Indonesia dalam seminar tentang “Telemarketing Management” di Jakarta beberapa waktu lalu.

Hal mendasar yang ditekankan Bernhard menyangkut kualifikasi yang harus dipenuhi personel telemarketing. Pertama, soal job description. Disebutkannya, seorang telemarketer dituntut responsif terhadap kebutuhan konsumen. Kedua, berasal dari latar belakang pendidikan yang spesifik berkaitan dengan industri tempat ia bekerja. Akan lebih baik jika dikombinasikan dengan pengalaman dan pelatihan. Ketiga, semestinya diprioritaskan kepada mereka yang punya pengalaman kerja di bidang penjualan atau servis lewat telepon.

Pengetahuan dan pengalaman saja belum cukup. Tuntutan berikutnya adalah kecakapan dalam berkomunikasi verbal, keterampilan memasarkan, dan kemampuan memecahkan masalah. Tidak mudah, apalagi lewat telepon.

Secara mental, telemarketer juga mesti sanggup bekerja di bawah tekanan. Dalam situasi tertekan seperti ini, lebih berat lagi, kemampuan berdiplomasi dengan konsumen yang sulit sangat dibutuhkan. Sebab, dalam situasi apa pun ia diwajibkan memenuhi kebutuhan konsumen secara akurat (accurately) dan jelas (legibly).

Bekal berikutnya yang mesti dikuasai setelah menjalani pelatihan adalah pengetahuan akan produk yang dipasarkan. Lebih dari itu, juga kemampuan membandingkan dengan produk lain. Dikemas dengan ketrampilan komunikasi verbal yang baik, seperti opening speech dan structural conversation, diharapkan telemarketer tersebut menjadi tenaga pemasar yang mumpuni.

Menurut Bernhard, paradigma dasar yang dibangun adalah service, betapa pun ujung-ujungnya sales. Pelayanan yang baik diyakini mendorong mendorong penjualan. Belum tentu berlaku sebaliknya. “Lebih mudah memindahkan orang service ke sales daripada orang sales ke service,” tukas Bernhard dalam seminar yang juga menghadirkan dua pembicara lainnya, yakni D Sudibyo (ESC Group Manager PT Selindo Alpha) dan Leila Kadarwati (Assistant Manager Call Center PT Infomedia Nusantara).

Problematika lain yang juga disorot adalah bagaimana memberi reward kepada telemarketer yang berprestasi. Ini mengingat, employee turn-over di bagian ini tinggi, rata-rata 70 persen. Problem utamanya, selain soal kejenuhan, juga tidak sesuainya penghargaan yang didapatkan, serta kaburnya jenjang karier yang dijanjikan. “Mestinya, high target, high reward,” cetus Bernhard. Lalu ia mengusulkan beberapa penghargaan yang pantas diberikan seperti insentif, berwisata, voucher belanja, promosi jabatan, pelatihan, dan lain-lain.

Diharapkan, dengan reward yang bagus, kinerja telemarketer semakin berkualitas. Pada gilirannya, call center sebagai pintu masuk konsumen pada perusahaan sungguh-sungguh menjadi pintu gerbang yang “hangat”, yang membuat konsumen merasa nyaman untuk semakin mengenal perusahaan, dan selanjutnya menjadi konsumen yang loyal. (AA Kunto A)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.