Tren Menyedihkan Sepinya Sejumlah Mal di Jakarta

Pengembang Apartemen Green Pramuka menilai tren menyedihkan sepinya sejumlah mal di Jakarta sebetulnya bukan karena turunnya daya beli masyarakat tetapi akibat strategi pengembang properti yang ketinggalan zaman.

“Kami sudah melihat itu sejak delapan tahun lalu. Saat itu, pada 2010 jumlah pusat perbelanjaan (mal) yang ada di Jakarta mencapai 170 lebih atau setara lahan seluas 4 juta meter persegi. Melebihi batas ideal mal dan jumlah penduduk,” ujar Marketing Director Green Pramuka City Jeffry Yamin.

“Repotnya,” lanjut Jeffry, “Kawan-kawan pengembang justru terus membangun mal padahal saat itu pemerintah DKI bahkan sampai mengeluarkan pembatasan pembangunan mal dengan mengeluarkan instruksi gubernur pada 12 Oktober 2011 namun pembangunan mal baru terus berjalan.”

Potensi pengembangan mal saat itu disebabkan karena kecenderungan masyarakat Jakarta yang kerap menjadikan pusat perbelanjaan (mal) sebagai obat depresi dan stres. Bahkan ada data rata-rata orang Jakarta, mayoritas perempuan, menghabiskan sekitar tiga jam setiap kali mengunjungi mal.

Dengan kondisi tersebut, pembangunan pusat perbelanjaan terus berjalan. Sampai 2013, terdapat 564 pusat perbelanjaan di Jakarta dengan jumlah terbanyak terdapat di area CBD (Central Business District). 

Sayangnya, para pengembang mengabaikan tren yang sedang terjadi pada masyarakat yang tinggal di megapolitan di negara-negara lain. “Kalau Anda buka data, di negara Amerika Serikat sejak 2010 sejumlah mal raksasa mulai sepi, beberapa malah tutup,” tuturnya.

Mengutip data Green Street Advisors, lembaga pemantau industri pusat perbelanjaan, sejak 2010 sedikitnya ada 30 mal di penjuru Amerika Serikat yang terpaksa ditutup dan 60 mal yang mulai sepi pengunjung.

Menurut Jeffry, saat itu di Amerika Serikat para pengembang mal ramai-ramai menuding belanja daring (online shopping) sebagai biang keladi sepinya mal. Namun tidak disadari hal itu terjadi karena jumlah mal yang terlalu banyak dan perubahan gaya hidup masyarakat kota besar.

“Masyarakat kota besar cenderung ingin praktis dan lebih gemar menyisihkan uang mereka untuk kesehatan atau menghibur diri dengan olahraga dan piknik. Itu sebabnya sejak awal dibangun Green Pramuka langsung menerapkan konsep one stop living,” paparnya.

Dengan konsep one stop living maka penghuni tidak perlu terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menuju lokasi pusat belanja dengan berkendara mengarungi kemacetan Ibu Kota.

Lebih lanjut Jeffry mengatakan, konsep ini sebetulnya sudah terjadi di Jakarta sejak era 1990-an, di mana terjadi integrasi antara apartemen dan mal (mixed use building) yang memadukan hunian dengan sarana hiburan, bisnis, dan lifestyle.

Bahkan, seiring dengan perhatian pemerintah Presiden Joko Widodo terhadap pengembangan infrastruktur, kini tengah diwujudkan konsep kawasan terpadu tempat tinggal, pusat bisnis yang terintegrasi dengan titik-titik transportasi massal. 

“Itu juga yang membuat kami mendukung adanya shelter transportasi massal bagi penghuni mulai dari bis Damri yang langsung menuju Bandara Soekarno Hatta hingga shelter layanan kendaraan online. Dengan cara ini, penghuni dipermudah, kemacetan berkurang dan masyarakat lebiih produktif,” tuturnya.

Foto: Kumparan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.