Pengelola Apartemen Green Pramuka menilai ide rumah lapis yang diajukan pemerintahan DKI Jakarta positif bagi perkembangan program hunian vertikal.
“Tidak saja positif bagi perkembangan hunian vertikal Ibukota, ide rumah lapis tentu akan diikuti dengan penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) untuk mengatur pengelolaan hunian vertikal di Jakarta,” tutur Marketing Director Green Pramuka City Jeffry Yamin.
Menurut Jeffry, draft Pergub pengelolaan hunian vertikal yang sudah sempat disusun Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Sumarsono untuk aturan teknis terkait UU No. 20 Tahun 2011 tentang pengelolaan hunian vertikal yang ditunggu banyak stakeholder hunian vertikal harus segera diselesaikan. Pergub pengelolaan hunian vertikal tidak saja mendukung kelancaran operasional hunian vertikal namun akan berdampak positif bagi pemerintah pusat ketika memungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi penghuni hunian vertikal.
Persoalan Pergub pengelolaan hunian vertikal dapat mendorong penghuni untuk lebih memahami pentingnya PBB sebagai komponen penentu NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) hunian yang telah mereka miliki atau dijadikan investasi. Jeffry mencatat, ketika (Plt) Gubernur DKI Jakarta Sumarsono, Pemprov DKI telah mengumpulkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk memberikan masukan bagi penyusunan Pergub guna mengisi kekosongan aturan tentang pengelolaan rusun tersebut.
“Kita semua paham, belum keluar aturan teknis berupa Peraturan Pemerintah (PP), Permen, atau lainnya menimbulkan banyak masalah di lapangan yang berujung sengketa. Pergub ini juga akan menjadi payung pembentukan perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rumah susun (P3SRS),” tuturnya.
Lebih lanjut Jeffry mengatakan, saat itu Pemprov DKI sudah meminta masukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, asosiasi pengembang (REI dan Apersi), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Ombudsman, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
“Saat itu ide Pak Sumarsono adalah dengan dikeluarkannya Pergub maka dapat menjadi diskresi dari Pemprov DKI bagi pengelola hunian vertikal di Jakarta sembari menanti PP turunan UU No. 20 Tahun 2011 yang tak kunjung terbit,” paparnya.
Diharapkan dengan adanya Pergub Pengelolaan Apartemen maka proses proses sertifikat hak milik (SHM) bagi yang tinggal di apartemen yang selama ini rumit dan memakan waktu sangat lama dapat lebih mudah dan cepat. Kondisi yang berlarut tersebut kerap menimbulkan konflik dan jika terus dibiarkan akan mengganggu iklim pertumbuhan hunian vertikal yang menjadi pilihan paling masuk akal memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat Ibu Kota.
Jeffry menuturkan, saat ini pengembang harus mengajukan akta pertelaan dan pemisahan terlebih dahulu kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebelum mengajukan SHM. Sedangkan akta pertelaan dan pemisahan bisa diajukan setelah semua pembangunan apartemen selesai dan memiliki Sertifikat Laik Fungsi (SLF) yang diterbitkan Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang DKI Jakarta.
Padahal dengan konsep super blok yang bersifat pembangunan bertumbuh sesuai konsep one stop living dan kini menjadi tren di kota-kota besar maka proses tersebut tentu akan sangat panjang mengingat pembangunan super blok berlangsung tahap demi tahap.
“Pengembang, pengelola dan pemilik unit tentu sangat berharap kepada Gubernur dan Wakil Gubernur yang baru menjabat dapat memberikan jalan keluar terhadap persoalan yang telah terjadi beberapa tahun terakhir,” pungkasnya.