Golden Vision

Salah satu kelebihan pemerintahan Soeharto dibandingkan pemerintahan sekarang adalah kemampuan dan kekonsistenan Pak Harto dalam merencanakan sesuatu sampai 25 tahun ke depan.

Pemerintahan Soeharto memiliki Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang dimulai sejak tahun 1969. Dimulai dari penguatan sektor pertanian tradisional, berkembang menjadi industri pertanian dan orientasi ekspor, sampai kemudian—pada Repelita terakhir—mengarah kepada pengembangan sektor jasa seperti telekomunikasi dan pendidikan.

Para arsitek ekonomi di belakang Soeharto rupanya percaya sekali dengan teori Rostow yang menyatakan bahwa setiap negara melewati tahap-tahap yang disebut sebagai tahap tradisional, prakondisi untuk take off, kondisi take off, dan kondisi mature (di mana ekonomi sudah mencapai kematangan untuk sektor yang dijadikan unggulan). Terakhir adalah kondisi high consumption, di mana negara tersebut sudah dapat mengatasi kemiskinan dan masyarakat sudah memiliki daya konsumsi yang tinggi untuk sektor unggulannya. Pada fase terakhir ini, ekonomi  akhirnya akan berfokus pada sektor lain dan mengembangkannya.

Repelita adalah buku pedoman yang berisikan visi pemerintah ke depan. Pada saat Repelita awal dibuat, pemerintahan Soeharto sudah memiliki visi sampai 25 tahun ke depan. Perencanaan semacam ini tidak dimiliki oleh pemerintahan sesudah Soeharto. Mungkin karena mereka berfokus pada penyelesaian jangka pendek, sekaligus menyiapkan diri untuk Pemilu berikutnya. Ini menunjukkan bahwa pemerintahan setelah era Soeharto “mulai takut” untuk menunjukkan visi yang jauh ke depan.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyusun visi. Pertama-tama, visi memerlukan kemampuan meramal (atau mempercayai) tren masa mendatang. Sebuah bank tidak akan memiliki visi sebagai bank dengan pelayanan terbaik dalam lima tahun ke depan jika dia tidak melihat bahwa pelayanan menjadi driver penting di masa mendatang. Demikian halnya dengan ekonomi era Soeharto, mereka percaya bahwa setiap negara akan bergeser dari ekonomi tradisional ke era industri dan ekonomi jasa (service). Jadi, kalau para marketer sekarang baru percaya bahwa perusahaan harus memperkuat basis service, sebenarnya mereka menjalankan imbas mikro dari pergeseran ekonomi yang sudah dipercayai para ekonom era Soeharto sejak dulu.

Siklus Rostow sendiri sebenarnya merupakan bentuk product life-cycle yang dipercayai bisa terjadi pada sektor pertanian Indonesia. Sesuai rencana, pertanian Indonesia dimulai pada tahap tradisional (introducing), bertumbuh, menjadi produk rising dengan kemajuan industri (growth), memasuki era kematangan dan dinikmati oleh rakyat (mature), dan akhirnya memasuki masa transformasi. Pada tahap terakhir ini, industri mulai decline dan ekonomi harus bergeser ke sektor lainnya. Model life-cycle industri pertanian ini secara tidak langsung sebenarnya tercermin dalam pedoman Repelita yang pernah disusun selama pemerintahan Soeharto. Kalau Indonesia sudah bisa mencapai era swasembada beras, itu merupakan langkah awal untuk masuk ke tahap growth di industri pertanian. Semua langkah kalau dicermati sepertinya sudah mengikuti apa yang digariskan oleh visinya.

Namun, apa pun visi yang dimiliki, setiap CEO, leader ataupun presiden harus konsisten dan setia menjalankannya. Untuk yang satu ini, Soeharto memang memiliki konsistensi dan persistensi yang kuat mengikuti visinya, sekalipun kadang harus dilakukan dengan cara represif.

Sayangnya, yang dilupakan dalam era Soeharto adalah kurangnya keinginan membagi manfaat yang dihasilkan ke pihak lain di luar kroninya. Di dalam perusahaan, ada stakeholders yang harus menerima manfaat dari perusahaan. Jika ada stakeholders yang tidak menerima manfaat, keseimbangan perusahaan akan terganggu. Seperti halnya perusahaan, para stakeholders di dalam negara pun harus menerima manfaat yang sepadan (adil) dari apa yang sudah dicapai. Itulah sebabnya, visi presiden Soeharto—sekalipun menarik—seolah menjadi retorika CEO yang tidak ada isinya.

Hal lain adalah kurangnya empowerment kepada birokrasi. Soeharto justru menciptakan standard operating procedure yang sangat kaku untuk menerjemahkan visinya tersebut. Soeharto menciptakan “karyawan” yang hanya menjadi doer sejati dan bukan creative employee. Akibatnya, semua cuma melakukan sesuai petunjuk atasan dan seperti tidak punya kekuatan untuk sedikit keluar dari garis-garis birokrasi yang ada. Soeharto gagal dalam membangun budaya untuk mencapai visinya. Dia menciptakan kultur yang buruk, mulai dari birokrat yang paling atas sampai bawah. KKN adalah budaya yang muncul sebagai akibat dari ketiadaan empowerment. Tanpa empowerment, seorang manajer bakal melakukan penyimpangan secara sembunyi-sembunyi karena dia tak mendapatkan apa yang diinginkannya jika melalui jalur yang benar. Begitu pula halnya dengan para birokrat.

Demikianlah para marketer, akhirnya Soeharto jatuh setelah persoalan KKN dan masalah HAM begitu kuat membelitnya. Ketika terjadi krisis ekonomi, para stakeholders lain (rakyat, politisi, pengusaha, dan lain-lain) menjadi tidak percaya terhadap visi emasnya. Mimpi yang dibangun seolah menjadi tak berarti ketika dia digantikan oleh presiden-presiden berikutnya. Visi sang CEO juga tak bisa ditangkap oleh CEO-CEO penggantinya karena masing-masing CEO merasa kekuasaannya tak akan lama.

Ironis memang. Mungkin bangsa kita sudah lebih bahagia sekarang andaikan kepemimpinan maupun visi Soeharto yang demikian kuat mampu dipadukan dengan internalisasi visi yang baik melalui kultur yang positif, empowerment, dan reward yang adil bagi setiap orang. Meski demikian, Soeharto bolehlah disebut sebagai “Leader with the Golden Vision”! (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.