www.marketing.co.id – Semua orang, termasuk para pengusaha dan juga para marketer, banyak yang mulai “galau” soal kenaikan BBM (bahan bakar minyak) ini. Entah kenapa, pemerintah menjalankan aksi yang berbeda dibanding biasanya, sehingga menambah lama tingkat kegalauan masyarakat.
Berbeda dengan kebiasaan pemerintahan sebelumnya, pengumuman kenaikan harga BBM kali ini dilakukan dengan jeda yang panjang, sebelum eksekusi benarbenar dilaksanakan. Dahulu, pengumuman kenaikan harga BBM dilakukan satu hari sebelum eksekusi. Memang rumor kenaikan harga biasanya sudah muncul di beberapa kalangan, namun tidak tersebar luas dan tidak menimbulkan gejolak massa. Sekalipun setelah diumumkan terjadi demonstrasi, sepertinya nasi sudah menjadi bubur dan kebijakan sudah diambil.
Ini berbeda dengan yang terjadi sekarang. Jeda yang panjang membuat masyarakat menjadi gelisah dalam penantian. Mereka cenderung untuk melakukan berbagai hal agar eksekusi tersebut batal dilaksanakan. Inilah yang dilakukan oleh para mahasiswa, buruh, sampai politisi yang mau mengambil keuntungan dari situasi ini.
Mengumumkan kenaikan BBM satu hari sebelum eksekusi itu seperti seorang terpidana mati yang tidak tahu kapan dia akan dieksekusi. Tiba-tiba saja pada hari tertentu eksekusi tersebut dilaksanakan. Sedangkan jika terpidana mati sudah ditentukan eksekusinya sebulan lagi, dia cenderung gelisah dan bisa melakukan hal-hal yang negatif.
Sekali lagi pemerintah yang berkuasa ternyata tidak punya strategi yang tepat dalam menghadapi krisis. Kebijakan presiden SBY selalu terkesan ragu-ragu sehingga mengundang kontroversi. SBY, selain dikelilingi orang-orang yang bermasalah, juga memiliki tim public relations yang bermasalah. Public relations (PR) bukan hanya soal berbicara di depan publik. PR menyangkut strategi konten dan konteks yang tepat. Materi konten yang disampaikan serta bagaimana dan kapan men-deliver policy harus dipikirkan secara matang.
Kalaupun pengumuman itu terpaksa harus dikeluarkan sebulan sebelumnya, perencanaan manajemen krisis pun harus disiapkan sebelum mengumumkan kenaikan BBM. Riset awal perlu dilakukan, guidance book perlu dibuat, dan bahkan berbagai simulasi sudah dilakukan sebelum pengumuman dilakukan. PR yang andal harus bisa membantu SBY mengatasi krisis yang terjadi.
Dalam dunia marketing banyak hal yang tidak populis sering terjadi. Produk yang cacat harus ditarik dari peredaran. Harga produk harus dinaikkan karena biaya produksi meningkat, sebuah layanan bagi pelanggan harus diputus karena perusahaan tidak bisa menanggung service cost yang teramat besar, atau perusahaan harus melakukan merger dengan perusahaan lain, sehingga bisa memunculkan ketidakpuasan bagi pelanggan.
Perusahaan yang baik dan memahami marketing pasti akan melibatkan upaya PR yang besar agar dia tidak kehilangan customer. Bahkan kalau bisa, kebijakan yang tidak populis ini harus bisa di-convert sebagai kebijakan yang populis agar memberi kepuasan bagi pelanggan.
Berbeda dengan presiden SBY, dia justru sekarang menjadi galau’ers. Melakukan curhat di depan publik, mengemukakan kegalauannya karena dia menjadi target cercaan dari berbagai pihak, dan bahkan terancam dibunuh. Ini rasanya cara yang tidak tepat dari sisi PR. SBY sekali lagi menggunakan PR “belas kasihan”, yang mengharapkan masyarakat bersimpati pada dia. Padahal masyarakat sekarang ini pada posisi membutuhkan “belas kasihan” dari pemerintah.
Pada saat perusahaan dalam keadaan krisis, seorang CEO yang baik benar-benar harus turun tangan. Dia harus tampil di muka, mendekati komunitas-komunitas, dan bukan bersembunyi di belakang orang lain. Dia harus mampu memberikan rasa optimistis kepada publik, menunjukkan kepemimpinannya yang besar lewat katakata, dan membangun semangat untuk melewati krisis dengan baik. Gaya CEO seperti inilah mungkin yang harus dimiliki oleh seorang SBY. (Rahmat Susanta)