Ekonomi Tumbuh 5 Persen Sudah Okay Buat Indonesia

Jakarta, 5 Desember 2018 – Pengamat ekonomi dari Universitas Sampoerna, Wahyoe Soedarmono memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019 sebesar 5 persen. Menurut Wahyoe, angka pertumbuhan 5 persen sudah sangat baik bagi Indonesia mengingat pertumbuhan ekonomi global hanya mencapai 3 persen.

Meski demikian dia mengatakan pertumbuhan sebesar 6% sebenarnya bukan hal mustahil untuk bisa dicapai. “Caranya antara lain dengan meningkatkan produktivitas, penciptaan lapangan kerja, dan tabungan,” tutur Manajer Program Kerjasama HSBC-PSF (Putra Sampoerna Foundation).

Wahyu yang berbicara saat jumpa pers “Sampoerna Financial  Literacy Day 2018” mengingatkan pentingnya meningkatkan produktivitas ekonomi Indonesia guna menekan defisit transaksi berjalan sebesar minus 3,37. Namun secara keseluruhan katanya prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap optimistis tahun depan, karena didorong oleh efektivitas belanja pemerintah dan investasi swasta. Di sisi lain, konsumsi domestik masih menjadi andalan dengan kontribusi mencapai 57 persen. “Daya beli masyarakat di tahun depan juga tidak perlu dikhawatikan karena angka inflasi rendah,” tuturnya.

Menyoal depresiasi nilai Rupiah terhadap Dollar AS tidak perlu terlalu dirisaukan. Dia mengatakan, Indonesia perlu belajar pada kondisi ekonomi tahun 2013-2014, dimana saat itu defisit transaksi berjalan angkanya lebih besar yakni minus 4 persen.“Nilai tukar masih manageable, karena kalau kita melakukan intervensi terus Rupiah kita terlalu kuat juga akan memukul ekspor kita, jadi kita harus hati-hati,” tuturnya.

Wahyoe Soedarmono – Ekonom Sampoerna University sekaligus Project Manager Program Kerja Sama HSBC-PSF, Nuni Sutyoko – Head of Corporate Sustainability HSBC Indonesia, dan Wahdi Salasi April Yudhi – Rektor Sampoerna University dalam acara diskusi terkait Sampoerna Financial Literacy Day 2018 dengan dua acara utama

Ali Setiawan, Managing Director and Head of Global Markets HSBC Indonesia memprediksi dalam jangka pendek hubungan dagang antara AS dan China akan cukup baik mengingat dicapainya penangguhan selama 90 hari untuk pemberlakuan tarif dagang baru dari AS. Namun, jika AS sebagai tujuan ekspor terbesar China benar-benar menjalankan kebijakan tersebut diprediksi akan berimbas sebesar 1 persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) China. Mengingat China adalah mitra dagang terbesar Indonesia, maka kondisi ini akan berimbas sebesar 0,3 – 0,4 persen ke PDB Indonesia.

Mengenai pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar, Ali melihat pelemahan ini hampir 10 persen dipicu oleh kondisi domestik, yakni struktur supply and demand yang sudah tidak seimbang serta tekanan dari pasar keuangan.

Meskipun faktor tekanan pasar keuangan tersebut dihilangkan, namun persediaan untuk memenuhi kebutuhan Dollar dalam negeri sudah tidak mencukupi. Perdagangan mata uang di Indonesia yang berkisar 2 miliar Dollar per harinya sudah tidak cukup untuk memenuhi transaksi pasar di saat-saat tertentu. Jumlah tersebut memang cukup untuk memenuhi transaksi sehari-hari, namun untuk kondisi tertentu saat demand meningkat seperti akhir bulan atau akhir kuartal, supply sudah tidak mencukupi.

Dia mengatakan, saat ini satu-satunya penyedia supply Dollar terbesar berasal dari Bank Indonesia. Sementara itu, volume penjualan Dollar dari eksportir terus berkurang tiap tahunnya. Dari data HSBC Indonesia, dari total ekspor tahun 2018 yang sebesar Rp160-170 miliar, hanya sekitar 11 persen yang dikonversikan ke Rupiah. Kondisi ini perlu diperhitungkan dalam mengantisipasi kenaikan Dollar terhadap Rupiah.

Sementara itu, The Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW) dalam siaran pers nya mengatakan perang dagang AS – China tidak akan terlalu berdampak pada PDB Indonesia.

“Melihat simulasi tarif AS-Tiongkok yang kami lakukan, kami berharap Indonesia dan Filipina yang memiliki lebih sedikit hubungan perdagangan dengan Tiongkok, menjadi ekonomi yang paling sedikit terpengaruh dalam hal pertumbuhan PDB,” ujar Sian Fenner, ICAEW Economic Advisor & Oxford Economics Lead Asia Economist.

“Secara keseluruhan, kami berharap bahwa dampak pukulan perang dagang US-Tiongkok akan dirasakan lebih kuat di tahun 2019 di seluruh perekonomian Asia Tenggara, dan menghasilkan perkiraan pertumbuhan yang terpangkas pada kawasan ini hingga 5 persen pada tahun 2019, dengan konteks makroekonomi global masih cukup konstruktif,” tuturnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.