Marketing.co.id – Berita Financial Services | Ekonomi global sedang sempoyongan. Peringatan ini tidak main-main, karena disampaikan oleh orang penting di negeri ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu sempat melontarkan pertanyaan, bahwa dunia tidak sedang baik-baik saja. Presiden Jokowi dalam acara dzikir menyambut HUT RI ke-77 yang disiarkan beberapa stasiun TV, Senin malam (1/8) juga menyatakan hal yang sama.
Dimas Ardhinugraha, Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia mengakui topik yang sering menjadi perhatian pasar dan media saat ini adalah risiko resesi ekonomi di Amerika yang dapat menular ke dunia. Kondisi resesi umumnya terlihat dari kontraksi dan pelemahan berbagai sektor ekonomi, misalnya tingkat upah, tenaga kerja, manufaktur, dan penjualan ritel.
Sejauh ini indikator sektor-sektor tersebut tegas Dimas masih tetap kuat dan belum menunjukkan sinyal resesi. Selain itu, beberapa leading indicator ekonomi juga belum menunjukkan sinyal resesi, seperti probabilitas resesi dari Fed New York yang masih pada level kondusif.
“Namun tidak bisa dipungkiri bahwa pertumbuhan ekonomi Amerika dan dunia diperkirakan melambat karena inflasi yang tinggi dan suku bunga yang belum naik, walau resesi belum menjadi skenario dasar,” katanya.
Baca juga: Tenang, Neraca Perdagangan Indonesia Masih Surplus
Di tengah tingginya volatilitas pasar dan risiko pelemahan pertumbuhan ekonomi global, idealnya investor melakukan diversifikasi investasi untuk meminimalisir risiko. Pasar Asia, kata Dimas dapat menawarkan solusi diversifikasi bagi investor. Pertimbangannya Asia merupakan kawasan yang beragam, dengan profil dan kondisi ekonomi berbagai negara yang berbeda-beda, sehingga masih ada peluang yang bisa dimanfaatkan di pasar Asia.
Dimas memberi contoh kawasan ASEAN yang menawarkan potensi pertumbuhan menarik dengan tingkat inflasi yang relatif terjaga. ASEAN diuntungkan oleh pembukaan kembali ekonomi yang menjadi katalis bagi ekonomi domestiknya, dan juga sektor pariwisata yang kembali bergairah.
“Tidak hanya ASEAN, China juga menawarkan potensi menarik, didukung membaiknya kondisi Covid-19 serta potensi stimulus moneter dan fiskal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,” tegas dia.
Dia kembali menegaskan, ditengah melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, Indonesia merupakan negara yang menarik di mata investor dunia. Indonesia berada dalam posisi yang lebih suportif didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang membaik, harga komoditas yang suportif, tingkat inflasi terjaga dan kebijakan bank sentral yang akomodatif.
Berlawanan dengan ekonomi global yang melambat, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan mengalami akselerasi tahun ini didukung oleh normalisasi aktivitas masyarakat.
“Indikator ekonomi terkini terus menunjukkan perbaikan, terlihat dari indeks keyakinan konsumen yang kembali ke level sebelum pandemi dan juga pertumbuhan kredit yang terus menunjukkan perbaikan,” bebernya.
Penguatan harga komoditas utama Indonesia, seperti batubara, juga menjadi faktor positif bagi Indonesia. Sebagai contoh, harga batubara menguat 128% di paruh pertama tahun ini, yang mendukung kinerja neraca perdagangan hingga mencatat rekor surplus. Harga komoditas yang suportif akan memberi trickle-down effect ke ekonomi dan positif bagi stabilitas makro ekonomi Indonesia.
Selain pertumbuhan ekonomi yang positif, Indonesia juga diuntungkan oleh tingkat inflasi domestik yang relatif terjaga. Pemerintah memutuskan untuk menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi energi demi menjaga harga listrik bersubsidi dan BBM Pertalite. “Kebijakan ini positif untuk menjaga tingkat inflasi dan mendukung daya beli masyarakat. Dari sisi APBN, kenaikan anggaran subsidi akan dikompensasi oleh kenaikan pendapatan negara dari sektor komoditas yang tinggi,” jelas Dimas.
“Tingkat inflasi domestik yang terjaga memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk tidak perlu buru-buru menaikkan suku bunga. Berlawanan dengan bank sentral negara maju yang berlomba-lomba menaikkan suku bunga untuk menghadapi lonjakan inflasi. Inflasi inti menjadi patokan bagi BI dalam menentukan kebijakan suku bunga,” katanya.
Dampaknya pada pasar saham dan obligasi
Menurut Dimas, ekspektasi pemulihan ekonomi domestik merupakan katalis positif bagi pasar saham Indonesia. Kondisi ekonomi yang lebih baik akan mendorong perbaikan kinerja keuangan emiten Indonesia, terutama setelah 2 tahun kondisi pandemi yang menekan kinerja emiten Indonesia.
“Walaupun volatilitas jangka pendek tetap dapat terjadi karena sentimen global, pasar saham tetap menawarkan potensi yang menarik di tahun ini didukung perbaikan fundamental,” jelasnya.
Bagaimana dengan obligasi? Pasar obligasi bergerak fluktuatif di paruh pertama tahun ini. Sentimen pasar dibayangi oleh naiknya imbal hasil US Treasury dan ketidakpastian di pasar domestik terkait apakah harga BBM dan listrik akan naik dan bagaimana dampaknya terhadap inflasi domestik.
“Positifnya, ke depannya, ekspektasi kenaikan suku bunga Amerika yang sudah diantisipasi oleh pasar dapat membuat volatilitas pasar lebih minimal. Selain itu, naiknya anggaran subsidi dan kompensasi energi juga mengurangi faktor ketidakpastian di pasar domestik,” katanya memprediksi.
Baca juga: Tren Suku Bunga Naik, Investasi Reksa Dana Masih Menarik
Dia menyarankan, di tengah kondisi pasar yang sangat dinamis penting sekali bagi investor untuk memiliki portofolio yang terdiversifikasi untuk meminimalisir risiko dan volatilitas. Tinjau kembali profil risiko dan aset alokasi portofolio anda. Pastikan Anda memiliki bauran instrumen investasi yang memiliki unsur long-term growth serta instrumen dengan profil risiko yang konservatif untuk menjaga tingkat volatilitas portofolio.
“Di reksa dana, terdapat pilihan yang tersedia bagi investor untuk menyesuaikan dengan profil risiko masing-masing. Terdapat reksa dana saham yang memberikan unsur pertumbuhan jangka panjang, serta reksa dana pendapatan tetap dan pasar uang yang dapat memberikan unsur stabilitas bagi portofolio Anda,” pungkas dia.