Disruptive Network

Kita semakin sering menyaksikan berbagai inovasi produk maupun inovasi bisnis yang menjadikan hidup kita lebih baik. Inovasi ini sering disebut dengan disruptive innovation, yaitu inovasi yang demikian bagusnya sehingga membuat cara lama menjadi tidak relevan lagi. Sehingga kini menjadi inovator saja tidak lagi cukup, seorang pebisnis yang visioner perlu one step ahead menjadi seorang “disruptor”.

disruptive network

Jadi disruptor dapat menjadi jalan pintas untuk meraih kesuksesan bagi sebuah startup. Karena itu, menjadi semacam perlombaan bagi startup untuk membuat produk atau bisnis yang bisa mendisrupsi status quo. Contoh paling mutakhir tentu saja dapat dilihat pada berbagai startup seperti Tesla, Alibaba, serta startup lokal seperti Gojek dan Traveloka. Mereka berhasil mengubah secara dramatis lanskap di industrinya masing-masing. Kehadiran produk mereka membuat pesaing incumbent menjadi kurang relevan.

Namun, tentu saja tidak semua startup bisa melakukan disruptive innovation. Banyak aspek yang harus dipenuhi untuk bisa menyamai pencapaian Tesla atau Gojek. Hanya 1 dari 1.000 startup yang mungkin berhasil melakukan disruptive innovation. Tapi, apakah tidak mungkin kita melakukannya?

Ekosistem teknologi yang semakin terintegrasi dewasa ini menjadikan inovasi bisa dilakukan secara berjamaah. Dalam konteks ini, disruptive innovation pun kini tidak lagi harus dilakukan oleh single startup. Namun, hal tersebut bisa dilakukan secara bersama-sama, dimana disruptive innovation hasil kolaborasi tersebut disebut dengan disruptive network. Ini adalah konsep baru yang perlu dimengerti oleh para pemilik startup yang bermaksud menjadi disruptor.

Apa Itu Disruptive Network

Ketika Tesla mengeluarkan mobil listrik atau genteng listriknya, banyak yang merasa bahwa mereka juga bisa melakukan hal itu. Memang kenyataannya, banyak sekali berita liputan inovasi dalam pembuatan purwarupa mobil listrik dan solar panel di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Banyak sekali individu, organisasi, maupun perusahaan yang bisa melakukan apa yang dilakukan oleh Tesla. Namun pertanyaannya, mengapa mereka tidak bisa sesukses Tesla?

Jawabannya ada pada kemampuan Tesla dalam mengoptimalkan disruptive network.

Dalam bisnis energi terbarukan, inovasi tidak bisa dilakukan sendirian. Industri ini relatif baru sehingga inovasi teknologinya pun masih scattered, dipegang oleh banyak individu dan organisasi. Selama ini mereka berjalan sendiri-sendiri, berusaha untuk melindungi paten dan teknologi yang mereka miliki agar tidak ditiru pesaing. Di Indonesia misalnya, riset di perguruan tinggi tentang energi terbarukan tidak pernah dikolaborasikan. UGM kuat di riset geothermal, ITB kuat di riset mikrohidro, dan UI kuat di riset panel surya. Namun, masing-masing berjalan sendiri tanpa pernah membangun sebuah disruptive network.

Kesalahan ini dimengerti benar oleh Tesla. Karena itu mereka membangun inovasi yang mereka lakukan berdasarkan konsep disruptive network ini. Supplier, vendor, dan partner mereka kumpulkan dalam sebuah network yang memberikan equal benefit for everyone. Dalam network tersebut, kontribusi apa pun akan diganjar dengan manfaat yang setimpal. Di situ Tesla berperan sebagai integrator bagi semua pihak.

Dengan pendekatan ini, Tesla bahkan bisa mengajak mitra bisnis yang merupakan vendor atau supplier dari pesaing Tesla (dalam hal ini perusahaan manufaktur mobil konvensional). Untuk Tesla Model 3 misalnya, mereka berkolaborasi dengan cukup banyak perusahaan Jepang yang notabene juga merupakan mitra bisnis Toyota dan Honda.

Disruptive network yang dibuat oleh Tesla bekerja secara alamiah untuk secara perlahan mematikan pesaing petahana, yaitu para produsen mobil konvensional. Para vendor dan supplier mobil konvensional secara perlahan melihat masa depan mereka ada pada mobil listrik yang digawangi Tesla. Mereka juga mendapatkan saluran bagi hasil R&D mereka di teknologi listrik, yang selama ini hanya mereka simpan karena tidak diadopsi oleh produsen mobil konvensional.

Dengan kondisi ini, banyak yang memprediksi bahwa 10─20 tahun lagi Tesla bisa membunuh industri mobil konvensional. Dan ini dilakukan Tesla tidak sendirian, melainkan menggandeng mereka yang tadinya juga menjadi bagian dari industri mobil konvensional itu sendiri. Inilah kekuatan dari disruptive network.

Membangun Disruptive Network

Bagi startup, pertanyaan terpentingnya adalah bagaimana memulai sebuah disruptive network?

Ada tiga komponen yang menjadi landasan bagi disruptive network, yaitu: (1) kebutuhan konsumen akan inovasi solusi/produk yang lebih baik; (2) ekosistem riset di bisnis tersebut; dan (3) ekosistem pembiayaan yang tertarik dengan inovasi baru tersebut.

Kita mulai dengan komponen pertama, yaitu adanya kebutuhan akan inovasi baru. Jika kita melihat kasus Tesla, konsumen sangat membutuhkan solusi transportasi baru yang relevan dengan tantangan di zaman ini, yaitu murah, bersih/hijau, dan canggih. Industri otomotif telah terlalu lama dininabobokan dengan teknologi yang itu-itu saja. Dalam kurun waktu 50 tahun ke belakang, tidak terlalu banyak hal yang berubah dari kendaraan bermotor yang ada di pasaran. Kondisi ini membuat konsumen merindukan adanya inovasi yang benar-benar total dan disruptive di industri ini. Tak heran ketika Tesla datang dengan konsepnya, maka segera saja disambut dengan suka cita oleh konsumen.

Hal seperti inilah yang harus terlebih dulu diidentifikasi oleh startup. Adakah kebutuhan konsumen akan inovasi yang lebih baik? Apa saja pain points yang selama ini dikeluhkan oleh konsumen akan produk konvensional yang ada? Jika berhasil teridentifikasi, maka langkah berikutnya adalah melakukan evaluasi terhadap komponen kedua, yaitu adakah ekosistem riset di bisnis tersebut?

Ekosistem riset penting sekali untuk membangun disruptive network. Paten dan berbagai temuan yang relevan untuk menjawab kebutuhan konsumen akan solusi baru, tidak bisa dikerjakan sendirian oleh startup. Dalam disruptive network, ada yang berperan sebagai integrator, yang menjembatani temuan dan solusi dari semua pihak untuk menjadi sebuah solusi total. Peran sebagai integrator ini bisa diambil jika sebuah startup memiliki salah satu dari beberapa kualitas berikut: sumberdaya finansial yang kuat, tokoh yang berpengaruh, paten dan key technology. Memang tidak mudah untuk memiliki kualitas ini, namun bukan mustahil untuk dilakukan.

Terakhir, disruptive network memerlukan sokongan dari lembaga pembiayaan atau investor yang visioner, yang bisa melihat kekuatan dari disruptive network tersebut. Hal ini karena memulai sebuah inovasi baru membutuhkan komitmen investasi yang sangat besar. Mau tidak mau, para anggota disruptive network harus bisa menunjukkan kepada lembaga pembiayaan dan investor bahwa inovasi tersebut benar-benar akan berhasil dan diadopsi secara luas. Di sini peran integrator sangat krusial untuk menjadi pembawa pesan bagi para anggota disruptive network.

Demikian penjelasan singkat mengenai komponen-komponen yang diperlukan untuk memulai sebuah disruptive network. Semoga bisa menjadi referensi dan refleksi bagi para disruptor di luar sana.

Harryadin Mahardika
Kepala Program Magister Manajemen Universitas Indonesia (MMUI)

MM.12.2017/W

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.