Dilema Media Sosial, Dilema Kita Bersama

Berapa jam per hari Anda menghabiskan waktu di media sosial? Mawaslah Karena Anda Mungkin Sudah Kecanduan!

Marketing.co.id – Artikel Digital | Jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Pinterest, dan sejenisnya ternyata memiliki bahaya bagi manusia. Setidaknya demikian yang tergambarkan dalam film dokumenter Netflix karya Jeff Orlowski, The Social Dilemma. Bahaya yang dimaksud bisa membuat para pengguna ketagihan, sebenarnya bukan hal baru. Namun, film dokumenter ini memberikan perspektif lain karena para pihak yang menjadi informan untuk diwawancara adalah tokoh-tokoh besar dan berpengaruh yang pernah bekerja untuk Google, Pinterest, dan raksasa perusahaan teknologi lainnya.

dilema media sosial

Tokoh-tokoh tersebut menyatakan bahwa ciptaan mereka memang didesain untuk memanipulasi perilaku manusia saat menggunakan media sosial dan manipulasi tersebut terwujud dalam berbagai fitur yang disediakan media sosial dan produk teknologi lain seperti surel. Fitur-fitur dikembangkan dan disediakan untuk memanipulasi perilaku manusia sedikit demi sedikit, bahkan sangat sedikit hingga tak disadari, namun berlangsung secara terus-menerus.

Baca juga: Tips Membuat Konten Media Sosial yang Menarik dan Relevan

Manipulasi perilaku manusia ditujukan untuk meraih keuntungan dalam bentuk scrolling tiada batas dan push notification demi membuat pengguna terus terlibat dan terikat dengan produk teknologi. Personalisasi rekomendasi menggunakan data yang ditarik secara berkesinambungan dari semua arah dijalankan untuk memprediksi sekaligus memengaruhi tindakan para pengguna demi konsumsi para pengiklan di media sosial.

Berarti harus diakui bahwa suka tidak suka, saat menggunakan produk teknologi secara gratis, kita sudah mempersilakan semua perilaku dan data diri kita ditambang secara gratis untuk kemudian disediakan kepada para pengiklan serta pihak-pihak lain yang membiayai perusahaan teknologi agar terus berjalan.

Apa Pengaruhnya bagi Perusahaan dan Marketer?

Sebagai entitas perusahaan, kita sama-sama menyadari bahwa media sosial memberikan manfaat luar biasa besar bagi kita. Biaya akuisisi pelanggan yang lebih kecil dibandingkan dengan cara beriklan konvensional, penerapan marketing yang jauh lebih tajam dan terukur, waktu marketing yang bisa diatur sesuai kebutuhan, dan masih banyak lagi. Manfaat-manfaat tersebut berlaku sama baik bagi institusi berorientasi profit maupun tidak.

Kemudian, karena kita menyadari apa yang disebut “model bisnis”, kita memahami cara kerja pelantar media sosial. Karena media sosial digunakan secara gratis, berarti pelantar dikembangkan dengan memperlakukan perhatian penggunanya sebagai produk yang kemudian dijual kepada pengiklan. Maka dapat dipahami juga jika pelantar media sosial bertujuan mengambil elemen paling adiktif dari psikologi manusia dan menautkannya dengan teknologi personalisasi paling mendalam yang pada akhirnya menyajikan kepada kita apa yang ingin kita lihat, membuat kita menggunakan waktu lebih banyak untuk tenggelam di media sosial, lalu menjual perhatian tersebut kepada pengiklan.

Namun, harus disadari pula bahwa kita punya tanggung jawab sosial. Antara lain dengan menyadari di pelantar Twitter, berita palsu menyebar enam kali lebih cepat daripada berita sebenarnya dan menjadikannya trending topic. Hal ini pun disadari karena salah satu tujuan pelantar media sosial adalah menciptakan customer engagement setinggi mungkin. Sayangnya hal ini juga menunjukkan bahwa di dunia daring, kebenaran menjadi tidak relevan sepanjang konten tertentu mendapatkan sebanyak mungkin tampilan dan suka.

Sialnya, atau mungkin tak terhindarkan, para entitas perusahaan termasuk marketer bahkan pengembang teknologi internet pun tidak kebal dengan efek samping negatif media sosial. Kita tetap dapat kecanduan dengan media sosial meski kita mengetahui dan memahami efek sampingnya.

Peluang pendirian jasa berita palsu. Sudah sejak lama perusahaan dipusingkan dengan berita negatif dan berita hitam. Keberadaan berita palsu dan informasi salah sudah banyak menghabiskan waktu perusahaan untuk menyusun serta memberikan respons karena jika tidak ditangani dengan baik, memang dapat berimplikasi buruk pada penjualan. Keberadaan media sosial telah memudahkan persebaran berita palsu karena pengembang media sosial terlihat gagal mengekang peredaran berita palsu. Namun, inilah efek dari kemajuan peradaban manusia karena semakin maju berkorelasi dengan kompleksitas masalah.

Profil pendiri perusahaan. Marketing berorientasi kepada pelanggan yang berarti, kita tidak dapat mengambil keputusan untuk menghapus dan menghilangkan jejak mengenai diri kita di internet. Alasannya jelas, karena keputusan tersebut dapat berdampak buruk ke perusahaan. Generasi konsumen masa kini, khususnya generasi langgas dan generasi Z yang mengambil porsi terbesar, secara umum adalah pengguna internet aktif.

Berarti perusahaan harus hadir di media sosial karena di sanalah konsumen banyak menghabiskan waktu. Kita harus menjaga dan meningkatkan visibilitas di hadapan pelanggan dan mitra. Sesuai konsep marketing, kita harus mengetahui di mana prospek dan pelanggan kita banyak menghabiskan waktu. Jika pelanggan kita banyak menghabiskan waktu di Instagram, berarti kita harus meningkatkan visibilitas di Instagram. Jika pelanggan lebih sering menggunakan Linkedin, berarti kita harus meningkatkan visibilitas di sana.

Dominasi pasar. Salah satu kekuatan utama perusahaan teknologi pengembang media sosial adalah kekuatan pasar yang sangat besar, jika bukan terlalu besar. Karena kekuatan yang sangat besar tersebut, berarti perusahaan teknologi raksasa mampu memengaruhi kehidupan pribadi, kehidupan profesional, hingga kehidupan politik. Mereka juga memiliki kekuatan menentukan bagaimana teknologi internet di masa depan dibentuk.

Itu artinya kita memerlukan regulasi yang membatasi penguasaan berlebihan tersebut. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia harus turut andil dan terlibat. Saat ini, pemerintah Indonesia sudah mengambil pajak dan mengharuskan perusahaan teknologi asing mempunyai kantor perwakilan di Indonesia. Jika diperlukan dan memang situasi mengharuskan, server perusahaan teknologi tersebut juga harus ada di Indonesia dan memiliki kewajiban berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan lokal.

Membayar untuk jangkauan. Dominasi pasar memberikan jangkauan luas. Karena kepemilikan jangkauan luas, kita membayar media sosial untuk jangkauan tersebut. Itulah strategi monetisasi Facebook, Instagram, dan lain-lain. Kita juga harus mengetahui sebagai bagian dari monetisasi ini, akun milik perusahaan di pelantar media sosial semakin sulit untuk menjangkau pelanggan secara organik. Tujuannya tentu agar kita membayar mereka demi jangkauan lebih luas.

Di sisi lain, berarti kita harus lebih kreatif dan lebih cerdas dalam mengembangkan konten sekaligus kemampuan manajemen anggaran. Kita perlu menyediakan anggaran untuk konten berbayar sekaligus pemahaman mana saja konten berpotensi viral hingga kapan saja menerbitkan dan mengiklankan konten. Dengan demikian, anggaran kita terpakai semakin efektif dan efisien.

Epilog

Melalui The Social Dilemma, kita mengetahui bahwa orang-orang yang diwawancarai meski memberikan kritik keras, juga mengakui sisi positif media sosial; tidak ingin menghancurkan media sosial karena mereka juga menjadi bagian dan hidup di dalamnya, serta bukan peramal. Mereka hanya menyarankan agar kontrol dan regulasi diterapkan lebih ketat.

Dalam konteks regulasi, hal tersebut menjadi ranah pemerintah. Dalam konteks kontrol, kita harus punya kemampuan pengendalian diri. Misal, durasi penggunaan media sosial per hari, tidak memerhatikan alias mengabaikan notifikasi, mengikuti entitas-entitas dengan posisi berlawanan, hingga memilih saran berbeda dari yang diberikan media sosial.

Andika Priyandana

Marketing.co.id: Portal Berita Marketing & Berita Bisnis

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.