Marketing.co.id – Berita Marketing | Di tengah persaingan bisnis yang semakin berbasis experience, melayani pelanggan tak lagi cukup dilihat sebagai rutinitas kerja. Melainkan sebagai bagian dari jati diri—gaya hidup yang membentuk budaya, menggerakkan sistem, dan membedakan brand di mata pelanggan.
Selama ini, pelayanan pelanggan kerap diasosiasikan dengan SOP, skrip, dan indikator kepuasan. Tapi, pelanggan masa kini tak lagi puas dengan formalitas. Mereka mencari keaslian, empati, dan respons yang manusiawi. “Pelayanan itu bukan sekadar dilakukan, tapi dihayati,” ujar Vivi Sariwulandari, Senior Manager CX PT Eka Boga Inti Hokben dalam acara CXtraordinary Evening di Jakarta beberapa waktu lalu.
Transformasi ini menuntut perubahan mendasar, mulai dari prosedur menjadi budaya. Perusahaan-perusahaan seperti Zappos, Ritz-Carlton, Gojek, hingga BCA menunjukkan bahwa pelayanan unggul lahir dari nilai-nilai yang tertanam, bukan dari instruksi yang dihafal.
Ketika melayani menjadi lifestyle, setiap individu, mulai dari frontliner hingga direksi, menghidupi semangat customer-centric dalam setiap keputusan. Bukan sekadar menjawab keluhan, tapi menciptakan pengalaman. Bukan hanya menjual, tapi membangun relasi.
Contohnya sederhana. Seorang staf menyapa pelanggan dengan tulus karena memang senang melihat pelanggan tersenyum. Atau, tim teknologi yang mendesain sistem tak hanya efisien, tapi juga memudahkan pelanggan tanpa harus diminta. “Itu bukan kewajiban. Itu karakter,” kata CTO PT Akulaku Finance Indonesia Edy Salim.
Perubahan ini membutuhkan waktu dan konsistensi. Juga, sosok pemimpin yang memberi teladan, sistem yang mendukung, serta apresiasi yang menguatkan. Dalam jangka panjang, budaya seperti ini akan menjadi keunggulan kompetitif yang tak mudah ditiru.
Bahkan, dalam aspek yang tampak tak terkait langsung dengan layanan seperti pricing, copywriting, hingga algoritma rekomendasi, nilai pelayanan yang hidup akan terasa. Brand pun menjadi lebih manusiawi, punya suara, dan dekat secara emosional.
Pada akhirnya, di era di mana pelanggan punya banyak pilihan, loyalitas tidak dibeli namun dibangun dengan pelayanan yang otentik, relevan, dan konsisten. Alih-alih bertanya, “Apa lagi yang harus saya lakukan untuk melayani pelanggan?”, mungkin kini saatnya bertanya, “Apa yang bisa saya ubah dalam diri agar pelayanan menjadi bagian dari saya?” Melayani bukan kewajiban tapi lifestyle. Dalam lanskap bisnis modern seperti saat ini, inilah diferensiasi yang paling sulit disaingi.