www.marketing.co.id – Kafi Kurnia menyatakan ketidaksetujuannya atas istilah brand heritage, jika itu hanya berbicara soal “warisan”. Menurutnya tidak ada merek yang diwariskan. Kalau pun berbicara soal brand yang usianya sudah tua, katakanlah lebih dari setengah abad, menurutnya, yang jauh lebih penting adalah bagaimana eksistensi merek tersebut.
Eksistensi merek menjadi kata kunci bagi pengamat dari Interbrand ini. Ia menyebutnya “power brand”, merek yang kuat. Berkaitan dengan power, Kafi menilai, eksistensi bukan hanya soal bahwa merek tersebut ada dari dulu sampai sekarang, melainkan bagaimana relevansi merek tersebut di pasar. Ia mencontohkan Coca-Cola yang pada usianya ke-25 tahun di tahun 2005 menempati pangsa pasar terbesar dunia, hingga saat ini pun masih bertengger di posisi yang sama. Dalam konteks ini, Coca-Cola dianggap memiliki relevansi dengan pasar karena pangsanya yang besar.
Brand lain yang dinilainya relevan adalah Levi’s. Meski penguasaannya pada pangsa pasar tidak lagi yang terbesar karena banyaknya pendatang baru, namun merek ini relevan berkat inovasi produknya yang terus mengikuti tren.
Untuk brand lokal, Kafi menyebut Dji Sam Soe. Rokok produksi Sampoerna ini, sebut Kafi, relevan sebagai merek yang “melambangkan kenikmatan sejati”. Menurutnya, brand ini sangat berhasil mengikat konsumennya secara emosional sehingga mereka loyal kepadanya. Ikatan emosional ini bahkan digambarkan Kafi layaknya kelekatan penggemar pada pemusik pujaannya.
Brand value, brand image, dan brand personification juga disebutnya sebagai unsur-unsur yang penting bagi eksistensi suatu merek. Hanya dengan ketajaman mendefinisikan ketiga unsur tersebut secara matang, suatu merek akan “laku” di setiap zaman.
Karenanya, menyinggung beberapa brand yang mencantumkan angka tahun berdirinya sebagai bagian dari brand, Kafi menilai pilihan tersebut tidak tepat. “Hanya menunjukkan bahwa brand itu tua, tapi tidak ada relevansinya,” ujar Kafi. Maka, ia sekali lagi menegaskan, kepercayaan konsumen pada sebuah brand tidak lagi pada usia brand itu, melainkan apa relevansinya bagi konsumen tersebut pada zaman ini. Tapi ia menolak menyebutkan merek-merek yang menurut pandangannya gagal dalam menghadirkan relevansi bagi konsumen.
Menyinggung soal tren, Kafi berujar, “Brand tidak mengenal tren!” Baik. Tapi brand seperti apa yang diprediksi bakal menonjol di benak khalayak? “Selain relevansi itu tadi, tentu saja adalah brand yang different dari yang lain dan yang memiliki kredibilitas tinggi,” cetus Kafi. Inilah yang disebutnya “power brand”. (Redaksi)