
Dalam ekonomi makro dampak deflasi bisa lebih dahsyat dari inflasi, karena bisa menciptakan menurunkan permintaan, menggerus laba perusahaan, meningkatkan pengangguran hingga akhirnya menciptakan resesi ekonomi.
Marketing.co.id- Berita Marketing | Setelah diterpa kabar buruk turunnya jumlah kelas menengah di Indonesia, kita kembali mendengar berita tidak mengenakan, ekonomi Indonesia mengalami deflasi dalam kurun 5 bulan terakhir.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (1/10/2024) melaporkan, bahwa pada September 2024, deflasi mencapai 0,12% secara bulanan atau month to month (mtm). Angka deflasi itu meningkat dibandingkan Agustus 2024 yang sebesar 0,03%.
Kondisi deflasi telah terjadi sejak Mei 2024 yang sebesar 0,03%, lalu berlanjut pada Juni 2024 sebesar 0,08%, dan Juli 2024 sebesar 0,18%. Dengan begitu, deflasi telah terjadi selama lima bulan beruntun. Sementara secara tahunan (year on year/yoy) Indeks Harga Konsumen (IHK) naik atau terjadi inflasi sebesar 1,84% ,atau lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yang tercatat sebesar 2,12% yoy.
Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, kelompok penyumbang deflasi terbesar adalah makanan, minuman dan tembakau dengan deflasi 0,59% dan beri andil deflasi 0,17%. Deflasi pada kelompok ini, kata Amalia merupakan yang terdalam sejak 2020. Beberapa komoditas dengan andil besar adalah cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, daging dan tomat.
Deflasi terus terjadi pada kelompok volatile food yang terus mengalami penurunan bahkan sejak April 2024 atau waktu dimulainya deflasi secara bulanan.Sejak April hingga September 2024, deflasi volatile food tampak terus terjadi bahkan posisi deflasi per September ini sebesar 1,34% dengan andil deflasi sebesar 0,21%.
Adapun komoditas yang dominan memberikan andil deflasi komponen volatile adalah cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, daging ayam ras, tomat, daun bawang, kentang, dan wortel.
Ketika harga turun, hal itu umumnya dianggap sebagai hal yang baik—setidaknya jika menyangkut destinasi favorit Anda. Namun, ketika harga turun di seluruh perekonomian, hal itu disebut deflasi, dan itu adalah hal yang sama sekali berbeda. Deflasi adalah berita buruk bagi perekonomian dan uang Anda. Demikian Kate Ashford memulai paparannya di www.forbes.com.
Menurut kontributor di forbes.com itu, deflasi terjadi ketika harga konsumen dan aset menurun seiring waktu, dan daya beli meningkat. Meskipun deflasi mungkin tampak seperti hal yang baik, hal itu dapat menandakan resesi yang akan datang dan masa ekonomi yang sulit.
“Ketika orang merasa harga akan turun, mereka menunda pembelian dengan harapan dapat membeli barang dengan harga lebih murah di kemudian hari. Namun, pengeluaran yang lebih rendah menyebabkan pendapatan yang lebih sedikit bagi produsen, yang dapat menyebabkan pengangguran dan suku bunga yang lebih tinggi,” tulis Kate.
Lingkaran umpan balik negatif ini menghasilkan pengangguran yang lebih tinggi, harga yang lebih rendah, dan pengeluaran yang lebih sedikit. “Singkatnya, deflasi menyebabkan lebih banyak deflasi. Sepanjang sebagian besar sejarah AS, periode deflasi biasanya berjalan seiring dengan kemerosotan ekonomi yang parah,” lanjut dia.

Bagaimana Deflasi Diukur?
Deflasi diukur menggunakan indikator ekonomi seperti indeks harga konsumen (IHK), yang melacak harga sekelompok barang dan jasa yang umum dibeli setiap bulannya. Ketika harga yang diukur secara agregat oleh IHK lebih rendah dalam satu periode daripada harga pada periode sebelumnya, ekonomi mengalami deflasi. Sebaliknya, ketika harga secara kolektif naik, ekonomi mengalami inflasi.
Kate menegaskan, deflasi tidak sama dengan disinflasi. Meskipun keduanya terdengar seperti mengindikasikan penurunan harga. Disinflasi sebenarnya menandakan bahwa harga masih naik, namun kenaikannya lebih lambat daripada sebelumnya.
Disinflasi dapat berupa perubahan dari inflasi tahunan 4% menjadi inflasi tahunan 2%, yang berarti barang yang dulunya berharga katakanlah Rp 10 sekarang dijual seharga Rp10,20, bukan sebesar Rp10,40 seperti yang diproyeksikan.
Deflasi, di sisi lain, menggambarkan penurunan harga aktual, bukan penurunan laju kenaikan inflasi. Dengan deflasi 2%, barang yang dulunya berharga Rp 10 sekarang berharga Rp 9,80.
Penyebab Deflasi
Lebih jauh Kate memaparkan, ada dua penyebab utama deflasi: penurunan permintaan atau pertumbuhan pasokan. Masing-masing terkait dengan hubungan ekonomi mendasar antara pasokan dan permintaan. Penurunan permintaan agregat menyebabkan penurunan harga barang dan jasa jika pasokan tidak berubah.
Menurunnya permintaan agregat dapat dipicu oleh dua hal, kebijakan moneter dan menurunnya kepercayaan konsumen. Terkait kebijakan moneter, meningkatnya suku bunga dapat menyebabkan orang menyimpan uang tunai mereka alih-alih membelanjakannya dan dapat mencegah pinjaman. Lebih sedikit pengeluaran berarti lebih sedikit permintaan untuk barang dan jasa.
Sementara peristiwa ekonomi yang merugikan—seperti pandemi global—dapat menyebabkan penurunan permintaan secara keseluruhan. Jika orang khawatir tentang ekonomi atau pengangguran, mereka mungkin akan mengurangi pengeluaran sehingga mereka akan menabung lebih banyak.
Pasokan agregat yang lebih tinggi berarti bahwa produsen mungkin harus menurunkan harga mereka karena meningkatnya persaingan. Peningkatan pasokan agregat ini dapat berasal dari penurunan biaya produksi: Jika biaya produksi barang lebih rendah, perusahaan dapat memproduksi lebih banyak barang dengan harga yang sama. Hal ini dapat mengakibatkan lebih banyak penawaran daripada permintaan dan harga yang lebih rendah.
Dampak dari Deflasi
Meskipun tampaknya menguntungkan jika harga barang dan jasa turun, hal ini dapat berdampak sangat negatif pada perekonomian.
Pertama, deflasi akan menciptakan pengangguran. Saat harga turun, laba perusahaan menurun, dan beberapa perusahaan dapat memangkas biaya dengan memberhentikan pekerja.
Kedua, suku bunga cenderung naik dalam periode deflasi, yang membuat utang (cost of fund) menjadi lebih mahal. Konsumen dan bisnis sering kali mengurangi pengeluaran sebagai akibatnya.
Ketiga, spiral deflasi. Ini adalah efek domino yang disebabkan oleh setiap bagian deflasi yang tumpang tindih. Harga yang turun dapat mengakibatkan produksi yang lebih sedikit. Produksi yang lebih sedikit dapat menyebabkan upah yang lebih rendah. Upah yang lebih rendah dapat mengakibatkan penurunan permintaan, karena para karyawan memiliki sedikit uang untuk dibelanjakan. Akhirnya penurunan permintaan dapat menyebabkan harga yang semakin rendah, begitu seterusnya, hingga akhirnya kondisi ekonomi makin memperburuk.
Mengapa Deflasi Lebih Berbahaya daripada Inflasi
Ketika harga naik dan kekuatan mata uang turun, perekonomian mengalami inflasi. Meskipun inflasi berarti nilai mata Anda tidak akan terlalu tinggi, inflasi juga mengurangi nilai utang, sehingga peminjam terus meminjam dan debitur terus membayar tagihan mereka.
Inflasi yang moderat merupakan hal yang normal dalam siklus ekonomi—ekonomi biasanya mengalami inflasi sebesar 1% hingga 3% per tahun—dan jumlah yang kecil umumnya dipandang sebagai tanda pertumbuhan ekonomi yang sehat.
Inflasi juga merupakan sesuatu yang dapat dilindungi konsumen hingga batas tertentu. Menginvestasikan uang Anda, misalnya, dapat membantu penghasilan Anda tumbuh lebih cepat daripada inflasi, membantu Anda mempertahankan dan meningkatkan daya beli Anda.
Meskipun tampaknya lebih buruk bagi harga untuk naik daripada turun, deflasi umumnya kurang menguntungkan dan dikaitkan dengan kontraksi dan resesi ekonomi. Spiral deflasi dapat mengubah masa ekonomi yang sulit menjadi resesi dan kemudian depresi.
“Melindungi diri Anda dari deflasi juga sedikit lebih sulit daripada melindungi diri dari inflasi. Tidak seperti inflasi, utang menjadi lebih mahal dengan deflasi, menyebabkan orang dan bisnis menghindarinya karena mereka mencoba melunasi utang yang semakin mahal yang sudah mereka miliki,” tulis Kate.
Kate juga mengatakan, selama periode deflasi, tempat terbaik bagi orang untuk menyimpan uang umumnya adalah dalam bentuk investasi tunai, yang tidak menghasilkan banyak keuntungan, jika ada.
“Jenis investasi lain, seperti saham, obligasi perusahaan, dan investasi real estat, lebih berisiko saat terjadi deflasi karena bisnis dapat menghadapi masa-masa yang sangat sulit atau gagal total,” imbuhnya.
Mengendalikan Deflasi
Pemerintah sebenarnya memiliki beberapa strategi untuk mengendalikan deflasi. Antara lain dengan meningkatkan jumlah uang beredar. Bank Sentral dapat membeli kembali surat berharga negara untuk meningkatkan jumlah uang beredar. Dengan jumlah uang beredar yang lebih banyak, nilai rupiah menjadi kurang berharga, sehingga mendorong orang untuk membelanjakan uang dan menaikkan harga.
Strategi lain dengan melonggarkan persyaratan kredit. Bank sentral bisa meminta bank untuk meningkatkan jumlah kredit yang tersedia atau menurunkan suku bunga, sehingga orang dapat meminjam lebih banyak.
Jika bank sentral menurunkan suku bunga cadangan, yang merupakan jumlah uang tunai yang harus dimiliki bank komersial, maka bank dapat meminjamkan lebih banyak uang. Hal ini akan mendorong pengeluaran dan membantu menaikkan harga.
Cara lain adalah dengan mengelola kebijakan fiskal. Jika pemerintah meningkatkan pengeluaran untuk publik dan memangkas pajak, dapat meningkatkan permintaan agregat dan pendapatan yang dapat dibelanjakan, yang mengarah pada lebih banyak pengeluaran dan harga yang lebih tinggi.
Kate mengungkapkan, secara keseluruhan, ekonomi Amerika Serikat diwarnai dengan inflasi, bukan deflasi. Namun, selama beberapa periode, deflasi telah membentuk perekonomian AS dan di beberapa negara.
Kate juga menulis, deflasi merupakan akselerator dari salah satu periode ekonomi terberat, Depresi Besar di Amerika Serikat. Meskipun dimulai sebagai resesi pada tahun 1929, permintaan barang dan jasa yang menurun dengan cepat menyebabkan harga turun secara signifikan, yang mengakibatkan banyak perusahaan di AS bangkrut dan meningkatnya angka pengangguran.
“Deflasi harga akibat Depresi Besar terjadi di hampir setiap negara industri lainnya di dunia. Di AS, output tidak kembali ke jalur tren jangka panjang sebelumnya hingga tahun 1942,” tuturnya.
Bagaimana dengan Indonesia? Generasi yang lebih senior pasti masih mengingat krisis ekonomi tahun 1998-1999. Deflasi yang dialami Indonesia dalam kurun 5 bulan terakhir merupakan catatan terburuk sejak 1999 atau 24 tahun terakhir.
Terakhir kali Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan yakni pada 1999. Pada tahun tersebut, Indonesia mencatat deflasi dalam delapan bulan beruntun yakni pada Maret (-0,18%), April (-0,68%), Mei (-0,28%), Juni (-0,34%), Juli (-1,05%), Agustus (-0,71%), September (-0,91%), dan Oktober (-0,09%).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menegaskan, bahwa deflasi saat ini patut dipahami sebagai indikasi melemahnya sisi permintaan secara berturut turut.
“Ini bukan kesuksesan dalam mengendalikan inflasi melainkan tanda masyarakat sedang menahan belanja. Bahkan bukan lagi tahan belanja tetapi uang yang mau dibelanjakan sudah berkurang porsinya. Kelas menengah rentan sulit cari pekerjaan. Sementara kelas menengah atas tahan belanja khawatir situasi ekonomi memburuk,” tutur Bhima sebagaimana dikutip CNBCIndonesia.com
Jika deflasi berlanjut, kata Bima, maka pelaku usaha khususnya industri makanan minuman, tekstil pakaian jadi, alas kaki hingga pelaku usaha properti akan merevisi rencana bisnisnya.