www.marketing.co.id – Samsung kian sukses, daya saing merek Samsung kian tinggi. Langkah Samsung Electronics nampaknya sudah membahayakan posisi pesaingnya. Perusahaan asal Korea Selatan ini akhirnya berhasil menyalip Nokia setelah 14 tahun bercokol pada posisi puncak industri telepon genggam. Samsung berhasil menjual 93,5 juta telepon genggam, termasuk 44 juta telepon pintar (smartphone) pada kuartal pertama tahun 2012. Angka ini lebih tinggi 36% dibanding setahun sebelumnya, dan menguasai pangsa pasar 31% di pasar smartphone. Sedangkan penjualan Apple 35,1 juta dengan market share 24%, dan Nokia di peringkat ketiga.
Jumlah itu melampaui penjualan Nokia sebanyak 82,7 juta telepon genggam, termasuk 12 juta telepon pintar. Rugi operasi Nokia selama kuartal pertama tahun 2012 sebesar € 1,34 miliar atau setara US$ 1,8miliar. Perusahaan bahkan sudah mendapat popularitas sebagai perusahaan teknologi terbesar dunia. Ini tak lepas dari kinerja kuartal pertama tahun ini. Samsung berhasil mengantungi laba operasi sebesar KRW 5,85triliun atau setara US$ 5,15 miliar. Realisasi ini naik dua kali lipat dibanding periode yang sama tahun lalu, KRW 2,95 triliun.
Kekecewaan pasar pada kinerja Sony Corp. juga terus menurun. Tentu saja tidak mudah bagi produsen barang elektronik asal Jepang ini untuk mengembalikan kepercayaan pasar. Dalam perdagangan awal Mei 2012, harga saham Sony turun terendah selama 32 tahun terakhir. Data Bloomberg mencatat, saham Sony pada bursa Nikkei Tokyo diperdagangkan di harga ¥ 1.110 per saham. Harga ini terendah sejak 12 Agustus1980, di level ¥ 1.100 per saham. Saat itu, walkman masih merupakan barang baru, dan Sony memperkenalkan mesin pemutar compact-disc pertama mereka. Padahal sebelumnya, Sony mencoba membangkitkan kepercayaan pasar. Produsen televisi Bravia ini menargetkan laba bersih tahunan yang dimulai April, mencapai JPY 30 miliar (US$376 juta). Ini merupakan laba pertama setelah lima tahun merugi. Bisnis penjualan televisi memang diperkirakan masih merugi untuk kesembilan kuartal berturut-turut. Namun, kerugian ditargetkan terpangkas setengah menjadi JPY 80 miliar. Di Indonesia, kinerja Sony juga terus melorot, daya saing merek Sony menurun drastis.
Demikian juga dengan Eastman Kodak Corporation, yang terpaksa mengawali tahun ini dengan mengajukan kebangkrutan dan berencana melakukan restrukturisasi. Perusahaan asal Amerika Serikat pelopor fotografi yang menemukan kamera genggam itu bangkrut setelah bertahun-tahun menelan kemerosotan penjualan produknya. Meski telah disuntik dana sebesar US$ 950 juta dari Citigroup melalui fasilitas kredit selama 18 bulan, Kodak tak sanggup bertahan. Padahal, orang sudah menyebut apa pun kameranya dengan “Kodak”.
Berbagai media di Paman Sam mengabarkan bahwa Kodak akan memberangus bisnis kameranya, baik kamera digital, kamera video saku, maupun frame foto digital, dan beralih fokus ke bisnis percetakan. Keputusan mundur dari pasar kamera bertolak belakang dengan perusahaan yang didirikan George Eastman pada tahun 1892 ini. Seharusnya, berbekal pengalaman di industri fotografi sekaligus mengusung 1.100 paten digital, Kodak tak bisa kalah dari persaingan. Namun, perusahaan yang akhir September lalu memiliki aset senilai US$ 5,1 miliar dan 17.000 karyawan dari 63.900 yang pernah ada, menyerah juga.
Kasus-kasus di atas menggambarkan tentang menurunnya daya saing merek, yaitu pengikisan kemampuan bersaing sebuah merek. Ada beberapa faktor yang menyebabkan erosi daya saing merek itu terjadi, di antaranya tak mampu membaca perkembangan teknologi, kurang inovatif, tak sanggup menjadi pencipta tren pasardan mungkin juga karena timbulnya arogansi merek, yaitu merek yang sangat berlebihan dalam mencitrakan dirinya, merek yang merasa lebih baik dan menganggap enteng merek lain. Inilah yang menjadi salah satu penyebab runtuhnya kejayaan merek-merek besar. Biasanya, arogansi merek timbul karena merek tersebut menjadi pionir dan merasa tidak ada yang dapat menirunya. Merek tersebut menganggap dirinya lebih cerdik ketimbang merek lain. Ini terjadi setelah sekian lama sebuah merek menikmati kesuksesannya dan menancapkan kesuksesan itu secara mendalam di jiwa perusahaan.
Maskapai terbesar di Asia, Japan Airlines Corporation, pada 19 Januari dua tahun lalu dinyatakan bangkrut karena tak sanggup melawan persaingan yang semakin ketat. JAL mengalami erosi daya saing merek yang amat parah sehingga nilai sahamnya terus merosot. Suntikan dana ¥ 600 miliar atau setara US$ 6,6 miliar dari sejumlah kreditor tak bisa membalikkan anjloknya keperkasaan merek kebanggaan Negeri Sakura tersebut. JAL kalah telak karena tak mampu menyesuaikan kehendak pelanggan, padahal makin banyak pemain yang inovatif.
Menurunnya daya saing merek itu berimbas pula pada pemutusan hubungan kerja terhadap puluhan ribu karyawannya. Tidak hanya itu, JAL juga terpaksa membatalkan rencana pembelian 17 jet regional serta kontrak pembelian bahan bakar senilai US$ 440 juta. Dari yang terbesar, kemudian JAL menjadi begitu kerdil, bahkan lebih kecil daripada Croatia Airlines danJazeera Airways, sebelum akhirnya mati. JAL telah menambah daftar pemimpin pasar yang “bunuh diri” akibat kelalaiannya sendiri.
Belajar dari kasus di atas, maka penting kiranya memerhatikan perkembangan merek kita agar tidak terkena penurunan daya saing. Mari terus berpikir untuk menjadikan merek kita menjadi pencipta dan penggerak tren pasar demi memenangkan persaingan. Jangan biarkan merek kita seperti Kodak, JAL, Nokia, dan lain sebagainya.
Transformasi dari market driven menujuke market driving menjadi salah satu jalan keluar. Perusahaan yang market driving biasanya mempunyai beberapa ciri diantaranya mereka memiliki inspirasi yang radikal, visioner, dan tidak hanya tergantung dari riset pasar; harus mampu merenovasi pemikirannya tentang segmentasi, targeting dan positioning; harus menjadi price maker; berorientasi pada edukasi pasar dan harus berpikir bukan untuk memenuhi harapan pasar, tetapi justru memberikan sesuatu yang terkadang tidak dipikirkan oleh konsumen. Jadi, jika Anda mengalami penurunan daya saing merek, lakukanlah transformasi dari market driven ke market driving. (Darmadi Durianto)